PANDEMI Covid-19 memberikan alarm bagi Indonesia mengenai betapa pentingnya ekosistem sektor alat kesehatan (alkes) bagi kemandirian bangsa dalam mencukupi kebutuhan kesehatan seluruh masyarakat.
Dengan jumlah penduduk yang sangat besar serta kebutuhan layanan kesehatan yang meningkat, Indonesia memiliki ruang yang amat besar untuk mendorong sektor alkes sebagai sektor utama yang menyokong kebutuhan kesehatan masyarakat.
Namun, Indonesia saat ini belum memiliki kemandirian untuk memenuhi kebutuhan kesehatannya sendiri. Sebagian besar alkes yang dibutuhkan dan akhirnya digunakan oleh fasilitas kesehatan masih alkes impor, bukan alkes yang diproduksi di Indonesia.
Untuk menciptakan kemandirian dan ketahanan bangsa, pemerintah dinilai perlu untuk menyiapkan ekosistem industri alkes yang mumpuni sehingga sebagian besar kebutuhan masyarakat tersebut dapat diakomodasi oleh industri.
Kali ini, DDTCNews berkesempatan untuk mewawancarai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Randy H Teguh. Berikut petikannya.
Bagaimana kinerja sektor alat kesehatan pada masa pandemi Covid-19?
Memang tidak salah kalau untuk alat kesehatan (alkes) itu impact-nya positif, karena usaha kesehatan itu tidak besar sebenarnya dibandingkan dengan usaha kategori lain. Alkes itu konsumennya kan, hanya orang sakit lah ya istilahnya.
Sejarah membuktikan di masa krisis ekonomi 1998 yang tetap grow adalah kesehatan dan khususnya alkes. Mengapa? Karena secara natural tidak bisa dihindari orang sakit itu selalu pasti ada. Pada masa Covid-19 ini, dampaknya tidak hanya krisis ekonomi, tetapi krisis kesehatan.
Mulai Maret ketika mulai terjadi Covid-19, sebenarnya dampaknya itu tidak benar-benar positif karena yang jadi positif itu teman-teman yang menyalurkan barang-barang terkait dengan Covid-19 saja seperti masker, APD, ventilator, rapid antibody, PCR, dan sebagainya.
Mengapa? Karena banyak yang tiba-tiba shutdown. Banyak RS yang tidak bisa beroperasi, bahkan praktik gigi, THT, mata, itu stop semua. Teman-teman yang menyalurkan itu juga drop. Bahkan teman-teman kami yang alat bedah jantung itu drop cukup banyak walaupun tidak stop.
Mereka ada kasus, tetapi kan, hanya untuk darurat ya, yang tidak bisa ditunda. Untuk yang operasi terencana itu dibatalkan karena dianggap belum urgen.
Pada 2020, kalau ditanya mungkin dampaknya netral. Secara keseluruhan, ada yang positif, ada yang negatif, tetapi pada 2021 di mana relatif sudah ada keseimbangan ini akan kembali positif. RS dan klinik sudah menemukan cara untuk beroperasi, pasien-pasien sudah berani ke RS.
Jadi 2020 itu selain RS drop, banyak masyarakat takut ke RS. Sekarang 2021 boleh dibilang dampaknya positif, apalagi ekonomi Indonesia tumbuh 7%. Ya, mungkin salah satu kontribusinya dari alkes ini.
Yang pasti, anggota kami yang punya produk terkait dengan Covid-19 saat ini, mereka tengah mendapatkan dampak positif. Banyak bahkan ada pemain baru yang awalnya enggak di alkes, sekarang berubah jadi alkes.
Satu hal yang membedakan tahun 2020 dan 2021 itu adalah channel pengadaan barang dan jasa untuk alkes ke pemerintah melalui e-Katalog. Pada 2020 itu jumlah produk alkes yang ada di e-Katalog sangat drop jauh. Dari populasi alkes sekitar 15.000-an, di e-Katalog hanya 5-6% saja. Mengapa?
Pada 2017-2018 itu ada 30%. Pada akhir 2019 itu kontrak kerja dengan e-Katalog itu habis dan tidak diperpanjang pada 2019 sehingga banyak yang drop sehingga hanya ada populasi 5-6% pada 2020.
Awal 2021 kemarin sudah cukup banyak masuk, populasi 70-80% di bulan Juni 2021 ini sudah ada di e-Katalog. Kami yakin alkes akan tumbuh positif karena makin banyak dan mudah bagi rumah sakit untuk pemerintah membeli alkes dari e-Katalog.
E-Katalog itu kontraknya berlaku setiap 2 tahun dan 2017 itu kita sudah perpanjangan dan diberikan. Mekanismenya enggak selalu sama, hingga 2021 beda-beda terus. Kami sudah tulis surat untuk diperpanjang lagi saja agar masyarakat dan RS tidak terganggu, tetapi tidak diterima usulan kami. Jadi pada akhir 2019, turun tayang semua itu dari e-Katalog.
Dinamikanya pengaturan pengadaan ini macam-macam ya, ada tender, tender cepat, penunjukan langsung, dan e-Katalog. Mengapa kita ingin e-Katalog? Karena banyak satker yang lebih nyaman pakai e-Katalog.
E-Katalog itu sudah transparan dan sudah melalui penyaringan sehingga dengan pengadaan di e-Katalog mereka bisa tidur nyenyak tidak ada pemeriksaan dan sebagainya.
Memang saat turun tayang dari e-Katalog, RS umum dan yang BLU tetap melakukan tender dan penunjukan langsung itu bisa. Hanya saja banyak yang menunda, banyak yang ragu, karena ada yang merasa e-Katalog sebentar lagi dibuka.
Yang ditunda biasanya barang-barang modal seperti mesin x-ray, itu kan bisa ditunda untuk beberapa waktu, tetapi kalau barang habis pakai seperti jarum suntik, infus, itu beli penunjukan langsung atau tender.
Apakah banyak usaha alkes yang melakukan diversifikasi produk dengan menjual alkes terkait penanganan pandemi Covid-19?
Betul, dari internal kami yang awalnya bisnis alkes seperti alat gigi itu drop kan tidak ada pasien tentu mereka berusaha. Karena dasarnya alkes, mereka dengan mudah beralih.
Banyak anggota kami yang awalnya enggak berusaha untuk suplai rapid test sekarang mereka kesana, mereka cari sumber. Yang dari luar pelaku sektor alkes juga ada, kan banyak garmen sekarang jadi masker, APD. Memang itu ada peralihan ke sana.
Apa tantangan utama yang dihadapi oleh sektor alkes?
Tantangan utama di masa Covid-19 ini adalah banyak pemain alkes yang di luar nature atau kelaziman tata kelola alkes yang ada. Itu bisa dimengerti karena pemerintah banyak mengeluarkan relaksasi.
Ini sebenarnya sangat disayangkan karena relaksasi yang dilakukan itu sebaiknya tetap dalam koridor regulasi. Pada 2020, banyak importir yang tidak paham soal alkes. Makanya banyak alkes waktu itu ada rapid test antibody yang kualitasnya tidak baik, banyak masker yang tidak baik, itu banyak hal-hal seperti itu yang secara kualitas tidak pas. Mereka tidak ada pengalaman untuk berhubungan dengan penyalur di luar negeri.
Selain itu, tantangan lainnya, pemerintah yang tiba-tiba mengambil keputusan impor langsung 10.000 oksigen konsentrator. Padahal, kami sebagai pelaku, terutama importir dan produsen, sudah punya stok. Ini jadi merusak market sebenarnya.
Jadi yang punya stok jadi khawatir. Tentu kita enggak bisa menghalangi. Kita sudah berjuang untuk dapat jatah barang tetapi itu menjadi kebingungan karena marketnya dirusak karena impor, tanpa mekanisme yang kita ketahui bersama.
Alangkah baiknya kalau itu dibeli dari anggota kami. Itu tata kelolanya akan tetap ada dan toh pemerintah akan mendapatkan pemasukan dari proses-proses importasi seperti PPN, PPh, dan sebagainya.
Logistik juga menjadi isu terutama dalam hal karena kebutuhan mendesak dan harus cepat anggota kami harus pakai air freight. Itu tentunya lebih mahal.
Belum lagi ketika kemarin waktu kasus Covid-19 naik, ada anggota lapor beberapa airline embargo penerbangan kargo ke Indonesia. Akhirnya, kami harus cara lain untuk barang sampai ke Indonesia. Itu menimbulkan biaya.
Kalau di e-Katalog, ketika masuk di e-Katalog itu kan ada negosiasi harga. Itu memang tekanan harganya di situ karena mereka pikir pasarnya seluruh Indonesia meskipun belinya per unit. Itu juga nanti masih ditawar lagi, jadinya suka repot tuh. Tekanannya di situ. Lalu ada tekanan di mekanisme pembayaran, ada keterlambatan pembayaran atas pengadaan, terutama di pemerintah daerah.
Pemerintah sempat mengatakan ingin memperkuat sektor alkes nasional, menurut Anda?
Sebenarnya Gakeslab sudah sejak 10-15 tahun berjuang untuk kemandirian alkes. Ketika itu, porsi impornya untuk produk alkes mencapai 90% dan masih seperti itu hingga sekarang. Kemarin pandemi, kita terkaget-kaget ternyata kita kemandiriannya hanya 10%, itu pun hampir setengahnya teknologi rendah dan itu-itu saja.
Kita hanya mandiri membuat dalam hospital furniture seperti tempat tidur, meja, itu teknologi rendah, seperti jarum suntik, perban, dan sebagainya. Jadi memang tertinggal karena hanya 10%.
Kami ada badan inkubator untuk mengembangkan anggota kita yang sudah punya kapasitas produksi untuk mengembangkan portofolionya, kapasitas industrinya. Anggota yang awalnya importir, hijrah menjadi produsen.
Ada sekitar 15 sampai 20 anggota yang sudah investasi membeli tanah, membangun, dan bahkan juga berproduksi. Namun, yang menjadi penghambat adalah penyerapan hasil produksi di market. Itu penyerapan dan kepastian mendapatkan pembeli itu sangat susah sejak 10-15 tahun lalu.
Ada anggota kami yang berhasil membuat USG itu harus tutup karena mungkin investornya sudah cukup gerah, payback period jadi panjang dan merasa lebih baik tutup dan uangnya ditaruh di industri lain.
Jadi memang kami bersyukur Pak Jokowi pada 2016 mengeluarkan Inpres 6/2016 mengenai percepatan kemandirian farmasi dan alkes. Alhamdulillah sudah ditindaklanjuti dengan Permenkes 17/2017 mengenai tata cara kemandirian alkes.
Di permenkes ada mekanisme alih teknologi, ada perusahaan asing yang membuka pabrik di Indonesia atau contract manufacturing. Lalu, ada reverse engineering di mana kami mencoba mengutak-atik produk yang ada untuk menjadi produk baru. Setelah itu, ada inovasi dari akademisi.
Tiga jalur ini sudah bagus, tetapi yang penting tetap harus ada kepastian pembelian. Salah satu yang pasti kalau e-Katalog dibuka dan semua bisa masuk dan ada akses ke RS pemerintah, itu menjadi sangat menarik. E-Katalog ini penting karena market alkes di Indonesia itu, 70-80% adalah RS pemerintah dan BUMN. Swasta hanya 20-30%.
Contoh, anggota Gakeslab yang produksi APD itu hanya ada enam se-Indonesia. Awal 2021 ini yang buat APD itu hampir 300. itu tumbuh berkali-kali lipat jumlah produsennya, karena market-nya ada, produksi jelek pasti dibeli.
Dengan demikian industri pasti naik dan investasi juga naik. Itu yang kami kejar. Jadi kami butuh pemerintah masuk ke sana. Banyak hal yang kami butuh dukungan. Pemerintah perlu menyiapkan ekosistem industrinya.
Pada hakikatnya pemerintah itu perlu mengundang investor dari luar negeri itu yang mau membuka pabrik barang baku atau komponen, bukan barang jadi. Industri alkes di Indonesia sudah bisa produksi barang jadi tapi mengalami kesulitan ketika mencari bahan bakunya. Waktu awal pandemi kan, industri kita kesulitan mencari bahan baku untuk masker karena masih harus impor.
Kalau kami impor bahan baku dari China, setelah kami produksi itu, HPP-nya lebih mahal daripada impor barang jadi langsung. China itu cukup pintar, mereka saat kami beli input barang komponen, mereka kenakan tax atau duty tertentu.
Kalau kami impor yang masker sudah jadi itu lebih murah karena ada tarif khusus dan subsidi dari China-nya. Pemerintah perlu strategis mengantisipasi ini dengan mengundang China investasi produksi komponen bahan baku daripada undang produsen masker ke Indonesia.
Kalau dari sisi Kemenkeu, ada concern terkait tax holiday. Itu insentif threshold nya cukup tinggi karena investasi alkes itu di data kami menunjukkan paling besar itu Rp100 miliar atau Rp200 miliar cukup, sedangkan regulasi tax holiday itu investasi minimal Rp500 miliar.
Itu tidak kena ke kami. Itu kami sudah suarakan ke Kemenko Perekonomian dan diterima tetapi kami belum dapat kabar apa-apa sampai. Katanya ada mini tax holiday. Itu membuat kesulitan anggota kami yang multinasional.
Kasihan mereka sudah bikin business plan ke bos mereka di regional headquarter, akhirnya dalam hal seperti itu kalah akhirnya bangun di Malaysia atau Singapura.
Sekarang memang baik ya, ada KEK batang. KEK batang itu insentif pajaknya cukup baik dan harga tanah juga sudah baik. Itu kami coba lagi, tetapi kita sudah ketinggalan langkah ketimbang Vietnam, Malaysia, Singapura, dan sebagainya karena ternyata teman multinasional kami sudah punya pabrik disana.
Mereka akan kesulitan mendorong untuk mengusulkan pabrik kedua di Indonesia. Di wilayah ini, sudah ada di sana sehingga akan dianggap mubazir gitu. Banyak hal yang seharusnya bisa kita lakukan dari dulu.
Apa rencana Gakeslab agar sektor ini bisa tumbuh lebih besar lagi?
Jadi Gakeslab melihat ada Covid-19 atau enggak ada Covid-19, namanya alkes tetap berperan penting dalam ketahanan bangsa. Kemandirian alkes dalam negeri itu, kami sedang berjuang ke arah sana.
Bagaimana menyikapi usaha alkes adalah kami berusaha perbaiki tata kelola. Kami punya idealisme, visi, misi adalah tata kelola alkes harus diperbaiki baik dari sisi pengadaan, sisi regulasi, importasi, sampai perpajakan. Kami ingin seperti itu.
Kami ada mekanisme baik di internal maupun eksternal. Di internal kami ada program competency building, anggota kami yang di Indonesia Timur itu pemahamannya masih kurang jadi kita berikan pelatihan dan sebagainya.
Selain itu, kami selalu memberikan pelatihan mengenai cara distribusi alat kesehatan yang baik (CDAKB). Kami juga punya 2 kode etik untuk usaha alkes yakni kode etik dalam berinteraksi dengan pemangku kepentingan eksternal seperti RS dan dokter serta kode etik mengenai mekanisme interaksi antar anggota. Kode etik ini sudah mendapatkan endorsement dari KPK
Program kami untuk eksternal kita melakukan advokasi, sosialisasi, dan konsultasi dengan para pemangku kepentingan. Kami punya hubungan baik dengan Kemenkes, Kemenperin, LKPP, dan sebagainya untuk membantu bagaimana tata kelola alkes yang baik dan benar.
Kami juga membina marketplace khusus alkes yang namanya Alkes Pintar. Syukur-syukur kalau ini mau diadopsi pemerintah, kita happy saja. (rig)