Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah memastikan pengaturan kembali sistem perpajakan melalui RUU KUP dilakukan dengan mengedepankan prinsip keadilan dan kesetaraan.
Dalam Naskah Akademis (NA) RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pemerintah menyatakan akan tetap memperhatikan pemulihan ekonomi pascapandemi. Pada saat bersamaan, konsolidasi fiskal bertahap dilakukan sehingga defisit anggaran kembali ke bawah 3% PDB pada 2023.
“Jika dirancang secara komprehensif, dapat menghasilkan dampak positif dari sisi keuangan negara dan ekonomi makro,” tulis pemerintah dalam NA RUU KUP, dikutip pada Kamis (8/7/2021).
Setidaknya ada 4 kebijakan yang dilakukan dengan memperhatikan prinsip keadilan dan kesetaraan. Pertama, kebijakan penetapan natura dan kenikmatan sebagai objek pajak penghasilan (PPh). Hal ini dipercaya akan mendorong redistribusi penerimaan PPh badan dan PPh orang pribadi.
Pemajakan atas natura juga akan meningkatkan biaya perusahaan yang dapat menjadi pengurang pajak. Estimasi pemerintah, akan ada redistribusi karena penurunan penerimaan PPh pemberi kerja senilai Rp7,1 triliun dan peningkatan penerimaan PPh orang pribadi pekerja senilai Rp4,4 triliun.
Proyeksi peningkatan penerimaan PPh orang pribadi tersebut berpotensi lebih besar seiring dengan kebijakan perubahan tarif dan lapisan (bracket) PPh orang pribadi. Di sisi lain, kebijakan tersebut juga akan meningkatkan transfer ke daerah dari Dana Bagi Hasil (DBH) PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25 PPh orang pribadi.
Pemerintah mengakui pengaturan kebijakan penetapan natura dan kenikmatan sebagai objek PPh yang tidak dirancang dengan saksama dan hati-hati dapat mendistorsi kegiatan perekonomian.
“Namun, apabila dirancang secara tepat maka implementasi atas kebijakan tersebut dapat memperkuat keuangan negara dan berdampak positif terhadap kondisi perekonomian nasional,” lanjut pemerintah.
Kedua, terkait dengan perubahan tarif dan bracket PPh orang pribadi. Berdasarkan data Kemenkeu, populasi wajib pajak orang pribadi pada saat ini paling banyak berada pada lapisan pertama, yakni 84,0% dari total populasi. Ada sebanyak 8,81 juta orang memiliki penghasilan Rp0 – Rp50 juta.
Kemudian, populasi wajib pajak pada lapisan kedua adalah sebesar 12,1% atau sebanyak 1,27 juta orang yang memiliki penghasilan di atas Rp50 juta sampai dengan Rp250 juta. Populasi wajib pajak pada lapisan ketiga adalah sebesar 2,3% atau sebanyak 240.313 orang yang berpenghasilan di atas Rp250 juta sampai dengan Rp500 juta.
Untuk ketiga lapisan ini, tidak diusulkan perubahan lapisan ataupun tarif. Dengan demikian, mayoritas wajib pajak sebetulnya tidak akan terdampak. Terakhir, populasi wajib pajak pada lapisan keempat adalah sebesar 1,64% atau sebanyak 166.728 orang berpenghasilan di atas Rp500 juta.
Lapisan keempat ini akan dibagi menjadi dua. Sebanyak 3.815 wajib pajak orang pribadi dengan penghasilan di atas Rp5 miliar akan dikenakan tarif sebesar 35%.
“Jumlah penghasilan kena pajak yang akan masuk dalam bracket ini adalah sebesar Rp49 triliun. Jika jumlah tersebut dikenakan tarif progresif hingga 35%, kelompok wajib pajak ini akan menyumbang pajak penghasilan sebesar Rp16 triliun atau sebesar 19,7% dari total keseluruhan PPh orang pribadi,” imbuh pemerintah.
Ketiga, tindak lanjut putusan Mutual Agreement Procedure (MAP) dalam rangka meningkatkan kepastian hukum. Keempat, penghapusan fasilitas pengurangan tarif Pasal 31E. Simak ‘Ini Alasan Pemerintah Hapus Fasilitas Diskon Tarif Pasal 31E UU PPh’.
Dengan asumsi kebijakan penghapusan fasilitas pada Pasal 31E UU PPh berkorelasi negatif dengan jumlah belanja perpajakan terkait, sambung pemerintah, proyeksi potensi penerimaan PPh senilai Rp2.637,41 miliar. (kaw)