Ilustrasi.
JAKARTA, DDDTCNews - Menteri Keuangan Sri Mulyani baru saja meneken produk hukum baru, PMK 136/2024. Beleid ini menjadi dasar bagi Indonesia untuk menerapkan pajak minimum global dengan tarif efektif 15% berdasarkan income inclusion rule (IIR), domestic minimum top-up tax (DMTT), dan undertaxed payment rule (UTPR).
Perlu dicatat, PMK 136/2024 yang berlaku sejak 1 Januari 2025 hanya mencakup ketentuan pajak minimum global sesuai dengan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE). Begini penjelasannya.
Pajak minimum global sendiri merupakan satu bagian dari perubahan sistem pajak yang digagas oleh OECD/G-20 Inclusive Framework on BEPS (BEPS IF) berjuluk Solusi Dua Pilar (Two-Pillar Solution). Sesuai namanya, Solusi Dua Pilar terdiri atas Pilar 1 dan Pilar 2.
Gambaran sederhananya, Pilar 1 bertujuan untuk meredistribusi hak pemajakan yang lebih adil bagi negara-negara pasar. Pilar 1 terdiri atas Amount A dan Amount B.
Sementara Pilar 2, yang mencakup Global Anti Base Erotion (GloBE) dan Subject to Tax Rule (STTR), menjadi solusi untuk mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak melalui penerapan tarif minimum PPh badan secara global.
Secara sinergi, Two-Pillar Solution akan memberikan stabilitas dalam sistem pajak internasional. Penerapan kebijakan tersebut juga mendorong pemajakan yang lebih adil atas perkembangan ekonomi lintas batas negara yang kian terdigitalisasi (OECD, 2023). Baca 'Implementasi ‘Two-Pillar Solution’ Kian Dekat, Siapkah Kita?'
Baik Pilar 1 dan Pilar 2 memiliki pendekatan yang berbeda dalam penerapannya. Pilar 1 bersifat wajib atau harus diterapkan (minimum standar) bagi anggota OECD/G-20 IF yang sudah menyepakati Two-Pillar Solution. Meski begitu, Pilar 1 baru akan berlaku apabila 30% negara yang mewakili 60% ultimate parent entity menandatangani dan meratifikasi multilateral convention (MLC) Pilar 1.
Sementara Pilar 2 bersifat common approach, yang meski tidak wajib, mau tidak mau akan tetap berdampak terhadap seluruh yurisdiksi.
Kembali ke PMK 136/2024, beleid ini diterbitkan sebagai landasan bagi Indonesia dalam mengimplementasikan pajak minimum global sesuai dengan Pilar 2. Ketentuan ini berlaku bagi perusahaan multinasional beromzet konsolidasi global minimal €750 juta.
Dengan diadopsinya pajak minimum global, wajib pajak badan tercakup nantinya akan dikenai top-up tax jika tarif pajak efektif yang dibayar kurang dari 15%. Nanti, top-up tax harus dibayar paling lambat pada akhir tahun pajak berikutnya. Untuk tahun pajak 2025, top-up tax harus dibayar paling lambat pada 31 Desember 2026. Baca 'Rekomendasi Kebijakan untuk Optimalkan Penerapan Pilar 2 di Indonesia'.
Sampai saat ini negara-negara anggota Inclusive Framework masih belum mencapai kesepakatan atas Amount A dan Amount B dari Pilar 1.
Merujuk pada laporan pimpinan Inclusive Framework, multilateral convention (MLC) dari Amount A sudah selesai disusun dan siap diadopsi pada Juni 2024. Namun, co-chairs mencatat negara-negara anggota Inclusive Framework masih belum mencapai kesepakatan atas Amount B.
"Teks MLC sudah tidak berubah sejak Juni 2024. Negosiasi lebih berfokus pada permasalahan-permasalahan dalam Amount B," tulis Inclusive Framework dalam laporannya. Baca 'Negosiasi Pilar 1 Masih Jalan di Tempat, Ternyata Ini Sebabnya'.
Konsensus atas Amount B penting untuk dicapai mengingat banyak negara anggota Inclusive Framework yang memandang Amount B sebagai bagian penting dari keseluruhan paket Pilar 1.
Hingga saat ini, Inclusive Framework masih belum menemukan solusi yang didukung oleh semua anggota. Meski demikian, Inclusive Framework berkomitmen untuk tetap berfokus kami tetap pada pemecahan masalah dan pencapaian konsensus.
Sebagai informasi, Amount A Pilar 1 bakal menjadi landasan dari realokasi hak pemajakan dari yurisdiksi domisili ke yurisdiksi pasar atas penghasilan yang diperoleh perusahaan multinasional. Baca 'Menelusuri Kompleksitas dan Tantangan Penerapan Pilar 1 Amount A'.
Bila konsensus atas Amount A Pilar 1, tercapai yurisdiksi pasar bakal mendapatkan hak pemajakan atas 25% dari residual profit yang diterima oleh korporasi multinasional yang tercakup pada Pilar 1.
Perusahaan multinasional bakal tercakup dalam Pilar 1 bila memiliki pendapatan global di atas €20 miliar dan profitabilitas di atas 10%.
Sementara itu, Amount B Pilar 1 bakal menjadi landasan menyederhanakan penerapan arm's length principle atas kegiatan pemasaran dan distribusi yang bersifat rutin, meliputi transaksi pemasaran dan distribusi jual beli (buy-sell marketing and distribution transactions), agen penjualan, dan commissionaire. Baca 'Simplifikasi Ketentuan Transfer Pricing Ala Pilar 1 Amount B'.
Penyederhanaan penerapan arm's length principle diperlukan untuk mengurangi sengketa transfer pricing, menekan compliance cost, serta memberikan kepastian hukum kepada fiskus dan wajib pajak.
Dalam beberapa tahun belakangan, DDTC sudah melangkah lebih awal untuk mengajak publik memahami isu-isu mengenai dinamika perpajakan internasional, termasuk soal Two-Pillar Solution. DDTC memandang, pembahasan Two-Pillar Solution menjadi langkah revolusioner yang akan mengubah sistem perpajakan dan menandai era baru bagi perusahaan multinasional.
Sejak awal, DDTC juga menyadari bahwa Two-Pillar Solution bukanlah sesuatu yang mudah untuk dipahami dan dianggap menambah kompleksitas baru bagi sistem pajak internasional. Untuk menghadapi risiko pajak yang mungkin timbul dari penerapan Two-Pillar Solution, penting untuk mencapai keselarasan antara optimalisasi aspek komersial dan kepatuhan pajak dengan agenda pemerintah yang akan datang.
Menangkap tantangan tersebut, DDTC sempat menggelar Breakfast Talk: The Two-Pillar Solution & the Impact on Indonesian Taxpayers pada Desember 2023 lalu. Acara ini menandai langkah DDTC sebagai pionir dalam mengatasi dan membahas isu Two-Pillar Solution di Indonesia, serta terdepan dalam pemikiran dan inovasi di industri pajak.
Untuk menyegarkan ingatan dan pemahaman mengenai antisipasi Two-Pillar Solution, berikut adalah beberapa bahan bacaan dari acara DDTC Breakfast Talk yang bisa disimak kembali.
Dalam mendampingi wajib pajak bersiap menghadapi implementasi Two-Pillar Solution, DDTC didukung oleh pakar-pakar yang mumpuni di bidang pajak internasional. Profesional DDTC telah secara aktif dilibatkan oleh pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Keuangan, dalam berbagai diskusi mengenai mitigasi sistem pajak internasional yang baru ini.
Pada 2023 misalnya, Director Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji turut diundang dalam International Tax Forum (ITF) yang digelar di Bali. Bersama Bawono, turut hadir sejumlah tokoh penting di bidang pajak internasional, seperti Director of the Centre for Tax Policy and Administration OECD Manal Corwin, Senior Adviser Canadian Tax Foundation Brian Arnold, Senior Adviser OECD Melinda Brown, serta Associate Professor of Law at the University of Lausanne Vikram Chand. Baca 'BKF Kemenkeu Gelar International Tax Forum, Wajib Pajak Bisa Terlibat'.
Berikutnya, DDTC kembali turut dilibatkan dalam penyelenggaraan International Tax Forum (ITF) 2024. Manager of DDTC Fiscal Research & Advisory Denny Visaro turut hadir bersama dengan sejumlah tokoh penting lain di bidang pajak internasional, seperti IBFD Manager Aisha Aize Isa hingga Head of Division for Cross Border and International Taxation OECD John Peterson. Baca 'BKF Gelar International Tax Forum, WP Tercakup Pilar 2 Bisa Terlibat'.
Belajar dari pengalaman, penyesuaian ketentuan pajak internasional perlu direspons secara tanggap oleh pemerintah Indonesia. Kehadiran pajak minimum global berdasarkan PMK 136/2024 perlu dibarengi dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan kepastian hukum.
Caranya, dengan menginstensifkan kegiatan capacity building, baik bagi wajib pajak maupun di internal otoritas pajak. Hal ini untuk meminimalkan mismatch pemahaman antara otoritas dan wajib pajak.
Dalam implementasinya nanti, petugas pajak harus memiliki kemampuan dalam menerangkan ketentuan pajak minimum global kepada wajib pajak secara efektif dan tidak melenceng dari GloBE rules. Baca 'Pajak Minimum Global, Capacity Building & Kepastian Hukum Jadi Kunci'.
Di sisi lain, wajib pajak juga harus terdorong untuk meng-upgrade pemahamannya secara mandiri. Hadirnya GloBE rules mengharuskan wajib pajak untuk meningkatkan pemahaman atas aspek-aspek perpajakan internasional serta interaksi antara akuntansi komersial dan akuntansi perpajakan.
Pada akhirnya, semuanya harus bersiap. Ini penting. Otoritas pajak harus menjalankan perannya dalam mengoptimalkan sosialiasi mengenai pajak minimum global dan Two-Pillar Solution secara umum, di samping mengeskalasi regulasi secara kompeten. Wajib pajak pun harus catch-up dengan informasi-informasi terkini mengenai perkembangan aturan pajak internasional terbaru.
Di tengahnya, DDTC melalui DDTCNews siap mengambil peran untuk menjembatani pemahaman mengenai pajak minimum global pada khususnya dan Two-Pillar Solution pada umumnya. DDTCNews secara khusus memberi wadah pemberitaan terhadap isu-isu pajak internasional, termasuk implementasi pajak minimum global. (sap)