ANALISIS TRANSFER PRICING

Kedudukan Kontrak dalam Analisis Transfer Pricing

Redaksi DDTCNews
Rabu, 08 April 2020 | 13.57 WIB
ddtc-loaderKedudukan Kontrak dalam  Analisis Transfer Pricing
DDTC Consulting

PERLU dipahami terlebih dahulu bahwa analisis teks ketentuan kontrak (contractual terms) yang melandasi transaksi afiliasi merupakan langkah paling utama dalam 5 faktor kesebandingan (comparability factors) yang harus dipertimbangkan (Paragraf 8.4 OECD TPG 2017). Apabila dipertimbangkan secara bersama-sama, 5 faktor kesebandingan tersebut  akan menghasilkan keluaran (output) berupa fakta dan kondisi yang sebenarnya.

Lantas, apakah analisis ketentuan kontrak cukup hanya dengan membaca ketentuan kontrak secara tekstual?

Analisis Ketentuan Kontrak

Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menghadirkan jargon baru di dalam OECD Transfer Pricing Guidelines 2017 (OECD TPG 2017), yaitu “accurately delineating the actual transaction”.  Artinya, syarat dan ketentuan kontrak hanya merupakan titik awal untuk menggambarkan suatu transaksi. Namun, pemahaman yang terperinci dan objektif terkait dengan kontrak masih perlu ditambah dengan informasi tentang keadaan yang sebenarnya. (lihat Transfer Pricing di Era Pasca-BEPS)

Lebih lanjut, Paragraf 1.43 OECD TPG 2017 dengan jelas menyatakan bahwa membaca ketentuan kontrak secara tekstual saja tidak cukup untuk memberikan seluruh informasi yang dibutuhkan saat melakukan analisis transfer pricing. Menurut Amir Pichhadze, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan setelah mengidentifikasi ketentuan dalam kontrak adalah menafsirkan ketentuan dalam kontrak untuk memastikan apakah telah sesuai dengan maksud para pihak yang mengikat perjanjian dan fakta dan kondisi yang terjadi di lapangan. (Amir Pichhadze, 2019)

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Mahkamah Agung British Columbia dalam Teck Cominco Metals Ltd. v. HMTQ, 2011 bahwa pajak tidak dapat ditetapkan didasarkan pada kontruksi semantik (berdasarkan makna kata dan kalimat) saja. Namun, harus mengacu pada true nature dari transaksi yang dilakukan. (Amir Pichhadze, 2019)

Pada praktiknya, menemukan fakta dan kondisi yang sebenarnya tidaklah mudah. Permasalahan yang sering terjadi, ketentuan kontrak belum tentu sesuai dengan kondisi riil dari transaksi afiliasi yang sebenarnya dilakukan. Pengertian yang bias dalam kontrak, kesenjangan dalam kontrak, dan inkonsistensi antarkontrak merupakan hal yang perlu diselesaikan terlebih dahulu sebelum membandingkannya dengan pihak independen (Atika Ritmelina, 2019)..

Dengan demikian, sebelum beranjak ke langkah kedua dalam faktor kesebandingan, perlu dilakukan penafsiran terhadap kontrak. Penafsiran kontrak merupakan instrumen yang digunakan untuk memahami ketentuan kontrak secara mendalam.

Penafsiran Kontrak

Paragraf 1.43 OECD TPG 2017 juga menekankan bahwa prinsip-prinsip penafsiran kontrak yang berlaku umum dapat dipertimbangkan untuk mendeskripsikan transaksi afiliasi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Hal tersebut memberikan ruang bagi ketentuan domestik (selain hukum pajak) dan prinsip-prinsip umum terkait penafsiran kontrak dapat digunakan apabila terdapat sengketa terkait dengan ketentuan dalam kontrak.

Merujuk ketentuan domestik di Indonesia (terlepas dari ketentuan OECD TPG 2017 yang memperbolehkan penerapan prinsip penafsiran kontrak secara umum), penerapan aturan perpajakan seharusnya memperhatikan pula ketentuan hukum lainnya, termasuk hukum perdata.

Hal tersebut dikarenakan hukum pajak sangat berkaitan erat dengan hukum perdata, karena hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkungan perdata. Seperti, pendapatan, kekayaan, perjanjian penyerahan, pemindahan hak karena warisan, dsb. (R. Santoso Brotodihardjo, S.H, 1984).

Hal itu juga sejalan dengan penafsiran sistematis, yaitu penafsiran yang menghubungkan suatu peraturan perundang-undangan dengan peraturan hukum atau undang-undang lainnya (Sudikno Mertokusumo, 2009). Cara menafsirkan kontrak diatur secara khusus di dalam Buku Ketiga tentang “Perikatan” Pasal 1343 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang mengatur bahwa perjanjian harus ditafsirkan sesuai dengan maksud para pihak dan bukan berpegang teguh pada arti kata-kata menurut huruf.

Selaras dengan hal di atas, Campbell J., Hakim Pengadilan Pajak Kanada, menyatakan bahwa  penentuan maksud para pihak merupakan hal yang paling fundamental dalam melakukan penafsiran kontrak (the cardinal interpretative rule of contracts). Penentuan maksud para pihak dalam perjanjian harus menjadi perhatian utama pengadilan (Amir Pichhadze, 2019).

Geoff R. Hall, sebagaimana dikutip oleh Amir Pichhadze, juga menyatakan bahwa penafsiran adalah proses yang selalu dilakukan ketika pengadilan menguji suatu kontrak, bahkan ketika kata-kata di dalam kontrak tersebut sudah sangat jelas. Proses penentuan true nature dari kontrak tersebut bahkan harus didahulukan oleh Pengadilan, sebelum menentukan konsekuensi pajak dari suatu transaksi (Amir Pichhadze, 2015)

Menurut Andreas Bullen, beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk menentukan maksud para pihak dalam suatu kontrak adalah dengan mempelajari written materials perusahaan terkait, seperti korespondensi, protokol, dan komunikasi perusahaan (Amir Pichhadze, 2015).

Setelah memahami secara mendalam maksud para pihak dalam kontrak maka langkah selanjutnya adalah memverifikasi apakah maksud para pihak  tersebut telah konsisten dengan substansi perjanjian, yang pada akhirnya akan mengkonfirmasi transaksi yang sebenarnya.

Kebenaran Materiil dengan Kebenaran Formil Menurut Ketentuan Domestik

Peran Otoritas Pajak saat melakukan pemeriksaan adalah mendapatkan “bukti kompeten yang cukup” berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 huruf c PER-23/PJ/2013 tentang Standar Pemeriksaan. “Bukti kompeten yang cukup” dapat diperoleh, salah satunya dengan cara melakukan observasi atau pengamatan langsung atas bukti yang disampaikan oleh wajib pajak.

SE-50/PJ/2013 Tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa juga menekankan bahwa pada praktiknya, penyelesaian atas kasus pemeriksaan transfer pricing sangat tergantung dengan fakta dan kondisi di lapangan.  Aturan ini sejalan dengan prinsip substance over form yang dianut dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Prinsip ini memberikan penekanan bahwa substansi ekonomis jauh lebih penting daripada bentuk formal yang dipergunakan (Mansury, 2002).

Peran Hakim Pengadilan Pajak berdasarkan penjelasan Pasal 76 Undang-undang Pengadilan Pajak adalah untuk menemukan kebenaran materiil dan menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak.

Oleh karena yang ingin digali bukanlah kebenaran formil melainkan kebenaran materiil, tentu tidak cukup apabila hakim hanya menilai berdasarkan apa yang tertulis di dalam kontrak tanpa melihat fakta dan kondisi yang sebenarnya.

Kesimpulan

Membaca ketentuan kontrak secara tekstual saja tidaklah cukup untuk memberikan kesimpulan bahwa suatu transaksi telah sesuai dengan fakta dan kondisi yang sebenarnya. Oleh karena itu, memahami dan menelusuri maksud para pihak sebagai bagian dari penafsiran kontrak menjadi salah satu langkah yang paling utama untuk menemukan fakta dan kondisi yang sebenarnya dalam transaksi afiliasi.

Hal tersebut sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Peraturan domestik di Indonesia sebenarnya telah mengatur dengan jelas mengenai pentingnya memahami fakta dan kondisi yang sebenarnya dan kebenaran materiil (substance over form) dalam sengketa transfer pricing. Akan tetapi, belum secara tegas menggunakan jargon “accurately delineate the actual transaction” dan penelusuran maksud para pihak “accurately delineate the parties’ intention” melalui penafsiran kontrak.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.