TAJUK PAJAK

PPN DTP Kertas Koran Membantu, Tapi..

Redaksi DDTCNews | Kamis, 24 September 2020 | 09:50 WIB
PPN DTP Kertas Koran Membantu, Tapi..

Ilustrasi. (Foto: newyorkbannerstands.com)

PEKAN lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 125/PMK.010/2020 mengenai pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung pemerintah (DTP) atas impor dan penyerahan kertas koran/majalah pada tahun anggaran 2020.

PMK ini merupakan bagian dari upaya penanggulangan dampak pandemi Covid-19 terhadap media massa, khususnya media cetak. “Bentuk dukungan pemerintah bagi industri media massa cetak,” demikian bunyi salah satu pertimbangan PMK tersebut, Selasa (15/9/2020).

PPN DTP ini diberikan atas impor keras koran dan/atau kertas majalah oleh perusahaan pers, baik yang dilakukan sendiri atau sebagai indentor/menggunakan importir. Selain itu, ada pula penyerahan kertas koran dan/atau kertas majalah kepada perusahaan pers.

Baca Juga:
Saatnya Memilih! Anda Pembayar Pajak, Jangan Golput!

Perusahaan pers yang dimaksud adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers, yaitu perusahaan media cetak yang menyelenggarakan, menyiarkan, dan menyalurkan informasi berupa penerbitan surat kabar, jurnal, buletin, dan majalah.

Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan insentif ini diberikan karena kondisi industri media cetak yang tertekan. “Di samping itu, ini sehubungan dengan meningkatnya media online, termasuk yang dari luar negeri,” ujarnya.

Insentif ini tentu disambut hangat oleh insan pers di Indonesia. Maklum, sudah sejak lama para pekerja pers menuntut pembebasan PPN kertas koran dan majalah. Bahkan, setiap ada pertemuan dengan Dirjen Pajak atau Menteri Keuangan, usulan tersebut hampir selalu disampaikan.

Baca Juga:
2023, Waktunya Evaluasi Desain Insentif Pajak

Serikat Perusahaan Surat Kabar—sebelum berganti nama menjadi Serikat Perusahaan Pers—juga sudah menyampaikan usulan tersebut sejak puluhan tahun silam. Organisasi yang berdiri setahun setelah Indonesia merdeka ini seperti tak pernah bosan mengusulkan pembebasan PPN itu.

Wartawan senior Parni Hadi, ketika menjadi moderator pertemuan pemimpin redaksi media massa dengan Dirjen Pajak Darmin Nasution pada 2007, juga menyampaikan usulan tersebut. Saat itu, ia mengatakan hanya 30% pers di Indonesia yang sehat. “Sisanya hidup segan mati tak mau.” katanya.

Memang, tuntutan tersebut hingga kini belum dipenuhi. PPN kertas koran/majalah tidak dibebaskan seperti yang diminta, tetapi menjadi ditanggung pemerintah. Ini langkah yang taktis, karena itu berarti PPN-nya masih ada, sehingga produsen kertas di hulu tetap bisa mengajukan restitusi.

Baca Juga:
Pemda, Manfaatkan Sisa Setahun

Dari sisi operasional, relaksasi tersebut sangat membantu perusahaan penerbit koran dan majalah dalam menjaga keberlangsungan usahanya. Beban belanja kertas bagi perusahaan pers mencapai 30%-50% dari biaya produksi. Karena itu, peran PPN DTP kertas koran/majalah ini signifikan.

Dengan relaksasi tersebut diharapkan perusahaan pers bisa bertahan, dan menjadi pilar demokrasi yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita tentu prihatin, ketika hari-hari ini mendengar ada media massa cetak yang—selain makin terpepet oleh media online—mem-PHK wartawannya.

Namun, meski relaksasi itu bisa meringankan kinerja perusahaan pers, insentif ini praktis tidak cukup kuat membantu memperbesar margin bisnis perusahaan. Marginnya tetap tipis. Apalagi pada masa pandemi ini. Iklan menurun, sirkulasi menurun, aktivitas offprint juga berkurang drastis.

Baca Juga:
Menyongsong Implementasi Ketentuan Baru Pajak Internasional

Sayup-sayup kita juga mendengar bank-bank di Indonesia sudah memasukkan perusahaan pers ke dalam sunset industry. Di sisi lain, kemajuan teknologi informasi sudah semakin tidak terbendung. Media online, media sosial, video streaming, adalah ‘lawan berat’ bagi media cetak sekarang.

Itu berarti, media cetak kian kehilangan pembaca, aset terpentingnya. Imbasnya, wartawan jaman now seperti kehilangan kebanggaan profesi, yang kuat tertanam di benak wartawan jaman old. Narasumber yang dulu harus menggelar konferensi, kini juga cukup mengumumkan rilis di media sosial.

Perkembangan ini tentu perlu direspons bijak. PPN kertas koran/majalah ditanggung pemerintah tidak cukup menyelesaikan permasalahan itu, yang sudah mendera 5 tahun terakhir ini. Perlu strategi matang perusahaan media cetak untuk tetap bertahan di tengah badai transformasi teknologi ini.


Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

24 September 2020 | 14:52 WIB

Sebenarnya media cetak lebih bagus daripada media online. Semoga insentif ini bisa berguna

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 13 Februari 2024 | 10:05 WIB SURAT DARI KELAPA GADING

Saatnya Memilih! Anda Pembayar Pajak, Jangan Golput!

Jumat, 14 Juli 2023 | 15:35 WIB TAJUK PAJAK

Hari Pajak, Momentum untuk Mendengar Wajib Pajak

Senin, 30 Januari 2023 | 12:00 WIB TAJUK PERPAJAKAN

Reformasi Bea Cukai: Proses Bisnis dan Integritas

Selasa, 10 Januari 2023 | 11:47 WIB TAJUK PAJAK

2023, Waktunya Evaluasi Desain Insentif Pajak

BERITA PILIHAN
Rabu, 08 Mei 2024 | 18:30 WIB KAMUS PENERIMAAN NEGARA

Apa Itu Automatic Blocking System?

Rabu, 08 Mei 2024 | 18:00 WIB BEA CUKAI JEMBER

Dapat Laporan Warga, Bea Cukai Gerebek Toko yang Jual Miras Ilegal

Rabu, 08 Mei 2024 | 17:31 WIB KANWIL DJP KEPULAUAN RIAU

Ada Sita Serentak, DJP Amankan Aset Milik Wajib Pajak Rp2 Miliar