LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2022

Menggagas Penerapan Pajak Perayaan sebagai Solusi Masalah Kesenjangan

Redaksi DDTCNews | Senin, 26 September 2022 | 16:02 WIB
Menggagas Penerapan Pajak Perayaan sebagai Solusi Masalah Kesenjangan

Anggit Kuncoro Aji,
Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah

“PARA pengusaha ini ayam petelur. Telurnya diambil, yang proper ngambilnya. Jangan sampai-sampai ayamnya stres. Kalau stres, dia bisa enggak bertelur lagi.”

Pesan itu disampaikan pengusaha kondang Chairul Tanjung kepada Ditjen Pajak (DJP) saat peringatan Hari Pajak 2022. Pesan ini sejalan dengan asas pemungutan pajak yang disampaikan Adam Smith, yakni convenience of payment. Asas ini mengharuskan pajak dipungut dalam kurun waktu yang tepat.

Tidak dapat dimungkiri, bersamaan dengan capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia tiap tahunnya, telah muncul banyak orang kaya (rich people) baru di Tanah Air. Seseorang menjadi orang kaya ketika masuk kelompok high wealth individuals (HWI) dengan kekayaan lebih dari US$1 juta.

Berdasarkan pada Wealth Report 2022 dari Knight Frank, pada 2021 jumlah orang kaya di Indoensia sebanyak 82.012 orang. Jumlah ini diproyeksi tumbuh hingga 63% menjadi sebanyak 134.015 orang pada 2026.

Pertumbuhan ekonomi yang tidak sepesat kenaikan jumlah orang kaya pada gilirannya membuat kesenjangan masyarakat makin tampak. Dalam survei persepsi yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), sebanyak 91,6% responden mengakui distribusi pendapatan di Indonesia tergolong tidak merata. Bank Dunia menyatakan hanya 1% rumah tangga terkaya yang menguasai 50,3% kekayaan nasional.

Redistribusi sendiri menjadi salah satu fungsi dari pajak. Penerimaan dari pajak digunakan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Orang kaya harus membayar pajak lebih agar negara punya kecukupan dana untuk pembangunan dan membantu masyarakat miskin.

Salah satu bentuk pelaksanaan peran pemerataan adalah pengenaan tarif progresif pada pajak penghasilan (PPh) orang pribadi dan implementasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Peran ini dikuatkan dengan adanya kenaikan tarif PPh menjadi 35% untuk orang pribadi dengan penghasilan di atas Rp 5 miliar.

Pajak atas Perayaan

SALAH satu kebijakan yang bisa untuk dipertimbangkan untuk memperkuat peran redistribusi adalah pengenaan pajak atas perayaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perayaan adalah pesta (keramaian dan sebagainya) untuk merayakan suatu peristiwa.

Ulang tahun, pernikahan, pembukaan bisnis, pencapaian target, dan pemakaman adalah beberapa peristiwa yang sering dirayakan. Bentuk perayaannya bermacam-macam, mulai dari sekadar doa bersama hingga pesta mewah.

Kalangan HWI lah yang sering membuat perayaan dengan pesta mewah. Konten pesta mewah yang terus diamplifikasi oleh 191 juta masyarakat Indonesia sebagai pengguna aktif media sosial membuat kesenjangan sangat terasa.

Untuk perayaan pernikahan, ada orang Indonesia yang menghabiskan uang hingga Rp10 miliar. Nilai ekonomi industri event Indonesia pada 2019—sebelum pandemi Covid-19—lebih dari Rp500 triliun. Meskipun pada masa pandemi sempat turun, industri event diperkirakan akan tumbuh dalam rentan 15%-20% per tahun.

Dengan asumsi setengah dari nilai ekonomi event adalah perayaan mewah dan tarif pajak yang digunakan sebesar 40%, ada potensi penerimaan baru senilai Rp 100 triliun. Besaran tarif dipilih karena pada PPnBM, atas barang mewah yang dikonsumsi kalangan dengan penghasilan cukup tinggi dikenakan tarif pajak 40%.

Penerimaan tersebut bisa digunakan untuk membayar dana bantuan operasional sekolah (BOS) 51 juta anak Indonesia, membangun 664.000 rumah, atau memberi bantuan kepada 167 juta UMKM.

Agar keadilan dan fungsi redistribusi pajak lebih maksimal, besaran tarif pajak perayaan bisa menggunakan patokan tarif PPh. Lapisan tarif tertinggi PPh yang dikenakan ke wajib pajak adalah tarif yang lebih layak untuk mengambil ‘telur’ dari para wajib pajak.

Contoh, antara Pak Amir yang berpenghasilan di bawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan Pak Agus dengan penghasilan kena pajak senilai Rp6 miliar akan dikenakan tarif berbeda. Pak Amir tidak harus membayar pajak atas setiap perayaan yang diadakannya, sedangkan Pak Agus akan dikenakan pajak dengan tarif 35% untuk setiap perayaan.

Dasar pengenaan pajak (DPP) dapat mengacu pada PPN kegiatan membangun sendiri (KMS), yakni sebesar jumlah biaya yang dikeluarkan untuk mengadakan suatu perayaan.

Berbeda dengan Pajak Hiburan

Objek pajak perayaan harus di definisikan secara jelas. Acara yang merupakan kegiatan wajib keagamaan atau upacara adat bisa diberi fasilitas pembebasan. Pajak hiburan yang merupakan pajak daerah juga harus menjadi pertimbangan Ditjen Pajak (DJP).

Pajak hiburan dan pajak perayaan adalah dua hal yang sangat berbeda. Kalusul ‘dipungut bayaran’ pada pajak hiburan adalah poin utama pembedanya. Pada perayaan tentunya para peseta tidak akan dipungut bayaran.

Subjek pajaknya juga sangat berbeda. Subjek pajak dari pajak hiburan adalah para penikmat hiburan. Sementara subjek pada pajak perayaan adalah penyelenggara. Pendefinisian objek dan subjek pajak yang jelas adalah kunci pajak perayaan menjadi solusi di tengah kesenjangan.

Jalaluddin Rumi pernah berkata musik yang diharamkan adalah ketika suara piring ketemu dengan sendok dimainkan oleh orang kaya dan didengarkan oleh orang kelaparan. Pajak perayaan adalah alternatif solusi agar masyarakat miskin tidak lagi hanya mendengar suara piring dan sendok dari acara perayaan mewah. Pendidikan yang baik, rumah yang layak, dan modal usaha yang cukup dapat disediakan bagi masyarakat Indonesia.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

Kristin Esteria 30 September 2022 | 08:13 WIB

artikel ini sangat bermanfaat dan menambah wawasan saya. Semangat untuk terus untuk Bpk Anggit Kuncoro 👍👍

30 September 2022 | 08:12 WIB

sangat membuka pandangan tentang alternatif pajak baru, keren

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN