WELLINGTON, DDTCNews – Pemerintah Selandia Baru mendesak Google untuk mengubah model bisnisnya karena dianggap merugikan basis penerimaan pajak di Selandia baru. Google pun mengamini desakan itu.
Melalui keterangan tertulisnya kepada Pemerintah Selandia Baru, Google menyatakan bahwa sebagian besar penerimaan iklannya dari Selandia Baru memang dibukukan di Singapura, negara dengan tarif pajak yang rendah. Google juga menyatakan ke depan transaksi tersebut akan dibukukan di Selandia Baru.
“Sebelumnya saat konsumen ingin iklan dari Google, konsumen menandatangani perjanjian kontrak dengan Kantor Pusat Asia-Pasifik Google di Singapura dan penghasilannya dicatat di sana. Sementara Google Selandia Baru menerima remunerasi dengan prinsip kewajaran atau kelaziman usaha atas layanan tersebut. Tapi ke depannya kami akan mengubah model bisnis dari pendekatan sebelumnya,” ujarnya di Selandia Baru, Kamis (22/2).
Seperti diketahui, langkah Google dalam mengatur strukur pajaknya telah mendapat kritikan keras. Seperti halnya terjadi di India yang mendenda Google sebesar $21 juta karena menyalahgunakan dominasi pasar dan Google justru ingin potongan pajak yang lebih besar terhadap pajak perusahaan Amerika Serikat (AS) ini di India.
Meski Google Selandia Baru hanya mempekerjakan hanya 30 orang, namun Selandia Baru membuat lebih dari 10 miliar penelusuran web selama setahun di mesin telusurnya, termasuk Google Maps dan YouTube yang cukup populer. Terlebih perusahaan induk Google Alphabet merupakan perusahaan terbesar kedua di dunia dengan kapitalisasi pasar sebesar $774 miliar.
Adapun tarif pajak korporasi di Selandia Baru adalah 28%, sedangkan tarif di Singapura hanya 17%. Tetapi dalam praktiknya, perusahaan dapat menegosiasikan kesepakatan pajak individual yang menarik dengan pihak berwenang Singapura, yang dapat memotong tagihan pajak perusahaan multinasional secara signifikan.
Selain itu, Menteri Keuangan Selandia Baru Stuart Nash menyambut baik keputusan Google untuk mengubah model bisnisnya. "Kami berharap ini menjadi preseden bagi perusahaan multinasional besar yang secara agresif mengatur urusan pajak mereka dalam upaya menghindar dari pungutan pajak," pungkasnya. (Amu)