ANALISIS PAJAK

Mungkinkah Memprediksi Penerimaan Pajak di Tiap Kanwil dan KPP DJP?

Redaksi DDTCNews
Kamis, 16 Januari 2020 | 14.33 WIB
ddtc-loaderMungkinkah Memprediksi Penerimaan Pajak di Tiap Kanwil dan KPP DJP?
DDTC Fiscal Research.

TAHUN fiskal 2019 sudah usai. Realisasi penerimaan pajak tahun lalu mencapai Rp1.332,1 triliun atau sebesar 84,4% dari target Rp1.577,6 triliun.

Pencapaian tersebut juga tercermin dari kinerja pencapaian unit kerja vertikal Ditjen Pajak (DJP), mulai dari Kantor Wilayah (Kanwil), Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Besar, KPP Khusus, KPP Madya, dan KPP Pratama. Hanya sekitar 66 KPP atau 18,7% dari jumlah KPP di seluruh Indonesia yang berhasil mencapai target yang ditetapkan.

Kenyataan tersebut mempertegas kebutuhan untuk melakukan proyeksi penerimaan pajak secara kuat (robust) dan dapat diandalkan (reliable), baik di tingkat nasional maupun masing-masing unit kerja vertikal DJP. Hal ini agar target penerimaan pajak yang ditetapkan bersifat realistis dan achievable.

Urgensi proyeksi penerimaan pajak yang lebih baik kian mengemuka dengan adanya rencana untuk menambah jumlah KPP Madya pada tahun ini. Rencana tersebut disinyalir akan mengubah besaran dan sebaran target penerimaan pajak di level KPP.

Melalui kajian bertajuk ‘Metode dan Teknik Proyeksi Penerimaan Pajak: Panduan dan Aplikasi’, DDTC Fiscal Research telah mengulas dan menguji berbagai cara untuk mengestimasi penerimaan pajak. Riset tersebut relatif akurat dalam memprediksi realisasi penerimaan pajak 2019. Realisasi penerimaan pajak 2019 sebesar 84,4% dari target hanya terpaut sekitar 0,8 poin persentase dari proyeksi DDTC Fiscal Research sebesar 83,6%.

Pertanyaannya, apakah metode proyeksi sebagaimana telah diuraikan dalam kajian tersebut bisa diimplementasikan di unit kerja vertikal DJP?

Prospek

SETIDAKNYA terdapat tiga pendekatan proyeksi yang umumnya dipergunakan sebagai alat untuk memprediksi penerimaan pajak. Pendekatan yang paling sederhana adalah proyeksi berdasarkan nilai historis, contohnya autoregressive model dan random walk.

Ada pula pendekatan yang relatif lebih kompleks karena mempertimbangkan variabel lain yang relevan, semisal pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), nilai tukar, nilai impor, serta tingkat inflasi dengan model berbasis univariate maupun multivariate. Contohnya adalah model vector autoregressive.

Lebih lanjut lagi, terkadang dibutuhkan suatu proyeksi berdasarkan analisis sensitivitas penerimaan pajak terhadap produktivitas ekonomi. Metode yang paling dominan dari kelompok ini menggunakan nilai tren tax buoyancy.

Penting diketahui, tiap model memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Oleh karena itu, dibutuhkan berbagai pengujian statistik untuk menentukan hasil yang paling berkualitas.

Walaupun jarang diimplementasikan, berbagai pendekatan dan metode tersebut –sebagaimana tertuang dalam kajian DDTC Fiscal Research – dapat dipergunakan dalam memprediksi penerimaan pajak di unit kerja vertikal DJP. Namun demikian, ada beberapa catatan.

Pertama, pendekatan historis seperti autoregressive dan random walk untuk penerimaan pajak sangat mungkin dilakukan di seluruh unit kerja vertikal DJP. Realisasi dan tren penerimaan pajak tahun sebelumnya dapat menjadi bahan acuan dalam membangun model proyeksi tersebut.

Pendekatan historis umumnya mengasumsikan bahwa variabel-variabel lain tidak terlalu berpengaruh atau cenderung konstan (tidak berubah). Oleh karena itu, pendekatan ini sepertinya akan lebih cocok diterapkan di unit kerja di mana situasi ekonominya relatif stabil, yaitu di tingkat yang lebih kecil seperti KPP Pratama maupun Madya.

Walau demikian, pendekatan tersebut relatif tidak memberikan hasil yang valid jika pernah terdapat anomali atau shock atas penerimaan pajak di waktu yang lalu, misalkan pernah terjadi bencana alam yang mengakibatkan turunnya penerimaan secara drastis.

Kedua, pendekatan dengan penggunaan berbagai variabel, baik makro maupun mikro bisa diaplikasikan dengan beberapa catatan. Pendekatan ini akan lebih robust jika diterapkan pada unit kerja vertikal yang kinerjanya diduga rentan dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti KPP Khusus. Faktor ekternal itu seperti harga komoditas yang berpengaruh bagi sebagian besar penghasilan wajib pajak yang terdaftar di KPP tersebut.

Selain itu, penting juga untuk melakukan modifikasi beberapa variabel agar lebih lebih relevan dengan karakteristik unit kerja vertikal yang dimaksud. Sebagai contoh, penggunaannya di level Kanwil sebaiknya menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan bukan PDB.

Penggunaan variabel-variabel kontrol mikro juga bisa dipergunakan sebagai alternatif, seperti misalkan kecenderungan profil kepatuhan wajib pajak maupun variabel lain yang mencerminkan basis pajak di area kerja unit tersebut. Namun demikian, kesulitan untuk memperoleh data mikro tersebut juga bisa menjadi tantangan tersendiri.

Ketiga, estimasi penerimaan pajak di tingkat Kanwil ataupun KPP tertentu juga dapat menggunakan tax buoyancy. Syaratnya, indikator pertumbuhan ekonomi yang dipergunakan dalam model harus mencerminkan aktivitas ekonomi yang terjadi di wilayah tersebut yaitu PDRB, baik provinsi, kabupaten, maupun kota. Selain itu, perhitungan berdasarkan tax buoyancy di unit kerja vertikal DJP juga memerlukan angka deflator daerah yang notabene merefleksikan inflasi.

Sebagai penutup, model proyeksi untuk penerimaan pajak pada unit kerja vertikal DJP diharapkan dapat menjadi pemetaan awal dalam menentukan target yang diemban oleh tiap KPP maupun Kanwil. Selain itu, proyeksi tersebut akan sangat membantu perumusan target yang lebih realistis secara akumulasi di tingkat pusat. Dengan demikian, risiko shortfall penerimaan pajak dapat dikurangi.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.