Foto udara kincir angin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (27/5/2023). ANTARA FOTO/Arnas Padda/nym.
JAKARTA, DDTCNews - Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai pemanfaatan insentif fiskal untuk pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) belum optimal.
Kepala Pusat Studi Energi UGM Deendarlianto mengatakan Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan energi baru dan terbarukan yang masih tergolong mahal. Sayangnya, belum banyak pelaku usaha sektor energi yang memanfaatkan berbagai skema insentif fiskal, termasuk perpajakan, untuk mengembangkannya.
"Beberapa tantangan dari sisi ekonomi adalah insentif fiskal belum dimanfaatkan secara optimal. Yang pertama mengenai perpajakan," katanya dalam sebuah webinar, dikutip pada Rabu (7/6/2023).
Deendarlianto mengatakan insentif perpajakan belum banyak dimanfaatkan oleh para pengembang. Padahal, insentif perpajakan tersebut dapat mengurangi beban pelaku usaha ketika berinvestasi di sektor energi baru dan terbarukan.
Pada bidang energi terbarukan, pemerintah sejauh ini telah menyiapkan berbagai insentif melalui skema tax holiday, tax allowance, pembebasan bea masuk impor, pengurangan pajak pertambahan nilai (PPN), serta pajak penghasilan (PPh) yang ditanggung pemerintah. Bahkan pada kegiatan geothermal, pemerintah juga dapat memberikan pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk pengembangan panas bumi dan energi baru terbarukan.
Selain soal pemanfaatan insentif fiskal, tantangan pengembangan pembangkit energi terbarukan lainnya misalnya proses penyerahan aset dari kementerian kepada pemda yang berlarut-larut, serta terbatasnya transfer dana ke daerah melalui dana alokasi khusus (DAK).
Deendarlianto menyebut pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih serius untuk pengembangan energi terbarukan. Kontribusi produk domestik regional bruto (PDRB) yang besar pada wilayah Indonesia barat mendorong Pusat Studi Energi UGM membuat kajian mengenai pentingnya pembuatan strategi pengembangan energi baru dan terbarukan yang berbeda antara wilayah barat dan timur.
Pada kawasan barat Indonesia, pemanfaatan energi baru dan terbarukan harus didorong dari sisi demand lebih dulu untuk menghasilkan supply. Adapun untuk Indonesia timur, supply energi baru dan terbarukan harus mendahulukan agar terbentuk demand.
"Ini yang membedakan antara Indonesia barat dan timur," ujarnya. (sap)