Teguh Budiono,
MOMENTUM tahun politik di Indonesia kali ini akan memasuki puncaknya pada 2024. Pemilihan umum akan digelar untuk menentukan presiden, wakil presiden, serta anggota dewan. Tidak hanya itu, pemilihan kepala daerah juga akan digelar serentak pada tahun depan.
Gegap gempita penyambutan tahun politik sudah terlihat. Baliho dan spanduk bakal calon legislatif mulai menghiasi tiap sudut daerah, baik kota maupun kabupaten. Berbagai macam janji politik mulai disebar agar menarik para pemilih, terutama pemula.
Tahun politik menjadi periode yang penting dalam kehidupan bernegara. Perubahan kebijakan publik sering mewarnai pergantian kepala negara. Terlebih, partai politik, calon presiden dan wakil presiden, calon anggota legislatif, serta calon kepala daerah menawarkan berbagai rencana program kerja.
Program kerja tersebut menjadi janji kampanye para calon. Sayangnya, janji yang disampaikan ke publik lebih banyak berada pada rencana belanja (spending) saja. Hampir tidak terdengar pemaparan yang jelas tentang cara untuk membiayai berbagai rencana belanja tersebut.
Padahal, untuk mewujudkan berbagai program kerja yang ditawarkan saat kampanye, pemerintah perlu pendanaan yang optimal. Artinya, tawaran pembangunan tidak berujung pada penambahan utang yang besar tanpa optimalisasi sumber daya domestik, terutama pajak.
Pada tingkat pemerintahan daerah, pemberdayaan pajak daerah sebagai salah satu sumber pendanaan belum optimal. Padahal, pajak daerah berperan penting dalam mendukung pembangunan, membiayai pelayanan masyarakat, serta meningkatkan penerimaan keuangan daerah.
Berdasarkan pada data Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK), dalam periode 2020—2022, realisasi pajak daerah secara nasional baru melebihi target pada 2022. Realisasinya senilai Rp231,9 triliun atau 100,7% dari target senilai Rp230,2 triliun. Pada 2020 dan 2021, realisasinya hanya 76,16% dan 91.63%.
Capaian yang baik pada 2022 perlu dipertahankan, bahkan ditingkatkan. Upaya optimalisasi pajak daerah bisa menjadi isu atau materi yang dibawa kampanye oleh para calon legislatif atau eksekutif di daerah. Terlebih, pemilihan kepala daerah juga cukup menyita perhatian masyarakat.
SETIDAKNYA ada 6 aspek yang patut menjadi perhatian dalam upaya optimalisasi penerimaan pajak daerah. Pertama, strategi pencapaian target. Calon kepala daerah harus memiliki kebijakan serta program yang terukur dan jelas untuk mencapai target penerimaan pajak daerah yang ditetapkan.
Program yang ditawarkan hendaknya bukan sekadar pemutihan pajak daerah atau penghapusan sanksi. Diperlukan alternatif program yang dapat menarik masyarakat agar menjadi wajib pajak yang patuh. Implementasinya juga harus mudah dan murah karena terkait dengan cost of collection.
Kedua, pengembangan sumber daya manusia (SDM). Adapun SDM dalam konteks ini adalah para pegawai yang melakukan administrasi perpajakan di daerah.
Para calon kepala daerah setidaknya harus memiliki cetak biru (blue print) pengembangan dan peningkatan kapasitas SDM yang berada di wilayahnya. Hal ini termasuk pola mutasi dan pengembangan karier yang dapat mendukung pemungutan pajak efektif dan efisien.
Ketiga, investasi infrastruktur. Jika dibandingkan dengan Ditjen Pajak (DJP) sebagai otoritas pajak pusat, pemerintahan daerah sebagai otoritas pajak daerah sangat tertinggal dalam pembangunan infrastruktur. Adapun infrastruktur ini termasuk sistem informasi dan teknologi.
Diperlukan adanya perubahan paradigma yang ‘memaksa’ para kepala daerah agar menginvestasikan sebagian dari hasil pemungutan pajak daerah untuk pembangunan infrastruktur. Hal ini menunjang dan mendukung administrasi pajak daerah lebih baik. Pembangunan infrastruktur juga akan memudahkan pengawasan kepatuhan para wajib pajak daerah.
Keempat, penegakan hukum yang adil. Dikarenakan sifat alami pajak adalah pungutan yang dipaksakan, akan ada wajib pajak yang mencoba untuk tidak patuh. Menilik piramida perilaku kepatuhan wajib pajak dari OECD (2004), perlu ada perlakuan yang tepat.
Bagi wajib pajak yang memutuskan untuk tidak patuh, otoritas pajak daerah harus melakukan segala upaya hukum. Namun, upaya hukum ini juga harus dilakukan secara adil. Tetap harus ada ruang bagi hak-hak bagi wajib pajak untuk melakukan sanggahan dan klarifikasi.
Kelima, strategi komunikasi (edukasi dan sosialisasi). Pajak, termasuk pajak daerah, identik dengan peraturan yang sulit dipahami dan hyper-regulated. Komunikasi publik dilakukan agar timbul pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pajak.
Dibutuhkan upaya edukasi dan sosialisasi yang memadai dan berkelanjutan dari otoritas pajak. Harapannya adalah masyarakat dapat mengetahui, menyadari, serta memahami hak dan kewajiban perpajakannya.
Keenam, kolaborasi dengan instansi lainnya. Pada 16 Juli 2019, telah ditandatangani perjanjian kerja sama antara DJP, DJPK, dan 7 pemerintah daerah sebagai pilot project untuk optimalisasi pemungutan pajak pusat dan pajak daerah. Saat ini, jumlah pemerintah daerah yang bekerja sama sudah bertambah.
Perjanjian ini merupakan momentum kolaborasi untuk mengoptimalkan pemungutan pajak pusat dan daerah. Momentum ini harus disambut oleh para calon kepala daerah dengan memperluas kerja sama. Hal ini harus dimaknai dengan memperluas bidang kerja sama dan/atau memperluas instansi yang dilakukan kerja sama.
Ada falsafah satu buah lidi tidak dapat digunakan untuk menyapu, tetapi sekumpulan lidi dapat membersihkan sampah. Hal ini haruslah menjadi pegangan para calon kepala daerah. Kolaborasi dapat meningkatkan penerimaan pajak daerah yang pada akhirnya akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.