Alamanda,
PAJAK sembako sempat ramai menjadi topik pemberitaan media masa pada semester I/2021. Berita viral nan sensasional itu muncul setelah beredarnya draf revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Salah satu poinnya adalah usulan sembako sebagai objek pajak pertambahan nilai (PPN).
Usulan kebijakan ini tentu saja mendapat kecaman keras dari masyarakat. Namun, apakah benar revisi UU KUP ini berniat untuk menambah beban rakyat kecil yang sudah makin tercekik di tengah kondisi pandemi saat ini? Perlu dilihat lebih dalam.
Rencana pemerintah untuk mengurangi pengecualian dan fasilitas PPN memang merupakan salah satu kebijakan yang diusulkan sebagai bagian dari konsolidasi fiskal dan revisi UU KUP. Ada beberapa pertimbangan pemerintah untuk menerapkan kebijakan tersebut.
Pertama, kebijakan PPN pada saat ini dirasa kurang mencerminkan keadilan (bersifat regresif). Kedua, tax expenditure PPN cukup besar, yakni 65% dari total pada 2019. Ketiga, fasilitas PPN yang diberikan saat ini sangat banyak sehingga menyebabkan distorsi di pasar.
Sayangnya, informasi terkait revisi UU KUP yang tersebar di tengah masyarakat hanya bersifat parsial. Dengan demikian, pemberitaan media massa hanya berfokus kepada pengenaan pajak atas sembako. Pada saat itu, belum ada juga penjelasan resmi dari pemerintah.
Berbeda dengan opini umum di tengah masyarakat, jika kita melihat rancangan revisi UU KUP secara lebih komprehensif, banyak poin kebijakan usulan pemerintah yang justru lebih pro kepada masyarakat kecil.
Pertama, perubahan ketentuan terkait PPN cenderung mengarah kepada pajak yang lebih bersifat progresif. Ketentuan pengecualian dan fasilitas PPN saat ini dapat dinikmati semua kalangan masyarakat.
Sebagai contoh, barang kebutuhan pokok termasuk ke dalam negative list barang kena pajak (BKP). Dengan demikian, fasilitas ini diberikan untuk semua golongan masyarakat tanpa membedakan kondisi ekonomi si penerima manfaat.
Usulan skema multitarif dalam revisi UU KUP membuat pengenaan PPN dengan tarif lebih rendah atas BKP tertentu yang dibutuhkan masyarakat umum dan tarif lebih tinggi atas barang mewah. Skema ini akan menciptakan pajak yang lebih bersifat progresif.
Selain itu, tambahan penerimaan negara dari perubahan kebijakan ini dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Misalnya, pemberian subsidi kepada golongan masyarakat berpenghasilan rendah.
Namun demikian, mengenai waktu dan besaran tarif baru akan diterapkan memang perlu dikaji secara mendalam antara pemerintah dan DPR sebagai wakil rakyat. Kondisi pandemi Covid-19 tentunya juga harus dipertimbangkan.
KEDUA, rancangan revisi UU KUP juga mengusulkan penambahan tarif dan lapisan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi. Ketentuan Pasal 17 UU PPh saat ini hanya memiliki 4 lapisan tarif dengan tarif tertinggi sebesar 30%.
Jumlah lapisan tarif ini relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan skema tarif pada negara Asean lainnya, seperti Filipina (5 lapisan, tarif tertinggi 32%), Thailand (8 lapisan, tarif tertinggi 35%), dan Vietnam (7 lapisan, tarif tertinggi 35%) (OECD dan PwC, 2020).
Oleh karena itu, melalui revisi UU KUP, pemerintah mengusulkan penambahan menjadi 5 lapisan dengan tarif tertinggi 35% untuk wajib pajak orang pribadi berpenghasilan di atas Rp5 miliar per tahun. Usulan ini merupakan suatu langkah baik untuk meningkatkan progresivitas pengenaan pajak. Orang kaya selayaknya dikenakan pajak yang lebih besar.
Ketiga, reformasi pengenaan pajak atas natura (fringe benefit). Adapun fringe benefit dapat diartikan sebagai segala bentuk kompensasi bersifat nontunai yang diberikan perusahaan kepada karyawannya (Investopedia, 2020).
Dalam ketentuan pada Pasal 4 ayat (3) UU PPh saat ini, fringe benefit termasuk ke dalam bukan objek pajak (non-taxable income). Sementara dari dari sisi perusahaan, biaya yang dikeluarkan dalam bentuk fringe benefit tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (non-deductible expense) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh.
Adapun dalam rancangan revisi UU KUP, pemerintah mengusulkan agar fringe benefit digolongkan sebagai taxable income sehingga pajaknya dikenakan pada level penerima. Ada beberapa pertimbangan usulan ini.
Salah satu pertimbangannya adalah fringe benefit biasa dinikmati high level employees (direktur, komisaris, dan manajer). Kondisi ini menimbulkan ketidakadilan bagi pegawai level menengah ke bawah yang mayoritas penghasilannya berasal dari gaji/upah yang dikenakan PPh.
Kemudian, pertimbangan lainnya adalah untuk menghindari tax planning perusahaan dengan makin besarnya ketimpangan antara tarif PPh orang pribadi dan tarif PPh badan.
Sebagai produk hukum pemerintah di bidang perpajakan, memang sudah semestinya UU KUP menjalankan fungsi distribusi atau fungsi pemerataan. Artinya, menyesuaikan dan menyeimbangkan antara pembagian pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Dengan pemerataan tersebut, kesenjangan ekonomi dan sosial di antara masyarakat tidak begitu jauh dan timpang. Terlebih lagi, pandemi Covid-19 menyebabkan tingkat ketimpangan makin lebar. Rasio gini sebesar 0,381 (Maret 2020) dan 0,380 (Maret 2019) mengalami kenaikan menjadi 0,384 (Maret 2021). Oleh karena itu, peran pemerintah sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan ini.
Lantas, apakah usulan revisi RUU KUP ini sudah dapat dianggap cukup sebagai kebijakan yang pro rakyat miskin? Tentu saja tidak.
Kebijakan tersebut akan lebih komprehensif jika diiringi dengan pengenaan pajak atas kekayaan serta reformasi perpajakan atas passive income seperti dividen, bunga, keuntungan penjualan saham dan tanah/bangunan. Pasalnya, 75% penghasilan orang kaya berasal dari passive income (Tax Policy Center, 2015).
Terlepas dari itu semua, perlu diakui, usulan penambahan lapisan tarif PPh orang pribadi dan reformasi perpajakan atas fringe benefit dalam rancangan revisi UU KUP ini merupakan langkah awal yang perlu diapresiasi. Tujuannya untuk mewujudkan sistem perpajakan yang lebih progresif dan memihak rakyat kecil.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.