Pertanyaan:
PERKENALKAN, saya Zaky. Saya adalah staf keuangan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang retail. Perusahaan kami baru berdiri pada 2021 dan termasuk dalam usaha kecil dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun.
Beberapa waktu lalu, saya mendengar adanya aturan pajak yang mengecualikan pengenaan pajak penghasilan (PPh) untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan omzer di bawah Rp500 juta per tahun. Namun, pengecualian tersebut hanya untuk orang pribadi.
Pertanyaan saya, apakah perusahaan kami yang merupakan UMKM tidak bisa mendapatkan pengecualian tersebut meski omzet masih di bawah Rp500 juta? Jika tidak, seperti apa pemajakan atas penghasilan kami nanti? Mohon informasinya. Terima kasih.
Zaky, Jakarta.
Jawaban:
TERIMA kasih Bapak Zaky atas pertanyaannya. Pada 2021, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Beleid tersebut mengubah dan menyesuaikan beberapa peraturan pajak yang sebelumnya telah ada, termasuk UU Pajak Penghasilan (PPh). Salah satu perubahan yang dibawa dalam UU HPP adalah menambahkan ketentuan batasan tidak kena pajak bagi wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
Adapun wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu merujuk pada wajib pajak dengan peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23/2018).
Wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu kerap disebut sebagai wajib pajak UMKM. Selanjutnya, berdasarkan pada ketentuan dalam UU HPP, wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, tidak dikenai PPh atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta.
Namun, perlu digaris bawahi bahwa ketentuan tersebut hanya berlaku untuk wajib pajak orang pribadi. Ketentuan ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2a) UU PPh s.t.d.t.d UU HPP yang berbunyi:
“(2a) Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e tidak dikenai Pajak Penghasilan atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2a) UU PPh s.t.d.t.d UU HPP dapat disimpulkan bagi wajib pajak badan tetap dikenai PPh, meskipun peredaran brutonya dalam satu tahun pajak masih di bawah Rp500 juta.
Adapun untuk wajib pajak badan tersebut memiliki 2 alternatif untuk menghitung PPh terutangnya.
Pertama, wajib pajak badan dengan peredaran bruto tertentu dapat menggunakan rezim PPh final sesuai PP 23/2018. Berdasarkan PP 23/2018, bagi wajib pajak badan yang memiliki peredaran bruto per tahun sampai dengan Rp4,8 miliar dapat menghitung PPh terutang menggunakan tarif final 0,5% dari peredaran bruto.
Kedua, wajib pajak badan dengan peredaran bruto dapat memilih untuk menghitung PPh terutang dengan rezim umum. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a PP 23/2018 yang mengatur:
“(2) Tidak termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
…”
Apabila wajib pajak badan dengan peredaran bruto tertentu memilih menggunakan rezim umum, pajak terutang dihitung dengan tarif sebesar 22% dari penghasilan kena pajak (PKP).
Namun, perlu menjadi catatan, wajib pajak badan dengan peredaran bruto yang telah memilih untuk menghitung PPh terutang dengan rezim umum tidak dapat menghitung PPh terutang untuk tahun-tahun pajak berikutnya berdasarkan PP 23/2018.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (4) PP 23/2018 yang berbunyi:
“(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.”
Demikian jawaban kami. Semoga membantu.
Sebagai informasi, artikel Konsultasi Pajak hadir setiap pekan untuk menjawab pertanyaan terpilih dari pembaca setia DDTCNews. Bagi Anda yang ingin mengajukan pertanyaan, silakan mengirimkannya ke alamat surat elektronik [email protected].