KEBIJAKAN PAJAK

Memulihkan Ekonomi Pascakrisis dengan Kebijakan Pajak

Redaksi DDTCNews | Rabu, 03 Juni 2020 | 16:07 WIB
Memulihkan Ekonomi Pascakrisis dengan Kebijakan Pajak

BELAJAR dari pengalaman krisis ekonomi, mulai dari depresi besar 1930 hingga krisis keuangan global 2008, kebijakan fiskal ekspansif sering kali menjadi opsi yang diambil berbagai negara untuk menyelamatkan ekonomi. Salah satu jurus utamanya melalui instrumen pajak.

Dari konteks tersebut, muncul pertanyaan besar selanjutnya, sampai level mana ekonomi dapat pulih dan tumbuh kembali? Instrumen pajak seperti apa yang dinilai efektif dalam memulihkan ekonomi pascakrisis?

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, Jen M Arnolds et. al. melalui artikelnya menawarkan analisis empiris mengenai rancangan kebijakan pajak bagi pemulihan ekonomi. Artikel berjudul “Tax Policy for Economic Recovery and Growth” ini tidak hanya menawarkan solusi jangka pendek tapi juga mengestimasi dampak pilihan kebijakan pajak bagi pertumbuhan jangka panjang.

Baca Juga:
Dalami Pajak, Buku Baru Terbitan DDTC Ini Penting Jadi Bekal Awal

Diskursus akademis mengenai dampak kebijakan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi nampaknya terbagi menjadi dua dikotomi. Beberapa literatur menemukan bahwa kebijakan pajak tidak memiliki implikasi yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Namun, ada pula yang melihat peluang pajak bagi pertumbuhan meski melewati transmisi yang cukup panjang.

Dalam konteks tersebut, analisis empiris dalam artikel ini dapat memberikan dua kontribusi untuk memahami hubungan antara kebijakan pajak, pemulihan ekonomi, dan pertumbuhan. Pertama, dengan menggunakan data dari 21 negara OECD selama 34 tahun, studi ini menawarkan analisis komprehensif dalam mengestimasi dampak pajak terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kedua, selain pendekatan ekonomi makro, studi ini juga menelusuri mekanisme level mikro yang mendasarinya, menggunakan data pada tingkat perusahaan dan individu. Pada tingkat agregasi yang lebih rendah ini, struktur pajak diproyeksi berpengaruh terhadap investasi dan pertumbuhan produktivitas sebagai dua pendorong utama pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga:
Rasio Perpajakan 2025 Ditargetkan 10,09% hingga 10,29% PDB

Menariknya, hasil analisis empiris dikemas dalam bentuk pemeringkatan pajak. Peringkat yang diberi istilah tax and growth ranking ini mengurutkan jenis kebijakan pajak berdasarkan efektivitasnya dalam pemulihan ekonomi dan pertumbuhan dalam jangka panjang.

Pajak harta tak bergerak (immovable property) menduduki posisi pertama. Peningkatan tarif pada properti tak bergerak akan menciptakan crowding out investment pada sektor perumahan dan berpindah ke arah investasi dengan tingkat pengembalian yang lebih tinggi sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Posisi kedua ditempati oleh pajak transaksi properti dan pajak konsumsi. Meskipun dapat meningkatkan harga barang dan jasa, pajak konsumsi tidak memiliki efek negatif bagi tingkat tabungan dan investasi karena tarifnya yang cenderung konstan. Selain itu, pajak konsumsi juga dipungut berdasarkan prinsip tujuan (destination principle) sehingga tidak memengaruhi perilaku perusahaan lokal dalam menghasilkan barang dan jasa.

Baca Juga:
Bagikan Buku Baru, Darussalam Tegaskan Lagi Komitmen DDTC

Sementara itu, pajak penghasilan badan dan individu menduduki posisi terendah karena dinilai paling berbahaya bagi pemulihan ekonomi dan pertumbuhan. Apabila tidak di desain secara baik, pajak penghasilan justru dapat menjadi batu sandungan bagi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, yaitu investasi dan peningkatan produktivitas.

Pemeringkatan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan secara bertahap melalui kebijakan pajak. Hal ini dapat dicapai dengan memperkuat basis pajak konsumsi dan properti (terutama perumahan) serta melalui perbaikan desain pajak individu.

Meskipun dianggap paling berbahaya, pajak penghasilan berpeluang menjadi kebijakan yang paling menjanjikan untuk meningkatkan pertumbuhan serta membantu pemulihan ekonomi akibat krisis.

Baca Juga:
Pacu Ekonomi di Negara Ini, DPR Minta Target Pajak Bisa Tumbuh 21%

Hal tersebut dapat dicapai hanya jika insentif pajak penghasilan ditujukan bagi wajib pajak yang berpenghasilan rendah. Stimulus ini dapat merangsang permintaan, meningkatkan insentif kerja, serta mengurangi ketimpangan pendapatan.

Artikel ini berguna untuk menjadi penunjuk arah bagi kebijakan fiskal ke depan dalam menghadapi krisis. Kendati demikian, pengambil kebijakan juga perlu cermat dalam melihat konteks krisis yang terjadi. Hal ini dikarenakan setiap krisis memiliki perbedaan pemicu, karakteristik, dan dampak terhadap ekonomi.*

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Senin, 20 Mei 2024 | 16:33 WIB KAFEB TALK X DDTC

Dalami Pajak, Buku Baru Terbitan DDTC Ini Penting Jadi Bekal Awal

Senin, 20 Mei 2024 | 15:17 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Sri Mulyani Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Tahun Depan 5,1-5,5 Persen

Senin, 20 Mei 2024 | 13:45 WIB RASIO PAJAK

Rasio Perpajakan 2025 Ditargetkan 10,09% hingga 10,29% PDB

Jumat, 17 Mei 2024 | 20:35 WIB HUT KE-17 DDTC

Bagikan Buku Baru, Darussalam Tegaskan Lagi Komitmen DDTC

BERITA PILIHAN