OPINI PAJAK

Pembebasan Pajak Penjualan Barang Mewah untuk Mobil Rakyat

Redaksi DDTCNews
Rabu, 09 Februari 2022 | 14.05 WIB
ddtc-loaderPembebasan Pajak Penjualan Barang Mewah untuk Mobil Rakyat

Gunawan Pribadi dan Lusi Khairani Putri,

Pegawai Kemenko Perekonomian  

DALAM konferensi pers pada Rabu, 29 Desember 2021, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan kementeriannya tengah mengusulkan suatu definisi baru dalam industri otomotif guna mendorong pertumbuhan sektor terkait, yaitu mobil rakyat.

Mobil rakyat ini diharapkan tidak lagi dikategorikan sebagai barang mewah. Dengan demikian, rezim pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) menjadi tidak berlaku bagi mobil rakyat.

Adapun kendaraan bermotor yang dikategorikan sebagai mobil rakyat adalah mobil dengan harga jual paling tinggi Rp240 juta dengan kapasitas mesin sampai dengan 1.500 cc dan memenuhi local purchase 80%.

Terlepas dari disepakatinya definisi dan urgensi wacana mobil rakyat tersebut, ada beberapa pertanyaan yang dapat dimunculkan mengenai pengenaan PPnBM terhadap kendaraan bermotor. Salah satunya terkait dengan pengaturan PPnBM terhadap kendaraan bermotor yang berlaku saat ini.

Filosofi PPnBM

PPnBM seyogianya dikenakan terhadap barang kena pajak (BKP) yang tergolong mewah. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) menyebutkan pengenaan PPnBM dilakukan untuk pencapaian beberapa tujuan.

Pertama, keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi. Kedua, pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah.

Ketiga, perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional. Keempat, pengamanan penerimaan negara. Dengan demikian, PPnBM atas kendaraan bermotor seharusnya juga dikenakan terhadap kendaraan bermotor yang tergolong mewah dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan tersebut.

Berdasarkan pada penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU PPN, BKP yang tergolong mewah adalah pertama, barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok. Kedua, barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu.

Ketiga, barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi. Keempat, barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status. Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok BKP yang tergolong mewah yang dikenai PPnBM diatur dengan peraturan pemerintah (PP) setelah berkonsultasi dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membidangi keuangan.

Berdasarkan pada pengaturan di atas, penentuan mengenai apakah suatu BKP digolongkan sebagai barang mewah atau tidak akan bersifat sangat dinamis. BKP yang dikategorikan sebagai barang mewah pada satu masa dimungkinkan untuk dikeluarkan dari kelompok barang mewah pada masa berikutnya.

Peralatan dan perlengkapan olah raga, produk kecantikan, dan mainan anak-anak merupakan contoh BKP yang pernah masuk dalam kelompok barang mewah. Namun, pada saat ini, barang-barang tersebut tidak lagi dikategorikan sebagai barang mewah.

PPnBM Kendaraan Bermotor

BERDASARKAN pada PP 145/2000, mobil angkutan orang kurang dari 10 orang dan sistem penggerak 4x2, dibedakan dalam 2 kelompok. Kelompok pertama dengan isi silinder tidak lebih dari 1.500 cc dikenakan tarif PPnBM 10%. Kelompok kedua dengan isi silinder lebih dari 1.500 cc tetapi tidak lebih dari 3.000cc dikenakan tarif PPnBM 20%.

Dari pengelompokan tersebut tersirat mobil kelompok kedua lebih mewah daripada kelompok pertama, sehingga terkena tarif PPnBM yang lebih tinggi. Kapasitas isi silinder mesin memengaruhi tingkat kemewahan mobil. Hal ini dikarenakan biasanya makin besar kapasitas isi silinder, makin mahal harganya.

Namun, rezim pengenaan PPnBM untuk kendaraan bermotor tersebut berubah drastis setelah diundangkannya PP 73/2019. Penggolongan kemewahan mobil tidak lagi hanya didasarkan pada spesifikasi teknis seperti dalam beberapa PP sebelumnya, tetapi lebih didasarkan pada tingkat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) atau emisi CO2.

Sebagai contoh, mobil yang sebelumnya berdasarkan PP 145/2000 dikenakan tarif PPnBM sebesar 10% atau 20%, berdasarkan PP 73/2019 akan dikenakan tarif PPnBM yang bervariasi dari 15% hingga 40%.

Dari pengaturan yang ada dalam PP 73/2019 dapat terlihat makin ramah lingkungan suatu mobil, makin rendah tarif PPnBM-nya. Meskipun demikian, bisa saja makin ramah lingkungan suatu mobil justru malah makin mewah dan makin mahal harga mobil tersebut.

Selain itu, pengaturan dalam PP 73/2019 juga tidak memberikan ruang bagi kendaraan bermotor angkutan orang untuk dikecualikan dari BKP mewah. Pembebasan PPnBM dalam PP 73/2019 hanya diberikan atas kendaraan bermotor yang digunakan untuk tujuan tertentu.

Kendaraan bermotor yang dimaksud seperti kendaraan ambulans, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan, kendaraan angkutan umum, kendaraan untuk tujuan protokoler kenegaraan, kendaraan dinas Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan kendaraan untuk keperluan patroli TNI atau Polri.

Dengan demikian, semua kelompok kendaraan bermotor yang tidak dipergunakan untuk tujuan-tujuan tersebut merupakan BKP mewah dan dikenakan PPnBM, terlepas dari berapa pun harga jualnya serta tingkat kemewahan kendaraan bermotor.

Relevansi Pajak Karbon 

PERTANYAAN selanjutnya terkait dengan relevansi pengaturan PPnBM saat ini dengan kebijakan pajak karbon dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) UU HPP, pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 13 ayat (6) UU HPP, pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.

UU HPP diterbitkan setelah berlakunya PP 73/2019. Dengan diperkenalkannya pajak karbon dalam UU HPP, relevansi konsideran pengenaan PPnBM dalam PP 73/2019 patut dipertanyakan.

Dalam PP 73/2019 disebutkan dasar pertimbangan pengaturan PPnBM adalah untuk lebih mendorong penggunaan kendaraan bermotor yang hemat energi dan ramah lingkungan. Hal ini tentu agak berbeda dengan tujuan pengenaan PPnBM berdasarkan UU PPN, antara lain untuk pengendalian pola konsumsi BKP yang tergolong mewah.

Pengenaan PPnBM atas kendaraan bermotor yang dibedakan berdasarkan tingkat emisi gas buang juga menimbulkan redundancy atau overlapping dengan pengenaan pajak karbon. Tarif PPnBM dalam PP 73/2019 yang didasarkan tingkat emisi karbon membuat PPnBM menjadi bercita rasa pajak karbon.

PPnBM yang seharusnya dikenakan atas kemewahan yang dinikmati oleh wajib pajak justru seolah-olah diterjemahkan menjadi cukai atas emisi kendaraan bermotor. Oleh karena itu, PPnBM dan pajak karbon perlu ditempatkan dalam track-nya masing-masing.

Pajak karbon yang dimaksudkan untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca dan mendukung pencapaian target nationally determined contribution Indonesia sebaiknya menjadi instrumen utama untuk memajaki polusi yang dihasilkan oleh penggunaan bahan bakar fosil. Adapun PPnBM sebaiknya dikembalikan sebagai instrumen untuk memajaki BKP yang tergolong mewah.

Wacana Mobil Rakyat

LANTAS, bagaimana pengaturan PPnBM untuk dapat mengakomodasi wacana mobil rakyat? Perlu diketahui terlebih dahulu, wacana mobil rakyat mengemuka setelah keberhasilan program insentif PPnBM ditanggung pemerintah (DTP) atas kendaraan bermotor pada 2021.

Untuk tahun anggaran 2022, pemerintah kembali memberikan insentif PPnBM DTP kendaraan bermotor dengan menerbitkan PMK 5/2022. Insentif diberikan terbatas untuk mobil program hemat energi dan harga terjangkau (low cost green car/LCGC) dengan harga paling banyak Rp200 juta.

Insentif juga diberikan untuk mobil angkutan orang kurang dari 10 orang, isi silinder sampai dengan 1.500 cc, harga Rp200 juta sampai dengan Rp250 juta. Kedua jenis mobil tersebut harus memenuhi persyaratan local purchase paling sedikit 80%.

Insentif PPnBM DTP dilatarbelakangi turunnya minat dan daya beli masyarakat atas kendaraan bermotor sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Realisasi pemanfaatan insentif tersebut pada tahun anggaran 2021 senilai Rp4,41 triliun, yaitu 27,5% lebih tinggi dari dana yang dialokasikan dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Tingginya realisasi pemanfaatan insentif ini berbanding lurus dengan perbaikan kinerja industri otomotif. Berdasarkan data Gaikindo, pada Desember 2021, jumlah penjualan secara wholesales dari produsen ke dealer mobil baru tercatat sebanyak 96.670 unit atau naik 96,48% jika dibandingkan dengan jumlah penjualan pada Februari 2021 sebelum adanya insentif PPnBM DTP.

Berbekal keberhasilan tersebut, menteri perindustrian menggulirkan wacana mobil rakyat yang bebas dari pengenaan PPnBM. Namun, wacana ini belum dapat diakomodasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Oleh karena itu, perlu mengembalikan skema pengenaan PPnBM atas kendaraan bermotor berdasarkan tingkat kemewahannya. Dengan demikian, wacana mobil rakyat yang didefinisikan sebagai bukan barang mewah akan dapat diakomodasi untuk dibebaskan dari PPnBM.

Pemerintah perlu melakukan revisi terhadap PP 73/2019 untuk mengelompokkan kembali BKP yang tergolong mewah setelah berkonsultasi dengan DPR. Dalam jangka pendek, pemberlakuan kembali insentif PPnBM DTP mungkin merupakan solusi yang tepat meskipun bersifat sementara.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.