Pertanyaan:
PERKENALKAN, nama saya Safira asal Surabaya. Saya bekerja pada perusahaan yang bergerak di bidang menufaktur. Pada Desember 2021, perusahaan saya telah membayar PPN yang terutang kepada dirjen pajak.
Kemudian, pada Maret 2022, dirjen pajak melakukan pemeriksaan dan menyatakan bahwa terdapat PPN terutang yang tidak seharusnya dikompensasikan sehingga diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Pertanyaannya, apakah terdapat implikasi tertentu yang harus ditanggung oleh perusahaan saya terkait hal tersebut?
Jawaban:
TERIMA kasih atas pertanyaannya Ibu Safira. Dalam hal ditemukan adanya PPN terutang yang tidak seharusnya dikompensasikan maka terdapat sanksi administrasi berupa kenaikan yang harus ditanggung oleh perusahaan Ibu Safira.
Ketentuan yang menjadi rujukan penghitungan sanksi administrasi berupa kenaikan yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU KUP s.t.d.t.d UU HPP).
Sebagai informasi, sebelum berlakunya UU HPP, besaran sanksi administrasi atas PPN terutang yang tidak seharusnya dikompensasikan ditetapkan sebesar 100%. Namun demikian, besaran sanksi administrasi kenaikan tersebut mengalami penurunan sejak diterbitkannya UU HPP.
Berdasarkan pada Pasal 13 ayat (3) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP, besaran sanksi atas kesalahan dalam mengkompensasikan PPN yang terutang tersebut ialah sebesar 75%. Sanksi administrasi kenaikan tersebut dihitung dari PPN yang tidak atau kurang dibayar.
Adapun bunyi Pasal 13 ayat (3) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP ialah sebagai berikut:
“Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administratif berupa:
Lebih lanjut, Pasal 13 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d UU KUP s.t.d.t.d UU HPP yang disebutkan dalam ketentuan di atas merujuk pada 3 pelanggaran yang dilakukan wajib pajak. Pertama, SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu tertentu meskipun telah ditegur secara tertulis.
Kedua, terdapat PPN dan PPnBM yang tidak seharusnya dikompensasikan atas selisih lebih pajaknya atau tidak seharusnya dikenai tarif 0%. Ketiga, terdapat kewajiban yang tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.
Untuk memudahkan dalam memahami penghitungan besaran sanksi administrasi kenaikan atas PPN yang tidak seharusnya dikompensasikan, berikut diuraikan contoh penghitungannya.
Pada Desember 2021, PT Maju Jaya telah membayar PPN yang terutang kepada dirjen pajak. Kemudian, pada Maret 2022, dirjen pajak melakukan pemeriksaan dan menemukan fakta bahwa terdapat PPN terutang yang tidak seharusnya dikompensasikan.
Kemudian, pada Mei 2022, dirjen pajak menerbitkan SKPKB pada Mei 2022. Dalam surat tersebut, diketahui jumlah pajak yang kurang dibayar oleh PT Maju Jaya ialah senilai Rp550.000.000. Berapakah sanksi yang harus dibayarkan oleh PT Maju Jaya?
Merujuk pada kasus di atas, PT Maju Jaya harus membayar sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 75% atas kesalahannya dalam melakukan kompensasi PPN. Hal ini sesuai Pasal 13 ayat (3) huruf c UU KUP s.t.d.t.d UU HPP yang telah diuraikan di atas.
Penghitungan sanksi kenaikan atas kasus tersebut ialah sebagai berikut:
Sanksi administrasi kenaikan
= 75% X Rp550.000.000
= Rp412.500.000
Mengacu pada penghitungan di atas, jumlah sanksi administrasi kenaikan yang harus dibayar oleh PT Maju Jaya ialah senilai Rp412.500.000.
Demikian jawaban yang dapat disampaikan. Semoga membantu.
Sebagai informasi, artikel Konsultasi UU HPP akan hadir setiap Selasa guna menjawab pertanyaan terkait UU HPP beserta peraturan turunannya yang diajukan ke email [email protected]. Bagi Anda yang ingin mengajukan pertanyaan, silakan langsung mengirimkannya ke alamat email tersebut.