ANALISIS PAJAK

Mengevaluasi Efek Pandemi pada Penentuan SPDN dan BUT

Redaksi DDTCNews
Senin, 13 April 2020 | 14.53 WIB
ddtc-loaderMengevaluasi Efek Pandemi pada Penentuan SPDN dan BUT
DDTC Consulting

PANDEMI Covid-19 telah memaksa banyak negara memberikan insentif pajak untuk menstimulus ekonomi negaranya masing-masing agar tetap bertahan dalam wabah ini. Pemerintah Indonesia juga sudah mengeluarkan sejumlah insentif pajak untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19.

Namun, tidak ada yang tahu kapan kebijakan stay at home, travel ban, atau lockdown dicabut. Hal ini bisa menimbulkan implikasi pada penerapan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Misalnya penentuan status subjek pajak dalam negeri (SPDN) dan pembentukan bentuk usaha tetap (BUT).

Status SPDN
PENENTUAN status SPDN dalam P3B mengacu ke peraturan domestik masing-masing negara. Di Indonesia, istilah itu merujuk pada Pasal 2 UU Pajak Penghasilan (PPh). Menurut pasal tersebut, SPDN untuk orang pribadi ditentukan keberadaan fisiknya di Indonesia, yaitu 183 hari dalam 12 bulan.

Mengacu pada peraturan di atas, misalnya Tuan X, seorang WNA Negara K (home country) yang sedang ditugaskan perusahaan A di negara K untuk mengerjakan suatu pekerjaan di Indonesia (host country) kurang dari 183 hari.

Akibat lockdown di negara K, Tuan X menunda kepulangannya dan menetap di Indonesia melebihi 183 hari. Peraturan domestik negara K tetap menganggap Tuan X sebagai SPDN negara K karena Tuan X memiliki rumah tinggal di negara K. Pertanyaannya, apakah Tuan X juga menjadi SPDN Indonesia?

Pada 3 April 2020, Sekretariat Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mengeluarkan analisis terkait dengan P3B dan dampak dari krisis Covid-19. Dalam analisisnya, terkait dengan penentuan status SPDN individu seperti contoh kasus di atas pun turut dibahas.

OECD melihat isu penentuan SPDN saat krisis Covid-19 masih dapat diselesaikan dengan tie-breaker test seperti disebutkan Pasal 4 OECD Model Tax Convention. Aturan tie-breaker ini memang dirancang untuk memberikan penyelesaian atas konflik penentuan SPDN (Darussalam dan Septriadi, 2017).

Tes dilakukan secara runtut dari (1) tempat tinggal tetap, (2) pusat kepentingan, (3) keberadaan biasanya, dan (4) kewarganegaraan (OECD, 2019). Dengan demikian, apabila ditarik ke contoh kasus di atas, Tuan X terbukti memiliki tempat tinggal tetap di negara K, maka Tuan X adalah SPDN di negara K.

Praktik Negara Lain
ADAPUN beberapa negara mengambil langkah yang lebih konkret untuk memberikan kepastian hukum bagi para cross-border worker yang terpaksa tinggal di negara mereka (host country) melebihi batas waktu akibat pandemi Covid-19.

Australian Taxation Office misalnya, menyebut jika seorang subjek pajak luar negeri (SPLN) terpaksa tinggal di Australia lebih dari 183 hari akibat Covid-19, ia tidak akan menjadi SPDN Australia. Syaratnya SPLN itu punya tempat tinggal tetap di luar Australia dan segera keluar Australia saat memungkinkan.

Her Majesty’s Revenue and Customs Inggris juga memiliki kebijakan pengecualian. Ada kelonggaran 60 hari bagi SPLN yang terpaksa tinggal di Inggris melebihi 183 hari dengan syarat tertentu. Misalnya menunjukkan dokumen rumah sakit yang membuat ia harus dirawat di Inggris.

Sebagai contoh, akibat Covid-19, Tuan Y terpaksa tinggal di Inggris selama 200 hari, di mana 30 hari terakhir karena Covid-19. Perhitungan Tuan Y berada di Inggris adalah 200 dikurangi 30 yaitu, 170 hari. Dengan demikian, Tuan Y masih SPLN karena belum berada di Inggris melebihi 183 hari.

Selain Australia dan Inggris, Luksemburg dan Perancis juga sepakat untuk mengesampingkan peraturan 29 hari untuk menentukan status SPDN dalam P3B mereka sejak 14 Maret 2020 sampai dengan diberikan pemberitahuan lebih lanjut (Strocko, 2020).

BUT Fixed Place of Business
KEMBALI ke contoh kasus Tuan X di Indonesia. Meski Tuan X memperpanjang keberadaannya di Indonesia lebih dari 183 hari, Tuan X masih tetap melakukan pekerjaan untuk perusahaan A di negara K secara online melalui kediaman sementaranya di Indonesia.

Pertanyaannya, apakah dengan demikian terbentuk sebuah BUT perusahaan A di Indonesia (home office) akibat Tuan X masih bekerja? Menurut analisis dari OECD di atas, keberadaan Tuan X tidak serta-merta membentuk sebuah BUT perusahaan A di Indonesia.

Kediaman baru dapat disebut sebagai BUT untuk perusahaan jika kediaman itu terus-menerus dipakai untuk menjalankan bisnis perusahaan, dan perusahaan mewajibkan individu tersebut untuk bekerja di kediamannya itu (J.J.P. de Goede et al., 2012).

OECD dalam analisisnya juga menyebutkan keadaan krisis Covid-19 ini bersifat luar biasa, sehingga orang yang terpaksa bekerja di kediamannya biasanya karena instruksi pemerintah setempat, bukan kewajiban awal yang datangnya dari perusahaan.

BUT Jasa
SEBELUM sampai pada kesimpulan, kembali lagi sejenak kepada kisah Tuan X. Ternyata, perusahaan A adalah perusahaan jasa konsultasi dan Tuan X adalah konsultan. Akibat pandemi, pekerjaan Tuan X di Indonesia harus diperpanjang hingga Tuan X di Indonesia 6 bulan 5 hari dalam satu tahun pajak. Dalam kasus ini, apakah terbentuk BUT perusahaan A di Indonesia?

Menurut Pasal 5(3) (b) UN Model Tax Convention, pemberian jasa dengan keberadaan secara fisik di suatu negara dalam periode lebih dari 6 bulan secara agregat dalam kurun 12 bulan sudah dapat dianggap membentuk suatu BUT (Lennard, 2009).

Selain itu, menurut Pengadilan Pajak Afrika Selatan pada kasus AB LLC dan BD Holdings LLC versus Ditjen Pajak Afrika Selatan, keberadaan BUT jasa tidak ditentukan berdasarkan ada tidaknya ‘fixed place of business.’ Dengan kata lain, pandemi seharusnya bukan penghalang terbentuknya BUT jasa.

Dengan peraturan pemajakan yang ada di Indonesia saat ini, pertanyaan-pertanyaan dalam contoh kasus di atas sesungguhnya tergantung pada klausula yang tercantum dalam P3B antara Indonesia dengan negara asal Tuan X.

Umumnya P3B Indonesia dengan negara mitra sudah menginkorporasi tie-breaker rules dalam menentukan SPDN. Misalnya P3B dengan Italia, Amerika Serikat, dan Australia. Dengan demikian jika terjadi kasus overstay karena Covid-19 seharusnya dapat diselesaikan lebih mudah.

Selain itu, bentuk BUT sudah ditentukan P3B. Jika tidak, selalu ada klausula ‘konsultasi antarotoritas kompeten’ apabila terjadi perbedaan pendapat. Pertanyannya, apakah Ditjen Pajak perlu memberi pernyataan atau petunjuk terkait dengan implikasi pajak internasional yang terdampak Covid-19?*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.