Harlinda Siska Pradini,
PERUBAHAN iklim menjadi isu yang tengah hangat diperbincangkan pada berbagai forum internasional.
Dampak perubahan iklim seperti peningkatan intensitas banjir, kekeringan, hingga kerusakan ekosistem dan biota laut mulai dirasakan berbagai negara, termasuk Indonesia. Tanpa adanya upaya penanganan masalah ini, ada risiko bencana ekologi yang lebih besar.
Pemerintah Indonesia berperan aktif dalam berbagai proyek perubahan iklim. Salah satu inisiatif yang sedang diusulkan pemerintah adalah penerapan pajak karbon. Usulan masuk dalam revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Bagaimanapun, pajak karbon telah diimplementasikan di berbagai negara di dunia seperti Jepang, Singapura, dan Prancis. Tarif pajak karbon berbeda antarnegara. Penghitungannya didasarkan pada nilai nominal per ton emisi CO2 ekuivalen. Objek dari pajak karbon adalah emisi karbon.
Semua hasil pembakaran bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi karbon dioksida akan dikenakan pajak karbon. Kebijakan ini diharapkan mampu mendorong transisi pada energi bersih dan ramah lingkungan. Harapannya, daya saing investasi di sektor energi baru terbarukan (EBT) meningkat.
Namun demikian, Implementasi pajak karbon melahirkan paradoks kebijakan. Pihak yang pro berpendapat bahwa pajak tersebut diperlukan untuk penyelamatan lingkungan hidup, pengurangan ketergantungan impor atas energi fosil, serta akselerasi pengembangan energi bersih.
Sebaliknya, pihak yang kontra berargumen kebijakan ini meningkatkan biaya dalam aktivitas ekonomi, melemahkan kinerja di sektor industri yang masih bergantung pada energi fosil, serta menurunkan daya beli apabila kenaikan harga akibat pajak dibebankan pada konsumen.
Perlu diketahui, kebutuhan pembiayaan perubahan iklim di Indonesia untuk mencapai target penurunan emisi pada 2030 adalah US$247,2 miliar atau sekitar Rp3.461 triliun (BKF, 2021). Penerapan pajak karbon diharapkan dapat menutup celah pendanaan tersebut.
Tingginya kebutuhan dana mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim mendorong penyusunan regulasi pajak berorientasi lingkungan. Pajak karbon dapat menjadi pintu masuk. Insentif dan disinsentif bagi para pelaku ekonomi menjadi upaya untuk mendorong terwujudnya investasi hijau dan pertumbuhan berkelanjutan.
TERDAPAT beberapa regulasi pajak yang berkorelasi dengan aktivitas lingkungan. Dengan fungsi regulasi, pajak dapat mengubah pola perilaku masyarakat agar lebih peduli terhadap isu lingkungan. Beberapa alternatif kebijakan dapat ditempuh.
Pertama, opsi penambahan klasifikasi tarif untuk transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Konversi lahan hijau seperti hutan dan gambut menjadi kawasan terbangun tentu berpotensi menurunkan penyerapan gas rumah kaca. Oleh sebab itu, disinsentif berupa tarif pajak lebih tinggi untuk perubahan penggunaan lahan yang mengancam kelestarian lingkungan selayaknya diterapkan.
Kedua, opsi implementasi pajak yang lebih rendah untuk transaksi penjualan saham dari perusahaan hijau atau ramah lingkungan.
Salah satu sumber pendanaan perusahaan adalah investor. Pemberian insentif pajak ini diharapkan mampu menarik minat investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan yang lebih berorientasi pada lingkungan.
Ketiga, penambahan kriteria pengurangan penghasilan pada Surat Pemberitahuan SPT Tahunan tidak hanya atas zakat atau sumbangan keagamaan yang bersifat wajib.
Penyaluran sumbangan atau donasi pada lembaga yang telah diakui pemerintah untuk mengelola dana pelestarian lingkungan sebaiknya dapat dibiayakan sebagai pengurang penghasilan. Kebijakan ini diharapkan meningkatkan partisipasi masyarakat pada aktivitas sosial berwawasan lingkungan.
Keempat, pilihan penerapan pajak atas limbah. Warsito dkk (2020) merekomendasikan pengenaan pajak pada pembuangan limbah berlebih. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong pemanfaatan kembali limbah, reduksi kadar limbah berbahaya, atau penyusunan alternatif pembuangan limbah yang lebih ramah lingkungan oleh para pelaku industri.
Konsekuensi diimplementasikannya pajak lingkungan adalah munculnya proses bisnis baru di bidang perpajakan, yaitu penilaian atas emisi karbon dan audit lingkungan.
Penilaian diperlukan untuk memperoleh nilai yang akurat sebagai dasar pengenaan pajak atau menghitung nilai pajak karbon yang terutang. Selanjutnya, proses audit digunakan untuk menguji kepatuhan perusahaan terhadap standar perhitungan emisi karbon yang diterapkan.
Pencapaian pembangunan berkelanjutan melalui pajak karbon dan instrumen fiskal lainnya membutuhkan dukungan dari stakeholder seperti masyarakat, pelaku industri, dan kementerian terkait. Salah satu kontributor emisi karbon adalah kendaraan bermotor dan mesin-mesin industri.
Penerapan carbon tax untuk sektor penghasil emisi karbon dan zero carbon tax untuk sektor yang pro lingkungan diharapkan mampu mengakselerasi penggunaan kendaraan listrik serta mesin-mesin industri lebih ramah lingkungan.
Kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia menimbulkan dampak negatif bagi keberlanjutan ekonomi. Bencana alam dapat menganggu kegiatan produksi maupun konsumsi barang dan jasa. Pengendalian perilaku masyarakat yang berdampak buruk terhadap lingkungan melalui instrumen fiskal diperlukan sebagai upaya mitigasi.
“Earth provides enough to satisfy every man’s needs, but not every man’s greed.” (Mahatma Gandhi).
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.