AKUNTABILITAS KEUANGAN

Ke Mana Sebenarnya Uang Pajak Kita?

Redaksi DDTCNews
Selasa, 16 Januari 2018 | 20.15 WIB
ddtc-loaderKe Mana Sebenarnya Uang Pajak Kita?
DDTCNews

PEMERINTAH bersama DPR telah menetapkan alokasi belanja negara untuk tahun anggaran 2018 sebesar Rp2.220,66 triliun. Dengan penerimaan perpajakan yang dipatok Rp1.618,09 triliun, berarti kontribusi penerimaan perpajakan terhadap APBN 2018 mencapai 72,86%.

Apabila mengacu pada perkiraan jumlah penduduk tahun 2018 sebesar 266 juta jiwa (Kemendagri, 2016), maka kalau dipukul rata saja, setiap satu orang penduduk di negeri ini mulai dari bayi baru lahir sampai kakek-nenek, setiap tahun membayar pajak ke pemerintah pusat rata-rata sebesar Rp6.083.

Melalui perincian belanja di APBN 2018, dengan mudah kita bisa menghitung secara proporsional ke mana gerangan Rp6.083 uang pajak yang kita bayar itu dialokasikan. Tapi kini, kita tak perlu repot menghitung, karena sudah ada fitur yang satu ini, https://www.kemenkeu.go.id/alokasipajakmu.

Itu simulasi yang menggambarkan penggunaan uang pajak yang kita bayar. Karena bersifat akumulatif, perhitungannya dilakukan tanpa membedakan jenis pajak, dan terbatas pada penerimaan perpajakan, yaitu PPh, PPN, PPnBM, cukai, bea masuk, bea keluar, bea materai dan PBB Migas.

Jika pembayaran pajak sebesar Rp6.083 tadi dimasukkan ke dalam simulator tersebut, maka hasilnya uang pajak itu paling banyak dialokasikan untuk membiayai pelayanan umum, yaitu Rp1.195 (20%), disusul dana yang ditransfer ke daerah, yakni dana alokasi umum Rp1.100 (18%).

Pertanyaannya, apakah simulasi tersebut sahih dan valid? Tentu saja tidak. Fitur itu hanya merupakan simulasi penggunaan uang pajak atas dasar target-target APBN, bukan atas dasar realisasi APBN yang sudah diaudit. Informasi yang diberikannya terbatas menggambarkan, bukan mempertanggungjawabkan.

Dalam simulator tersebut, alokasi uang pajak yang dibelanjakan ditunjukkan menurut fungsinya, yaitu pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, perlindungan lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial.

Selain itu, ditunjukkan pula alokasi uang pajak dari sisi belanja yang disalurkan pemerintah pusat ke pemerintah daerah, yaitu dana alokasi umum, dana bagi hasil, dana alokasi khusus, dana otonomi khusus, dana keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dana insentif ke daerah, dan dana desa.

Sampai di sini kita boleh mengapresiasi inisiatif Kementerian Keuangan yang membuat simulator tersebut. Dengan fitur itu, masyarakat beroleh akses mudah untuk mengetahui penggunaan uang pajak yang sudah dibayarkannya ke negara. Harapannya, kepatuhan pajak masyarakat pun dapat meningkat.

“Pajak yang dibayarkan masyarakat kepada negara digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat,” kata Menkeu Sri Mulyani Indrawati melalui instagramnya saat merilis fitur itu beberapa waktu lalu. “Silakan masukkan pajak yang Anda bayarkan, dan lihatlah penggunaannya untuk apa saja.”

Masalah Kompleks

BEROLEH akses informasi di hilir tentang penggunaan uang pajak yang sahih dan valid, dan dengan demikian juga bagaimana uang pajak itu didapatkan di hulu, tentu bukan persoalan remeh-temeh. Di balik akses tersebut ada persoalan yang kompleks, bahkan political, dalam relasinya di antara organ-organ negara sendiri.

Kita melihat bagaimana 10 tahun silam Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang saat itu dipimpin Anwar Nasution sampai harus bertempur melawan Kementerian Keuangan dan Ditjen Pajak di Mahkamah Konstitusi, hanya untuk bisa mendapatkan akses tersebut.

Perkara akses itu pula yang antara lain menyebabkan kenapa dalam tempo 11 tahun, informasi tentang bagaimana uang pajak diperoleh dan dibelanjakan tak bisa sepenuhnya transparan dan dijelaskan, seperti yang terefleksikan melalui opini atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2004-2015 yang diberikan BPK.

Baru pada LKPP 2016-lah informasi tersebut dapat sepenuhnya dijelaskan, sebagaimana tercermin melalui opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang diperoleh, setelah sebelumnya mendapatkan opini disclaimer untuk LKPP 2004-2008, dan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) untuk LKPP 2009-2015.

Dari LKPP 2016 (audited) itu kita bisa menghitung dengan mudah bahwa kontribusi penerimaan perpajakan terhadap belanja APBN 2016 hanya 68,92% senilai Rp1.285 triliun. Hal tersebut berarti, dengan perkiraan jumlah penduduk 258 juta jiwa pada 2016, maka pada tahun tersebut setiap satu orang penduduk membayar pajak kepada negara sebesar Rp4.981.

Melalui LKPP 2016 (audited) itu pula kita bisa menghitung, dari Rp4.981 uang pajak yang dibayarkan setiap penduduk, sebanyak 16% di antaranya digunakan untuk membayar gaji aparatur sipil negara dan tunjangannya; 14% digunakan untuk membeli furnitur, mobil dinas, kertas, servis AC, membiayai rapat, beasiswa, perjalanan dinas dan seterusnya.

Selanjutnya, sebanyak 9% digunakan untuk membangun jalan, jembatan, bendungan, membeli tanah, gedung; 10% untuk membayar bunga utang tidak termasuk pokok; 9% untuk subsidi; 3% untuk bantuan sosial, hibah, dan lain-lain; serta sisanya sebanyak 38% ditransfer ke pemda dan desa.

Itu informasi dari data realisasi APBN 2016 yang sudah diaudit dan mendapatkan opini WTP, dengan perincian alokasi penggunaan uang pajak menurut jenis pengeluarannya, yaitu belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal, seperti yang juga diatur oleh PMK No.114/PMK.02/2016 tentang Klasifikasi Anggaran.

Lalu bagaimana dengan tahun ini? Berapa persen uang pajak kita yang akan dihabiskan pemerintah untuk membayar gaji dan remunerasi? Berapa persen untuk belanja meja kursi, katering rapat, dan perjalanan dinas? Berapa persen untuk bayar bunga utang? Berapa yang disisakan untuk bangun jalan? Kok tidak ada datanya di https://www.kemenkeu.go.id/alokasipajakmuMari kita berbaik sangka bahwa Kemenkeu sedang bekerja melengkapi fitur simulatornya, bukan sedang menyembunyikannya.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.