OPINI PAJAK

Membangun Kapasitas Fiskal di Masa Pandemi

Redaksi DDTCNews
Kamis, 21 Mei 2020 | 10.00 WIB
ddtc-loaderMembangun Kapasitas Fiskal di Masa Pandemi

Arief Hakim P. Lubis,

pegawai Ditjen Pajak

PANDEMI virus Corona telah membuat perekonomian dunia babak belur. International Monetary Fund menyatakan ekonomi global telah mengalami krisis. Negara-negara berperang melawan musuh yang tidak terlihat dan berjibaku meredam akibatnya.

Situasi ini mendesak pemerintah berbagai negara mengucurkan banyak dana untuk melindungi orang-orang yang rentan, masyarakat luas, sektor-sektor esensial, ekonomi dan keuangan di mana keruntuhannya dapat menimbulkan ancaman (Shaxson, 2020).

Banyak negara menggelontorkan stimulus fiskal dalam jumlah besar. Australia mengeluarkan paket ekonomi lebih dari AU$213,7 miliar atau setara dengan Rp2.077 triliun guna memperkecil dampak pandemi virus Corona terhadap perekonomian.

Di Jepang, paket ekonomi terbesar dalam sejarah senilai ¥60 triliun atau Rp9.000 triliun diluncurkan. Malaysia mengeluarkan stimulus RM250 miliar atau setara dengan Rp940 triliun. Presiden Jokowi sendiri telah mengeluarkan paket ekonomi Rp405,1 triliun.

Lalu, bagaimana pemerintah membiayai stimulus tersebut? Ada dua cara utama. Yang pertama melalui pinjaman. Pemerintah telah menerbitkan surat utang terbesar senilai US$4,3 miliar dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) seri RI1030, RI1050 dan RI0470.

Kebutuhan dana untuk meredam dampak pandemi Corona dan melebarnya defisit akibat menurunnya pendapatan seiring terhambatnya bisnis dan kejatuhan harga komoditas membuat banyak negara membutuhkan utang dalam jumlah besar (Thertina, 2020).

Cara lain yang dapat ditempuh untuk membiayai langkah-langkah mahal dalam mengatasi pandemi adalah melalui pajak. Berbeda dengan utang, pajak adalah sumber penerimaan negara yang aman, murah, dan berkelanjutan (Rosdiana dan Irianto, 2014).

Meski relaksasi pajak diperlukan, pengumpulan pajak tidak berarti diabaikan. Kini saatnya meningkatkan kapasitas fiskal secara agresif. Kapasitas fiskal adalah kemampuan negara meningkatkan penerimaan pajak dan menyediakan barang publik (Belmonte et al., 2018).

Kebutuhan peningkatan kapasitas fiskal banyak dikaitkan dengan munculnya ancaman pada suatu negara. Pada masa pandemi, negara membutuhkan dana yang besar untuk melindungi kesehatan warga, menjamin perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi.

Pembangunan kapasitas fiskal yang kuat memang bukan perkara mudah. Laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyebut negara berkembang menghadapi tantangan dalam meningkatkan penerimaan pajak.

Tantangan tersebut di antaranya basis pajak yang kecil, banyaknya sektor informal, lemahnya kapasitas administrasi pemerintah, rendahnya pendapatan per kapita dan penghindaran pajak. Tantangan ini menjadi semakin berat di tengah kondisi krisis.

Belajar dari Sejarah
SEJARAH mengajarkan pengalaman untuk menghadapi permasalahan masa kini. Pada masa perang, negara-negara barat membangun kapasitas fiskal untuk meningkatkan sumber penerimaan guna memperkuat pertahanan dalam menghadapi musuh.

Pada 1917, menghadapi perang dunia pertama, Inggris mengenakan pajak atas laba berlebih (excess profits tax) 80%, Amerika Serikat menaikkan tarif pajak dari 20% ke 60% atas keuntungan bisnis yang melebihi pendapatan pada masa normal (Chappelow, 2020).

Lahirnya pajak pertambahan nilai (PPN) juga terkait dengan masa perang dunia. Jerman dan Perancis adalah negara yang pertama menerapkan PPN pada perang dunia pertama. Inggris mengenakan pajak pembelian sebagai cikal bakal PPN pada perang dunia kedua.

Kondisi saat ini memang jauh berbeda dengan masa perang. Aktivitas manusia dan kegiatan ekonomi kala itu masih dapat berjalan. Kini hampir semua aktivitas nonesensial berhenti. Orang mengurung diri di rumah, dan ancaman kebangkrutan menghantui.

Namun, di sisi lain ada beberapa sektor yang mendapat keuntungan di tengah pandemi virus Corona. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan setidaknya ada tiga sektor yang mengalami booming dan bisa mendapatkan manfaat dari Covid-19.

Ketiga sektor itu adalah sektor jasa logistik, jasa telekomunikasi elektronik, makanan dan minuman serta industri tekstil produsen Alat Pelindung Diri (APD). Ketika banyak orang melakukan karantina diri, layanan jasa online juga mendulang keuntungan.

Di sinilah diperlukan keterampilan untuk meningkatkan kapasitas fiskal, tetapi dengan prinsip keadilan pajak. Caranya, menempatkan kelompok rentan krisis membayar pajak lebih sedikit atau dibebaskan, sementara yang mencetak laba membayar lebih.

Opsi Pemerintah
UPAYA menambah sumber penerimaan pajak untuk meningkatkan kapasitas fiskal di tengah krisis adalah tantangan yang berat bagi otoritas pajak. Namun, melihat adanya beberapa sektor yang booming di masa pandemi, peluang tersebut masih terbuka.

Salah satunya pengenaan pajak atas laba berlebih (excess profits tax/EPT). Merujuk pada Tax Justice Network, EPT adalah pajak tambahan yang dikenakan baik terhadap individu maupun perusahaan atas laba yang diperoleh melebihi margin yang sudah ditetapkan.

Dengan penerapan EPT, sebuah perusahaan yang memperoleh laba di atas margin keuntungan tertentu misalnya 5%, dapat dikenakan pajak tambahan atas kelebihan laba tersebut dengan tarif 20% hingga 80%.

Pengenaan pajak ini hanya bersifat sementara, ketika ada sektor yang memperoleh keuntungan berlebih di tengah kondisi tidak normal. Memang, kajian lebih mendetail perlu dilakukan untuk menentukan wajib pajak mana saja yang dapat dikenakan EPT.

Masa pandemi juga momentum untuk mulai menerapkan pajak layanan digital. Pada masa pembatasan sosial yang mengharuskan orang-orang beraktivitas di rumah, bisnis berbasis web seperti online shop, media sosial, mengalami peningkatan volume.

Ekonomi digital Indonesia sendiri tengah mencatat angka tertinggi di Asia Tenggara. Hasil riset yang dilakukan Temasek dan Google menunjukkan pertumbuhan ekonomi digital Indonesia mencapai 49% pada tahun 2019.

Laporan tersebut juga mengungkapkan nilai ekonomi dari pasar digital Indonesia mencapai US$40 miliar atau sekitar Rp600 triliun. Bisa dibayangkan besarnya potensi pajak yang dapat diambil dari sektor ini.

Di tengah ketidakpastian konsesus global pemajakan digital, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 telah memuat aturan itu bagi perusahaan penyedia jasa luar negeri dan penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik luar negeri yang memenuhi ketentuan.

Pemerintah juga telah membuat aturan pelaksanaan pajak transaksi elektronik tersebut. Layaknya perang dunia yang melahirkan PPN, masa pandemi juga bisa menjadi momen bagi pemerintah untuk mulai memajaki pasar digital.

Menggenjot pajak untuk memperkuat kapasitas fiskal bukan perkara mudah. Namun, di tengah kondisi luar biasa, pemerintah harus melakukan langkah luar biasa. Kapasitas fiskal yang kuat menjamin kokohnya ketahanan di tengah perang melawan virus dan krisis.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.