Abiyoga Sidhi Wiyanto,
AKHIR-akhir ini, masyarakat dihadapkan pada buruknya kualitas udara ibu kota. Berdasarkan pada data IQAir, Senin (28/8/23), Jakarta masuk dalam deretan kota dengan tingkat polusi terparah di dunia.
Berdasarkan pada data Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), aktivitas transportasi, pembangkit listrik bertenaga batu bara, serta industri manufaktur tercatat sebagai penyebab utama pencemaran udara.
Situasi tersebut turut menjadi perhatian pemerintah. Berbagai rencana diungkap, salah satunya adalah pengenaan pajak pencemaran lingkungan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyebut pajak itu akan dikenakan pada kendaraan bermotor yang tidak lulus uji emisi.
Pertanyaannya, apakah diperlukan pengenaan pajak baru berupa pajak pencemaran lingkungan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, rasanya kita perlu untuk melihat dahuluĀ 6 aspek penting yang bisa turut dipertimbangkan pemerintah.
Pertama, penetapan akar permasalahan yang perlu diatasi. Pajak memang tak jarang digunakan sebagai instrumen untuk mengatasi permasalahan terkait dengan lingkungan. Hal ini sering dikaitkan dengan polluter pays principle.
Dalam konteks ini, pengenaan pajak pencemaran lingkungan memang sesuai dengan polluter pays principle. Teori ini menghasilkan pemahaman bahwa segala aktivitas ekonomi, baik yang berdampak positif maupun negatif terhadap lingkungan, harus dikuantifikasi (OECD, 2005).
Sejalan dengan prinsip itu, pihak yang menghasilkan eksternalitas negatif harus membayar biaya perbaikan untuk memperbaiki lingkungan (Falcao, 2019). Namun, hingga saat ini, masih terdapat perdebatan, bahkan antarlembaga pemerintah, terkait dengan sektor yang sebenarnya paling bertanggung jawab atas polusi.
Berdasarkan pada data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sektor transportasi menyumbang sebesar 44% dari total emisi, sekaligus menjadi yang tertinggi. Data inilah yang menjadi salah satu justifikasi pengenaan pajak pencemaran lingkungan atas kendaraan bermotor yang tidak lulus uji emisi.
Namun, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut polusi yang terjadi bukan semata disumbang dari sektor transportasi. Polusi udara tercatat tetap tinggi, bahkan pada akhir pekan saat jumlah mobilitas kendaraan menurun signifikan.
Jika menggunakan polluter pays principle, pemerintah harus dengan tepat mengidentifikasi serta menetapkan pihak polluter. Ketidaktepatan penentuan akar masalah justru akan berkorelasi dengan kesalahan dalam penggunaan instrumen, termasuk pengenaan pajaknya.
Kedua, evaluasi atas kebijakan pajak lingkungan yang sudah ada. Semangat pengenaan pajak pencemaran lingkungan sejatinya juga ada dalam pajak kendaraan bermotor (PKB), pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB), dan tarif progresif pajak kendaraan bermotor dalam UU 1/2022. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan pengenaan PKB turut memperhitungkan bobot kerusakan lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
Kemudian, sudah ada pula pengenaan pajak emisi kendaraan yang secara implisit telah masuk dalam komponen pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Sesuai dengan Pasal 26 dan Pasal 27 PP 74/2021, tingkat emisi karbon menjadi salah satu penentu tarif PPnBM.
Pajak lingkungan pada sektor lain juga telah dimuat dalam skema pajak air bersih (PAB), pajak air permukaan (PAP), pajak sarang burung walet, serta pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB) sesuai dengan ketentuan dalam UU 1/2022.
Pertanyaannya, apakah berbagai jenis pajak tersebut sudah dievaluasi? Dalam konteks ini, pemerintah perlu terlebih dahulu melihat kembali keberadaan dan efektivitas pengenaan sejumlah pajak berorientasi lingkungan tersebut. Pengenaan jenis pajak baru berpotensi tumpang tindih (overlapping) dengan kebijakan yang sudah ada. Pada saat yang sama, permasalahan belum sepenuhnya dapat diatasi.
Ketiga, desain untuk menjamin efektivitas pengenaan pajak lingkungan untuk pengurangan polusi. Beberapa penelitian menunjukkan pajak lingkungan belum tentu efektif mengurangi polusi. Ketatnya regulasi lingkungan umumnya hanya berdampak langsung pada penurunan efisiensi ekonomi perusahaan, tetapi tidak efektif pada peningkatan kualitas lingkungan (Saltari dan Travaglini, 2011).
Sejalan dengan itu, Wu dan Tal (2018) menunjukkan kelemahan sistem pungutan pembuangan emisi dalam proses penerapannya. Kelemahan itu antara lain tarif pungutan yang rendah, administrasi yang rumit, dan penegakan aturan yang kurang memengaruhi efektivitas penurunan emisi.
Dengan kata lain, keberhasilan instrumen pajak dalam mengatasi emisi dan/atau memperbaiki lingkungan sangat dipengaruhi oleh desainnya. Desain kebijakanĀ pajak lingkungan harus mampu memprediksi serta mengantisipasi perubahan perilaku dari sisi konsumen (demand response) dan produsen (supply response). AsumsiĀ yang bersifat statis -bahwa perilaku para pelaku pasar akan tetap sama- harus dihindari untuk menjamin keberhasilan pajak lingkungan.
Keempat, konsistensi kebijakan dalam mengatasi pencemaran lingkungan. Pada 2015 silam, wacana pajak pencemaran lingkungan sudah muncul ketika kebakaran hutan dan lahan (karhutla) marak di Indonesia. Pemerintah berencana untuk memajaki pihak-pihak yang dengan sengaja membakar hutan sehingga menimbulkan polusi. Kenyataannya, kebijakan tersebut tak kunjung terlaksana dan tenggelam seiring redanya karhutla.
Mari kita melihat juga rencana pengenaan pajak karbon. Hingga saat ini, kebijakan tersebut belum diterapkan meskipun sudah masuk dalam UU 7/2021. Pemerintah menyatakan masih menunggu momentum yang tepat untuk mengimplementasikan pajak karbon.
Terbaru, Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri mengusulkan penghapusan pajak progresif kendaraan bermotor. Alasannya, pajak progresif yang diterapkan guna menekan laju pertumbuhan kendaraan tidak efektif dan justru mendorong ketidakpatuhan dalam administrasi.
Dari sejumlah fakta tersebut terlihat adanya maju-mundur dalam pengenaan pajak yang terkait dengan lingkungan. Ironisnya lagi, ada rencana menganulir kebijakan dengan alasan administrasi tanpa melihat tujuan awal perumusan aturan yang terkait dengan perbaikan lingkungan.
Kelima, motif penerapan pajak lingkungan. Penerapan pajak lingkungan tidak hanya didasarkan pada motif kebutuhan penerimaan untuk mendanai anggaran. Lebih dari itu, pengenaan pajak harus dirancang untuk memberikan insentif bagi suatu entitas dalam upaya penurunan emisi. Pembebanan pajak lingkungan harus sebanding dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan (Fischer dan Miller, 2006).
Oleh sebab itu, motif anggaran dalam pengenaan pajak lingkungan juga harus diikuti dengan alokasi penyaluran yang sebanding terhadap program terkait. Dalam konteks ini, implementasi kebijakan budget earmarking dapat menjadi alternatif solusi.
Budget earmarking merujuk pada alokasi dana dari penerimaan pajak yang diperuntukkan untuk pembiayaan program yang berorientasi bagi perbaikan lingkungan serta masyarakat terdampakĀ sebagaimana tercantum dalam undang-undang. Selain itu, penerapan earmarking dapat mendukung akuntabilitas pengenaan pajak karena alokasi dari pungutan pajak diketahui secara jelas (Lutfi, 2013).
Keenam, koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kita perlu memahami bahwa kelestarian dan lingkungan hidup yang sehat adalah barang publik yang diinginkan seluruh pihak.Ā
Koordinasi yang solid antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah -serta antardaerah- sangat dibutuhkan untuk mengatasi persoalan polusi. Bagaimanapun, pencemaran di satu daerah bisa berdampak pada daerah lain (spillover effect). Hal ini menjadi justifikasi perlunya koordinasi yang erat.
Kebijakan yang berbeda antarwilayah dapat menyebabkan individu atau entitas bisnis mengalihkan polusinya ke wilayah dengan peraturan lebih longgar tentang pencemaran lingkungan. Hal ini juga berpotensi menciptakan perlombaan yang tidak sehat, termasuk race to the bottom dari sisi tarif.
BERDASARKAN pada keenam aspek tersebut, jika ingin menerapkan pajak pencemaran lingkungan, pemerintah perlu mendesain kebijakan dengan tepat. Desain kebijakan harus dirumuskan dengan identifikasi yang tepat atas akar permasalahan yang hendak diatasi. Hal ini sejalan dengan polluter pays principle.
Untuk itu, pemerintah perlu untuk terlebih dahulu mengevaluasi semua kebijakan terkait dengan pajak lingkungan yang sudah ada. Selain untuk menguji efektivitas kebijakan yang sudah ada, hasil evaluasi bisa digunakan untuk menyusun roadmap. Tujuannya untuk menghindari overlapping pengaturan.
Roadmap yang komprehensif juga dibutuhkan agar pemerintah tetap konsisten dalam mengimplementasikan kebijakan. Terlebih, pajak terkait dengan lingkungan harus dilihat bukan hanya dari motif anggaran. Dalam konteks ini, optimalisasi skema earmarking budget bisa dilakukan untuk memastikan adanya alokasi yang tepat untuk perbaikan lingkungan.
Tidak hanya itu, implementasi pajak terkait dengan lingkungan juga perlu digabungkan dengan instrumen kebijakan lain untuk mengatasi permasalahan tertentu (OECD, 2011). Selain pajak, terdapat alternatif solusi melalui instrumen nonfiskal, di antaranya green financing, kemitraan publik-privat, hingga kerjasama internasional.
Pada akhirnya, perlu atau tidaknya implementasi jenis pajak baru berupa pajak pencemaran lingkungan seharusnya tidak dapat dilepaskan dari keenam aspek di atas. Harapannya, penerapan pajak benar-benar berdampak pada perbaikan lingkungan, tidak hanya masalah penerimaan atau wacana yang timbul-tenggelam.
Pemerintah juga perlu memberikan penjelasan secara jelas dan komprehensif kepada publik. Mengapa? Karena publik yang pada akhirnya menanggung beban pajak. Ā