Pertanyaan:
SAAT ini saya bekerja di perusahaan asuransi di Jakarta. Kami mendapat klien perusahaan yang mengasuransikan pabriknya kepada kami dengan membayar premi asuransi per tahun. Kemudian, untuk menjamin pelaksanaan asuransi tersebut, perusahaan kami mereasuransikan sebagian polis asuransi tersebut kepada perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar premi asuransi per tahun. Pertanyaan kami sederhana, apa yang menjadi dasar pemotongan pajak atas pembayaran premi reasuransi tersebut kepada pihak luar negeri? Terima kasih.
Rahmat, Jakarta.
Jawaban:
TERIMA kasih Bapak Rahmat atas pertanyaannya. Terkait pertanyaan Bapak, ketentuan pajak mengenai pembayaran premi asuransi kepada perusahaan asuransi di luar negeri, telah diatur dalam Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 36/2008 (UU PPh).
Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa atas penghasilan dari premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri dipotong pajak 20% dari perkiraan penghasilan neto. Terkait perkiraan penghasilan neto diatur lebih lanjut melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 624/PMK.04/1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang Dibayar kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri.
Pasal 1 ayat (1) KMK 624/1994 juga menegaskan kembali bahwa atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi kepada perusahaan asuransi di luar negeri dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto. Adapun besarnya perkiraan penghasilan neto perusahaan asuransi luar negeri ditentukan sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan di atas, terdapat tiga tarif perkiraan penghasilan neto yang berlaku atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi ke luar negeri. Lebih lanjut, otoritas pajak juga telah menerbitkan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-25/PJ.4/1995 yang meringkas tarif perkiraan penghasilan neto di atas beserta tarif efektif PPh Pasal 26, yaitu sebagai berikut:
Untuk dapat memahami ketentuan di atas, berikut contoh ilustrasinya dikaitkan dengan kondisi perusahaan Bapak Rahmat. Misalnya, PT A (klien perusahaan) mengasuransikan pabriknya kepada perusahaan asuransi Bapak Rahmat (PT B) dengan membayar premi asuransi sebesar Rp10 miliar per tahun. Kemudian, PT B mereasuransikan sebagian polis asuransi tersebut kepada perusahaan luar negeri (AB Insurance) dengan membayar premi asuransi sebesar Rp5 miliar.
Berdasarkan informasi di atas maka besarnya perkiraan penghasilan neto perusahaan asuransi di luar negeri dan PPh Pasal 26 yang terutang adalah sebagai berikut:
Dengan demikian, atas pembayaran premi reasuransi PT B kepada AB Insurance sebesar Rp5 miliar, PT B wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sebesar Rp100 juta.
Selain itu, sebagai informasii tambahan, sesuai KMK 624/1994, PPh Pasal 26 atas penghasilan premi reasuransi tersebut terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran premi atau pada akhir bulan terutangnya premi asuransi tersebut. Penyetoran PPh Pasal 26 dilakukan oleh pemotong selambat-lambatnya 10 hari setelah saat terutangnya pajak dengan menggunakan surat setoran pajak (SSP).
Pada saat melakukan pemotongan PPh Pasal 26 pihak pembayar premi tersebut wajib membuat bukti pemotongan PPh Pasal 26 dalam rangkap tiga, yaitu lembar pertama diberikan kepada perusahaan asuransi di luar negeri, lembar kedua untuk dikirimkan kepada kantor pelayanan pajak (KPP) setempat, dan lembar ketiga untuk arsip pemotong pajak.
Selain itu, pemotong pajak wajib melaporkan pemotongan serta penyetoran PPh Pasal 26 yang telah dilakukan selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 26 beserta lampiran dokumen yang ditentukan.
Demikian jawaban kami. Semoga membantu kesulitan Bapak Rahmat.(Disclaimer)