KOPENHAGEN, DDTCNews – Partai petahana Denmark, Venstre, mendukung penerapan global minimum tax ataskeuntungan yang dipeoleh perusahan grup multinasional. Rezim pemajakan ini menjadi pekerjaan rumah baru setelah adanya diskusi global mengenai regulasi perpajakan internasional menuju digitalisasi ekonomi.
Hal itu dingkapkan oleh Menteri Keuangan Denmark Kristian Jensen. Dia juga menyatakan dukungannya terhadap penerapan common corporate tax base (CCTB).
“Kami mendukung CCTB dan global minimum tax. Pajak perusahaan global memerlukan kerjasama politik internasional. Kami percaya solusi OECD untuk raksasa digital menuntut perlunya global minimum tax,” ujarnya melalui akun twitteryang dilansir MNE Tax, Senin (4/3/2019).
Jensen menambahkan partai petahana Denmark ingin memastikan bahwa perusahaan teknologi maupun konvensional tetap berkontribusi untuk masyarakat.
Sebagaimana diketahui, kerangka kerja inklusif tentang Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang diusung 128 negara, saat ini sedang berusaha untuk mencapai konsensus pada akhir tahun 2020 tentang aturan pajak atas keuntungan perusahaan multinasional.
Tujuan dari inisiatif ini untuk mengurangi penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional, khususnya perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang digital. Kerangka kerja inklusif tersebut menghasilkan tiga proposal, dua di antaranya adalah proposal pilar 1 yang akan meningkatkan hak pemajakan negara pasar, dan yang mengatur global minimum tax yang diatur dalam proposal pilar 2.
Walaupun desainnya belum final, proposal global minimum tax akan mendorong pengembangan aturan dalam memajaki pendapatan perusahaan cabang asing atau entitas yang dikendalikan (controlled foreign company) yang beroperasi di suatu negara mengenakan tarif pajak efektif yang rendah.
Secara sederhana, global minimum tax merupakan nilai pajak minimum yang harus dibayarkan oleh setiap perusahaan multinasional domestik yang memperoleh penghasilan dari luar negeri. Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu negara yang sudah sudah menerapkannya melalui skema Global Intangible Law Tax Income (GILTI). Berbeda halnya dengan AS, OECD memakai pendekatan antaryurisdiksi untuk sistem pemajakan ini. (Amu)