Indrajaya Burnama,
KLAUS Schwab, pendiri World Economic Forum, berpendapat perubahan teknologi secara drastis akan mengubah cara individu, perusahaan, dan pemerintah beraktivitas, hingga menyebabkan perubahan fundamental. Salah satunya tampak dari Internet yang sangat memengaruhi kehidupan.
Apalagi di tengah merebaknya pandemi Covid-19 seperti sekarang. Pemerintah menerapkan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar di beberapa wilayah di Tanah Air untuk mencegah merebaknya pandemi Covid-19 yang telah menelan banyak korban jiwa.
Salah satu dampaknya adalah pembatasan bekerja di luar rumah sehingga kerja dilakukan di rumah (work from home/WFH) dengan berbekal koneksi Internet. Sebuah wacana yang pernah mengemuka di tahun lalu terkait dengan Revolusi Industri 4.0.
Dalam konteks layanan perpajakan, ada pemandangan tidak biasa 2 bulan ini. Lahan parkir di kantor pajak tiap hari sepi. Tidak ada lagi antrean. Bahkan saat deadline Surat Pemberitahuan (SPT). Tidak ada kerumunan wajib pajak. Hal ini karena ada instruksi Menteri Keuangan untuk WFH.
Lantas bagaimana layanan perpajakan yang biasa dilakukan dengan tatap muka? Mulai 16 Maret 2020, layanan seperti pelaporan SPT, konsultasi, permohonan atau pemberitahuan sudah dilakukan dengan digital. Singkatnya, banyak layanan perpajakan yang diakses melalui Internet.
Era Digital Pajak
DIAKUI atau tidak, reformasi perpajakan yang berproses di Ditjen Pajak sudah berada pada jalur yang tepat. Awal tahun ini, Dirjen Pajak Suryo Utomo menyatakan akan mengoptimalkan penggunaan teknologi dalam memberikan pelayanan, ditandai dengan peluncuran Single Login.
Dengan Single Login, wajib pajak dapat menikmati berbagai layanan digital hanya dengan sekali akses. Ditjen Pajak menjawab tantangan Revolusi Industri 4.0 dengan otomatisasi dan integrasi layanan perpajakan, sehingga administrasi perpajakan dapat dengan mudah dilaksanakan wajib pajak.
Terkait dengan pandemi Covid-19, Ditjen Pajak seolah sedia payung sebelum hujan. Wajib pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dari rumah atau kantor tanpa meninggalkan aktivitas kerja atau usahanya. Tidak perlu bermacet ria di jalan. Apalagi antre menunggu giliran layanan.
Semua aktivitas tersebut dapat dilakukan dengan cepat, tepat dan setiap saat. Kewajiban daftar Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sampai pelaporan SPT dapat dilakukan secara daring. Termasuk dalam hal wajib pajak ingin mengambil hak perpajakannya.
Layanan digital terakhir adalah pemberian insentif. Dengan Single Login, wajib pajak terdampak Covid-19 dapat mengakses insentif PPh Pasal 21 DTP, PPh Pasal 22 impor, PPN impor, dan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 serta pengajuan Surat Keterangan bagi UMKM dengan sekali akses.
Semua layanan insentif perpajakan tersebut diberikan secara online dan real time. Wajib pajak sama sekali tidak perlu ke kantor pajak. Insentif itu dapat diteguk wajib pajak lebih cepat, efektif dan efisien. Hikmahnya, digitalisasi layanan perpajakan yang harus didukung oleh semua pihak.
Menuju Cooperative Compliance
BERBAGAIÂ layanan digital itu adalah momen tepat untuk mengubah paradigma voluntary compliance ke cooperative compliance. Seperti dinyatakan Managing Partner DDTC Darussalam, digitalisasi layanan perpajakan menciptakan simbiosis mutualisme antara wajib pajak dan otoritas pajak.
Jelasnya, digitalisasi layanan perpajakan akan memberikan kepastian waktu, efisiensi biaya dan keterbukaan serta transparansi informasi bagi wajib pajak. Dengan berbagai kondisi itu sangat dipastikan akan membantu terwujudnya kepatuhan, sehingga akan mendongkrak tax ratio.
Namun, digitalisasi layanan perpajakan bukan berarti tanpa kendala. Pertama, belum semua wajib pajak melek teknologi. Karena itu, Ditjen Pajak harus mengedukasi kelompok yang belum melek teknologi ini, sehingga mereka tidak menghindar dari kewajiban pajak karena ketidakmampuan itu.
Menurut Thomas Sumarsan (2014), beberapa penyebab tax avoidance adalah rendahnya kualitas SDM wajib pajak dan rumitnya sistem pajak itu sendiri. Berbagai layanan digital perpajakan tentu akan membantu wajib pajak di perkotaan, tetapi bisa jadi menyulitkan wajib pajak di perdesaan.
Fakta tersebut sebenarnya sudah diantisipasi dengan perubahan tugas dan fungsi (tusi) Account Representative (AR). Tepatnya dengan munculnya AR Wilayah yang lebih mengeratkan hubungan wajib pajak dan Ditjen Pajak. Sayang, sebelum tusi itu diberlakukan pandemik Covid-19 muncul.
Kedua, menjamin stabilitas koneksi DJP Online. Hal ini agar wajib pajak dapat menunaikan kewajiban dan mengambil haknya dengan mudah. Kita ingat gangguan saat mengajukan sertifikat elektronik pada 29 Januari-3 Februari 2020 yang menyebabkan keterlambatan pelaporan SPT Masa PPN.
Hal serupa terjadi pada 20 Februari 2020 dan menyebabkan wajib pajak tidak dapat melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 dan SPT Masa PPh Final Pasal 4 ayat (2). Namun, yang perlu dicermati adalah sportivitas Ditjen Pajak dengan mengecualikan sanksi denda atas keterlambatan lapor itu.
Mengutip Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal, Ditjen Pajak menjawab tantangan zaman dengan mengubah proses bisnis dan mengurangi interaksi langsung dengan fiskus. Hal ini ditempuh dengan menyederhanakan administrasi dan meninggalkan cara lama yang tidak efektif dan efisien.
Semua layanan perpajakan dilakukan dengan mengutamakan website, jika kurang jelas dilanjutkan call atau ke counter. Itui berarti proses digitalisasi layanan perpajakan sedang dan akan terus berlangsung untuk memudahkan wajib pajak, tidak peduli ada pandemi atau tidak.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.