LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023

Mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 melalui Kebijakan Pajak

Redaksi DDTCNews
Senin, 30 Oktober 2023 | 15.55 WIB
ddtc-loaderMewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 melalui Kebijakan Pajak

Galih Ardin,

  Tangerang Selatan, Banten

JUMLAH penduduk Indonesia menyentuh 270 juta jiwa pada 2020, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Angka tersebut meningkat 3 kali lipat jika dibandingkan dengan sensus pada 1960. Saat itu, jumlah penduduk tercatat baru sebanyak 97,02 juta jiwa. BPS memperkirakan bahwa jumlah penduduk Indonesia akan terus mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada 2040, yakni sebanyak 312,51 juta jiwa. 

Apabila dibandingkan dengan negara lainnya, pada 2020, Indonesia berada di urutan keempat dunia sebagai negara dengan penduduk terbanyak, setelah China, India, dan Amerika Serikat (AS). 

Secara struktur, dapat dikatakan bahwa sejak 2012 sampai dengan 2035, Indonesia tengah memasuki periode bonus demografi. Hal ini ditandai dengan proporsi jumlah penduduk usia produktif (15 tahun hingga 64 tahun) yang lebih besar daripada penduduk usia anak-anak dan penduduk usia manula.

Bahkan, BPS (2022) memperkirakan bahwa ledakan jumlah penduduk usia produktif akan mencapai puncaknya pada 2020 sampai dengan 2030. Dalam periode tersebut, jumlah penduduk usia produktif sebanyak dua kali lipat dari penduduk usia anak-anak dan lansia.

Seolah tak mau melewatkan potensi bonus demografi, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerbitkan serangkaian ketentuan dalam Undang-Undang 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Salah satu kebijakan yang disusun adalah penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Melalui ketentuan tersebut pemerintah mengatur bahwa NPWP bagi wajib pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia adalah dengan menggunakan NIK. 

Selanjutnya, dalam rangka penggunaan NIK sebagai NPWP, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri wajib memberikan data kependudukan dan data balikan kepada menteri keuangan untuk diintegrasikan dengan basis data perpajakan.

Ketentuan mengenai penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 112/2022. Melalui beleid tersebut, pemerintah mengatur bahwa terhitung sejak 14 Juli 2022, wajib pajak orang pribadi yang merupakan penduduk dapat menggunakan NIK sebagai NPWP. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur bahwa wajib pajak bukan penduduk, wajib pajak badan, dan wajib pajak instansi pemerintah dapat menggunakan NPWP dengan format 16 digit.

Dalam konsideran disebutkan bahwa tujuan dari penggunaan NIK sebagai NPWP adalah untuk memberikan kesetaraan pelayanan serta mewujudkan administrasi perpajakan yang efektif dan efisien. Selain itu, kebijakan ini juga diambil untuk mendukung kebijakan satu data di Indonesia.

Tantangan Pengadministrasian NIK sebagai NPWP

Namun demikian, penggunaan NIK sebagai NPWP di tengah era bonus demografi bukan tanpa kendala. Besarnya jumlah angkatan kerja, distribusi penduduk yang tidak merata, serta kerentanan sistem dalam proses integrasi NIK sebagai NPWP menjadi masalah yang harus diselesaikan oleh DJP.

Sebagaimana disebutkan di muka bahwa pada saat ini Indonesia tengah mengalami era bonus demografi, Boediono (2016) menjelaskan bahwa bonus demografi atau dividen demografi adalah kondisi ketika suatu negara mempunyai penduduk usia produktif yang lebih besar daripada kelompok penduduk usia lainnya.

Bonus demografi merupakan modal dan sumber daya yang penting bagi pembangunan sosial suatu negara. Hal ini karena banyaknya jumlah penduduk usia produktif memicu peningkatan permintaan dan penawaran agregat yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi bruto. Terlebih, penerapan NIK sebagai NPWP dapat berimplikasi terhadap melonjaknya jumlah wajib pajak yang akan diadministrasikan oleh DJP.

Peningkatan jumlah wajib pajak yang akan diadministrasikan oleh DJP tersebut secara logis akan meningkatkan beban administrasi yang dihadapi oleh DJP. Sampai dengan 2020, jumlah wajib pajak yang diadministrasikan oleh Ditjen Pajak (DJP) adalah sebanyak 46,38 juta. Secara terperinci, wajib pajak yang terdiri dari 42,30 wajib pajak orang pribadi, 3,56 juta wajib pajak badan, dan 518.000 wajib pajak bendaharawan (DJP, 2021).

Artinya, apabila diasumsikan bahwa seluruh penduduk usia produktif menggunakan NIK sebagai NPWP, akan terjadi peningkatan lonjakan jumlah wajib pajak yang diadministrasikan dari 46,38 juta menjadi 191,09 juta wajib pajak.

Kendala kedua yang mungkin timbul dari proses integrasi NIK menjadi NPWP adalah distribusi beban administratif dan beban kepatuhan yang tidak merata. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh BPS pada 2020 diketahui bahwa 56,1% penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa dan 91,32% penduduk berdomisili sesuai dengan kartu keluarga (BPS, 2021).

Apabila kedua fakta ini dihubungkan dengan proses integrasi NIK dengan NPWP, bisa ditarik kesimpulan awal bahwa kantor pajak di Pulau Jawa umumnya akan menanggung beban administrasi yang lebih besar daripada kantor pajak yang berada di luar Pulau Jawa. Menurut Evans (2008), ketimpangan beban administrasi perpajakan akan menyebabkan peningkatan administrative cost atau beban yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengadministrasikan wajib pajak dan melakukan penagihan pajak dalam jangka pendek.

Permasalahan ketiga yang kemungkinan timbul dari integrasi NIK dengan NPWP adalah proses integrasi dan kerahasiaan data. Bukan rahasia lagi bahwa kerahasiaan data di Indonesia merupakan isu yang sensitif dan krusial. Bahkan, pada medio Juli 2023 khalayak ramai dihebohkan oleh isu kebocoran data kependudukan dan catatan sipil sebanyak 277 juta data.

Oleh sebab itu, untuk mendukung proses migrasi NIK sebagai NPWP pada era bonus demografi yang pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi, penulis menyodorkan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah.

Pertama, pemerintah melalui DJP perlu segera mempercepat proses pemadanan NIK dengan NPWP. Hal ini penting supaya potensi bonus demografi tidak terlewat begitu saja. Terlebih, pada kuartal kedua 2023 ini pertumbuhan ekonomi di Indonesia menunjukkan kinerja positif sebesar 5,17% atau tertinggi ketiga di Asia setelah India dan China. 

Kedua, pemerintah melalui DJP perlu meningkatkan kapasitas pengelolaan dan pengadministrasian wajib pajak baik oleh kantor pusat maupun unit vertikal. Peningkatan kapasitas pengelolaan dan pengadministrasian wajib pajak ini penting untuk mengantisipasi melonjaknya jumlah wajib pajak sebagai akibat dari bonus demografi dan pengintegrasian NIK menjadi NPWP.

Ketiga, DJP bersama dengan kementerian dan lembaga terkait perlu memperkuat sinergi untuk memastikan bahwa proses migrasi dan integrasi NIK menjadi NPWP berlangsung secara aman dan transparan. Sehingga, wajib pajak merasa yakin bahwa tidak terdapat kebocoran maupun penyalahgunaan NIK dan NPWP. 

Apabila ketiga hal tersebut di atas dapat diimplementasikan dengan baik, bukan tidak mungkin bangsa Indonesia dapat mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 yang meliputi pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan, pemantapan ketahanan nasional, serta tata kelola pemerintahan.

Mengingat tahun depan bertepatan dengan pesta demokrasi, yakni pemilihan umum, strategi kebijakan dalam mengejar visi Indonesia Emas 2045 yang penulis ulas bisa menjadi bahan pertimbangan bagi masing-masing kandidat. Baik calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres) perlu sedari dini menyiapkan formula kebijakan yang tepat agar Indonesia tidak kehilangan momentum bonus demografi.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.