Gilang Kusumabangsa,
SEKILAS, pajak dan korupsi merupakan dua hal yang tidak saling berhubungan. Namun, nyatanya beberapa penelitian menunjukkan bahwa dua hal tersebut saling memengaruhi.
Berdasarkan survei World Bank terhadap 25.000 perusahaan di 57 negara, diketahui bahwa praktik suap cenderung dilakukan oleh perusahaan yang juga melakukan praktik penghindaran pajak.
Torgler (2006) juga menulis bahwa skor persepsi korupsi sebuah negara ikut memengaruhi kepatuhan pajak masyarakatnya. Rendahnya skor persepsi korupsi membuat publik merasa dikhianati dan pada akhirnya menurunkan motivasi mereka untuk membayar pajak.
Selain itu, Uslaner (2005) berpendapat bahwa tingkat persepsi korupsi memiliki korelasi positif dengan tingkat penggelapan pajak. Dalam perspektif yang lebih luas, di mana praktik korupsi telah menjadi kelaziman di masyarakat, kondisi ini dapat mendorong terjadinya tax evasion (OECD, 2018).
Dengan bukti-bukti empiris tersebut, seyogianya Presiden Prabowo Subianto selaku pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, perlu mengorkestrasi simbiosis mutualisme lintas sektor untuk melawan praktik korupsi. Celah korupsi yang makin sempit pada akhirnya bisa ikut memperbaiki kinerja tax ratio dan penerimaan pajak.
Kebijakan pemerintah untuk menekan celah korupsi juga sejalan dengan best practice internasional dan rekomendasi OECD (2018). Sebanyak 53 negara telah menerapkan kerja sama antara otoritas pajak dan otoritas antikorupsi guna menutup celah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Sebagai buntut dari anggapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa hukuman penjara sudah tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor Indonesia, instrumen pajak sejatinya dapat menjadi sanksi tambahan untuk memiskinkan koruptor.
Cara itu juga bisa menjawab kajian yang dirilis oleh Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengemukakan pernyataan bahwa hukuman finansial terhadap terpidana korupsi cenderung suboptimal, lebih rendah dibandingkan dengan kerugian negara yang terjadi (Matabean, R., dan Juwono, V, 2019).
Ada beberapa bentuk kerja sama yang bisa dilakukan antara otoritas pajak dan otoritas antikorupsi untuk menekan celah korupsi.
Pertama, melalui pertukaran data wajib pajak. Perlu dicatat, Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) adalah dua dokumen yang sama-sama memuat data pribadi dan perusahaan.
Data yang termuat mencakup besaran penghasilan, aset, beneficial owner, transaksi keuangan, dan informasi perbankan yang dapat menjadi deteksi dini atas tindak pidana korupsi dan perpajakan.
Artinya, integrasi kedua big data tersebut, dibantu oleh algoritma artificial intelligence (AI) akan mampu menyajikan informasi spasial yang holistik mengenai kerawanan korupsi dan ketidakpatuhan pajak.
Kedua, bentuk kerja sama yang dapat dijalankan oleh otoritas pajak dan otoritas antikorupsi adalah investigasi bersama, baik di tahap pemeriksaan pelaporan gratifikasi maupun di tahap pro justitia.
Perlu diingat, pasal-pasal pengenaan penalti pajak tambahan bagi koruptor pun sebenarnya sudah tertuang pada undang-undang perpajakan di Indonesia.
Pasal 4 ayat (1) UU PPh menyebutkan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Frasa yang termuat dalam UU PPh tersebut jelas bisa ditafsirkan bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak dikenakan pajak, termasuk hasil korupsi. Kemudian, Pasal 4 ayat (1) huruf p juga menegaskan bahwa tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak adalah objek pajak.
Faktanya, sangat kecil kemungkinan terdapat koruptor yang melaporkan penerimaan gratifikasi, suap, maupun hasil korupsinya sebagai penghasilan di dalam SPT Tahunan.
Karenanya, setelah ketetapan gratifikasi diputuskan maupun putusan Pengadilan Tipikor inkracht, otoritas pajak dapat menggunakan kewenangannya untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar melalui pemeriksaan sesuai Pasal 13 ayat 1 huruf a Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU KUP).
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lama 24 bulan.
Selain Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, otoritas pajak juga dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar sesuai Pasal 14 ayat 1 huruf a UU KUP.
Sanksi administratif berupa bunga tersebut sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh menteri keuangan dan dikenakan paling lama 24 bulan. Sanksi ini dikenakan atas angsuran PPh Pasal 25 per bulan pada tahun berikutnya yang sudah dipastikan juga kurang dibayar.
Berdasarkan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2024, tindak pidana korupsi adalah kejahatan dengan nominal terbesar di Indonesia, yaitu Rp948.052.718.658.005 (Rp948 triliun) yang didapat dari 230 laporan intelijen keuangan. Dari jumlah tersebut, bisa dihitung potensi pajak penghasilan yang bisa dipungut dari harta hasil tindak pidana korupsi.
Berikut simulasi perhitungan kasar potensi pajak yang dapat dikenakan pada tindak pidana korupsi.
Total potensi penerimaan pajak dari para koruptor = Rp618.509.593.652.481 (Rp618,5 triliun)
*tarif bunga sanksi pajak Oktober 2024
Dari Brasil, Indonesia bisa mencontoh keberhasillan kerja sama antara otoritas pajak dan otoritas antikorupsi. Pada 2014 lalu, kedua instansi melakukan investigasi terhadap perusahaan minyak Petrobras milik pemerintah. Auditor pajak berperan penting dalam investigasi korupsi transnasional dengan menganalisis data pajak dan bea cukai dari tersangka dan berbagi informasi dengan penegak hukum Brasil.
Hasil kerja sama tersebut adalah terungkapnya praktik penghindaran pajak, bukti pencucian uang, dan penyembunyian aset serta pelacakan arus keuangan. Kerja sama tersebut juga menyeret banyak pejabat publik dan politisi serta miliaran dolar denda pidana, denda pajak, dan pengembalian aset (OECD, 2018).
Selain itu, Australia juga berhasil menjalankan joint investigations and sharing capability yang dikenal dengan operasi X. Investigasi bersama ini mengusut dugaan manipulasi sistemik pajak pertambahan nilai (PPN).
Auditor pajak bersama kepolisian memberikan dukungan investigasi dan memfasilitasi pengungkapan informasi berupa data pembayar pajak serta analisis Fraud Prevention and Internal Investigations (FPII). Hasilnya, operasi tersebut menyita lebih dari AU$1,5 juta dari tiga penyelenggara negara.
Terakhir, Georgia juga mengungkap tindak pidana korupsi setelah investigator otoritas pajak melakukan pemeriksaan kewajiban pajak perusahaan. Pemeriksaan tersebut menemukan fakta bahwa terdapat dokumen palsu yang digunakan sebagai rekayasa pengeluaran proyek negara. Sejumlah pejabat negara terindikasi korupsi karena terlibat dalam kontrak dengan perusahaan dan bertanggung jawab atas kasus tersebut.
Pola kerja sama antara otoritas pajak dan otoritas antikorupsi di negara lain bisa diduplikasi di Indonesia. Lebih jauh, kerja sama juga bisa diperluas dengan dilibatkannya otoritas antipencucian uang, otoritas antinarkotikan, unit intelijen keuangan, regulator keuangan, kepolisian, hingga kejaksaan.
Ingat, pada prinsipnya, harta hasil pencucian uang, penjualan narkoba, pendanaan terorisme, maupun perdagangan manusia juga merupakan objek pajak penghasilan berdasarkan UU PPh.
Adopsi pendekatan kerja sama multi-pemerintah yang komprehensif serta pengenaan sanksi pajak yang tinggi kepada pelaku pidana maupun koruptor diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Dengan menjalankan fungsi regulerend di bidang pemberantasan korupsi, pajak turut berkontribusi dalam mewujudkan pemerataan pembangunan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketika publik percaya terhadap pemerintah, dorongan untuk membayar pajak pun ikut meningkat. (sap)
* Artikel opini ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.