LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2019

Dilema Implementasi Tarif PPh Final UMKM 0,5%

Redaksi DDTCNews
Senin, 13 Januari 2020 | 11.29 WIB
ddtc-loaderDilema Implementasi Tarif PPh Final UMKM 0,5%
Anggun Pratiwi
Tanjung Pandan,
Belitung

USAHA Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan kelompok usaha yang memiliki jumlah pelaku usaha terbesar di Indonesia, yaitu mencapai 59,2 juta pelaku usaha (Kemenkop dan UMKM, 2019). Akibatnya, UMKM dinilai mampu menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.

Tidak hanya itu, peran UMKM dalam memberikan kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) pun cukup signifikan. Pada 2018, sektor UMKM menyumbangkan sedikitnya Rp8.400 triliun atau sekitar 60,34% pada PDB Indonesia.

Pajak UMKM diatur PP No. 23 Tahun 2018 yang menetapkan tarif pajak penghasilan (PPh) final UMKM 0,5% dari peredaran bruto. Tarif tersebut opsional karena UMKM diberikan kebebasan memilih tarif PPh final atau skema normal yang mengacu Pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008 tentang PPh.

Aturan tarif PPh final pada UMKM 0,5% itu dimaksudkan agar pelaku UMKM tidak terbebani dengan tarif pajak yang tinggi. Selain itu, melalui kebijakan ini diharapkan meningkatkan partisipasi pelaku UMKM untuk berperan aktif sebagai wajib pajak.

Meski tarif pajaknya sudah diturunkan sedemikian rupa, masih ada UMKM yang tidak berkontribusi dalam pembayaran pajak. Hal ini terlihat dari data Ditjen Pajak (DJP), jumlah UMKM di Indonesia yang sudah membayar pajak hanya 1,5 juta.

Pada gilirannya, UMKM hadir sebagai salah satu penyebab ketidakpastian pajak dari sisi underground economy. Hal ini didukung antara lain rendahnya pemahaman pelaku UMKM mengenai pajak, dan UMKM tidak melakukan pembukuan dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Dengan demikian, meski UMKM mendominasi perekonomian Indonesia, tetapi akibat kebijakan pajak belum sesuai dengan kondisi UMKM dan edukasi pajak juga kurang didapatkan, UMKM akhirnya hadir sebagai faktor underground economy yang mendorong terjadinya ketidakpastian pajak.

Penetapan tarif PPh final UMKM 0,5% memang telah meningkatkan jumlah wajib pajak UMKM hingga 33%. Namun, tidak bisa dimungkiri masih ada UMKM yang tidak membayar pajak. Bahkan, setoran pajak yang ada pun belum mampu mengompensasi akibat dari penurunan tarif pajak itu.

Tidak hanya itu, adanya tuntutan UMKM untuk menurunkan tarif PPh final UMKM hingga 0% pun menimbulkan dilema tersendiri. Tarif 0,5% awalnya diharapkan membantu UMKM yang belum memiliki pembukuan, sehingga melalui tarif tersebut UMKM tidak kesulitan menghitung pajak.

Tetap Memberatkan
NAMUN, karena tidak semua pelaku UMKM memperoleh laba bahkan terkadang mengalami kerugian, walaupun tarif PPh finalnya sudah rendah, tarif tersebut tetap memberatkan karena setoran pajaknya didasarkan pada peredaran bruto, bukan laba.

Dalam hal ini, alternatif yang dapat dipilih adalah dengan memperbaharui kebijakan. Misalnya dengan penerapan tarif 0% dan rentang omzet khusus bagi usaha mikro dan kecil. Hal ini dimaksudkan untuk mendukung perkembangan usaha mikro dan kecil yang belum memiliki omzet stabil.

Selain itu, rentang yang begitu besar dari omzet maksimal Rp4,8 miliar memungkinkan terjadinya ketidaksetaraan antara UMKM yang berkembang dan UMKM yang stagnan atau UMKM yang tidak berkembang. Akibatnya, UMKM kategori terakhir inilah yang paling merasakan beratnya tarif 0,5%.

Penetapan tarif pajak 0% bagi usaha mikro dan kecil itu sendiri juga telah diterapkan di beberapa negara, salah satunya adalah China pada 2020 yang menerapkan tarif 0% bagi pelaku usaha mikro dengan omzet Rp60 juta per bulan.

Alternatif lain dalam menghadapi dilema tarif pajak UMKM 0,5% ini adalah dengan meningkatkan edukasi terkait dengan pembukuan yang sederhana. Melalui hal tersebut, UMKM akhirnya dapat menggunakan tarif skema normal yang mengacu pada Pasal 17 UU PPh.

Upaya ini juga bisa diwujudkan melalui pemanfaatan potensi mahasiswa, misalnya Kuliah Kerja Nyata (KKN). UMKM khususnya sektor mikro dan kecil terbiasa tidak menggunakan pembukuan dan tidak memiliki waktu. Untuk itu, upaya pengenalan pembukuan kepada UMKM perlu diintensifkan.

Melalui kerja sama DJP dan perguruan tinggi juga stakeholder lain seperti BUMN, edukasi tersebut akan memungkinkan pengenalan pembukuan secara lebih efektif. Upaya pengenalan pembukuan itu pada akhirnya membuat UMKM mengetahui dan dapat melaksanakan opsi pembayaran pajaknya.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.