LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2020

Tiga Tahapan Kebijakan Pajak pada Masa Pandemi

Redaksi DDTCNews
Jumat, 16 Oktober 2020 | 15.01 WIB
ddtc-loaderTiga Tahapan Kebijakan Pajak pada Masa Pandemi

M. Diaz Bonny S,

Padang Panjang, Sumatra Barat

KONDISI pandemi Covid-19 dalam ungkapan China dikenal sebagai Wei-Ji yang secara harfiah berarti krisis. Namun, istilah Wei-Ji memiliki makna positif, yakni pada setiap krisis selalu terdapat bahaya dan peluang yang datang secara bersamaan.

Begitu juga jika berbicara mengenai pajak pada saat pandemi, selalu ada bahaya dan peluang secara bersamaan. Baru-baru ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai eskalasi ketidakpastian situasi ekonomi belum akan berakhir pada 2021.

Dalam ketidakpastian itu, pajak harus menjadi lokomotif penyelamat. Tahapan surviving, preparing dan actualizing yang populer dalam bidang pemasaran (Markeeters, Mei 2020) bisa dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan pajak untuk Indonesia.

Pertama, dalam mode surviving, pajak sebagai instrumen fiskal memainkan dua fungsi sekaligus, yakni fungsi budgeter yaitu penerimaan, dan regulerend yaitu pemberian insentif. Respons kebijakan pajak di Indonesia dalam menghadapi Covid-19 sudah sesuai dengan tren global.

Ditjen Pajak memang  harus lincah (agile) dalam mengatur orang, proses bisnis, infrastruktur, dan teknologi. Flexibilitas dan penerapan instrumen fiskal yang mendorong daya beli dan ketersediaan kas harus diutamakan. Seperti pengenaan tarif 0% pajak pertambahan nilai untuk barang tertentu.

Pemerintah  harus jeli menemukan basis pajak yang belum digarap maksimal, misalnya dari ranah ekonomi digital. Langkah pemerintah memajaki perusahaan digital layak dihargai. Namun, hal ini perlu dikampanyekan agar masyarakat turut berkontribusi sehingga meningkatkan kepatuhan.

Pemerintah juga harus mendorong fungsi pajak sebagai regulerend melalui insentif dan memastikan insentif tepat sasaran. Menurut riset DDTC Fiscal Research, sedikitnya 129 yurisdiksi telah merespons pandemi Covid-19 dengan kebijakan pajak sebagai insentif.

Reformasi Pajak
SEBAGAI lokomotif penyelamat masa depan , kebijakan pajak pemerintah tentu tidak hanya bertahan (surviving). Kebijakan pajak harus mengarah ke tahap kedua, preparing, yaitu menyelesaikan agenda reformasi pajak. Misalnya, akselerasi digital dalam pelayanan pajak harus dikedepankan.

Kemudahan dan kecepatan pembayaran pajak melalui digital harus semakin dimasifkan untuk meningkatkan kepatuhan. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk pajak melakukan transformasi digital karena masyarakat semakin terbiasa dengan aktivitas digital.

Selain pendekatan digital, pajak juga harus mulai mendekat ke masyarakat dengan pendekatan sosial budaya yang bisa diterima masyarakat. Sifat pajak yang memaksa harus dibungkus dengan bahasa yang menyenangkan, lebih santuy dan dekat dengan keseharian masyarakat.

Perlu diingat, wajib pajak pada masa mendatang adalah generasi Z dan generasi Alpha, yang lebih muda dari generasi milenial. Pendekatan yang sesuai tentu akan membantu pemerintah meletakkan pondasi reoptimalisasi pajak sebagai lokomotif penyelamat masa depan Indonesia.

Salah satu sifat pajak adalah memaksa wajib pajak yang telah memenuhi syarat objektif dan subjektif. Sifat ini secara tidak langsung menjadi beban. Tidak dimungkiri banyak wajib pajak yang tidak patuh dan mencari celah untuk tidak membayar.

Karena itu, tingkat kepatuhan formal wajib pajak 2019 baru 72,9%, di bawah standar OECD 80%-85%. Namun, dalam kondisi sulit seperti saat ini, tingkat kepatuhan tersebut berpeluang meningkat seiring dengan banyaknya insentif pajak yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Ketiga, dalam jangka panjang (actualizing), pajak harus fleksibel menyongsong bonus demografi 2030-2040. Pajak harus mampu mengubah bonus demografi sebagai berkah, alih-alih bencana. Karena itu, perluasan basis pajak menjadi kunci keberhasilan optimalisasi pajak masa mendatang.

Inovasi dengan memperhatikan aspek sosial budaya masyarakat harus terus dilakukan. Transparansi pajak mendorong kepedulian wajib pajak berkontribusi membayar pajak, terlebih dengan pendekatan empatik yang bisa diterima secara sosial dan budaya.

Pada akhirnya, sebagai lokomotif penyelamat masa depan, pajak harus menjadi jantung dan urat nadi bangsa. Untuk itu, pajak adalah sumber daya yang tidak boleh lemah atau mati, tetapi harus mampu menunjukkan keperkasaannya menjamin keberlangsungan Indonesia sampai kapan pun.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.