Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Melalui Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), pemerintah membedakan barang kiriman antara dari hasil perdagangan dan selain hasil perdagangan (nonperdagangan).
Perbedaan antara keduanya telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 96/2023. Berdasarkan beleid tersebut, kriteria barang kiriman hasil transaksi perdagangan meliputi tetapi tidak terbatas pada 3 kriteria.
“Dalam hal barang kiriman memenuhi salah satu kriteria tersebut maka dapat diidentifikasi sebagai barang hasil perdagangan.” tulis DJBC dalam FAQ Ketentuan Barang Kiriman pada laman resminya, dikutip pada Rabu (1/5/2024).
Perincian 3 kriteria barang kiriman hasil perdagangan tercantum dalam Pasal 2 ayat (4) PMK 96/2023. Pertama, barang kiriman merupakan hasil transaksi perdagangan melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).
PPMSE yang dimaksud meliputi retail online dan marketplace. Adapun retail online berarti pedagang (merchant) yang melakukan perdagangan melalui sistem elektronik dengan sarana berupa situs web atau aplikasi secara komersial yang dibuat, dikelola, dan/atau dimiliki sendiri.
Sementara itu, marketplace berarti penyedia sarana yang sebagian atau keseluruhan proses transaksi berada di dalam sistem elektronik berupa situs web atau aplikasi secara komersial. Marketplace berperan sebagai wadah bagi pedagang untuk dapat memasang penawaran barang dan/atau jasa.
Kedua, penerima barang dan/atau pengirim barang merupakan badan usaha. Ketiga, terdapat bukti transaksi berupa invoice atau dokumen sejenis lainnya. Apabila suatu barang kiriman memenuhi salah satu atau beberapa dari kriteria tersebut maka akan dikategorikan sebagai barang hasil perdagangan.
Sebenarnya tidak terdapat perbedaan perlakuan pajak dan bea masuk antara barang kiriman hasil perdagangan dan nonperdagangan. Adapun perbedaan keduanya terletak pada adanya konsekuensi pengenaan denda terhadap barang kiriman hasil perdagangan.
Sanksi denda tersebut dikenakan apabila terdapat kesalahan pemberitahuan nilai pabean (harga barang) yang mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk. Hal ini berkaitan dengan penerapan sistem self assessment dalam pemberitahuan pabean.
“Importir akan dikenakan sanksi denda jika terdapat kesalahan pemberitahuan nilai pabean yang mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk. Hal ini untuk memberikan keadilan bagi importir maupun negara dan menciptakan persaingan yang sehat dengan industri dan UMKM dalam negeri.” terang DJBC dalam FAQ Ketentuan Barang Kiriman pada laman resminya.
Sebagai informasi ketentuan sanksi denda kepabeanan diatur dalam Undang-Undang (UU) Kepabeanan, Peraturan Pemerintah (PP) 28/2008 s.t.d.d PP 39/2019, dan PMK 99/2019.
Berdasarkan Pasal 16 ayat (4) UU Kepabeanan, apabila importir salah memberitahukan nilai pabean sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk maka dikenakan denda paling sedikit 100% dan paling banyak 1000% dari bea masuk yang kurang dibayar. (sap)