Ilustrasi. (nfcc.org)
AKHIR Maret lalu Ditjen Pajak (DJP) merilis purwarupa Kartu Indonesia Satu (Kartin1). Ini adalah kartu uang elektronik (e-money) yang diterbitkan bank, yang dapat dipakai sebagai alat pembayaran senilai uang yang tersimpan dalam kartu kepada merchant yang bekerja sama dengan bank penerbit kartu.
Namun, lebih dari sekadar e-money seperti e-toll atau flazz, Kartin1 memuat berbagai data pemilik kartu. Data tersebut antara lain Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Nomor Induk Kependudukan (NIK), Surat Izin Mengemudi (SIM), dan nomor kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
DJP menggandeng Bank Mandiri sebagai penerbit Kartin1. Menurut rencana, kartu tersebut akan dirilis resmi Juli 2017. Pada tahap awal, Kartin1 akan didistribusikan ke seluruh pegawai DJP. Selanjutnya, kartu tersebut akan disebarluaskan ke seluruh wajib pajak (WP) terdaftar dan menggantikan kartu NPWP .
Keterangan resmi DJP dan Kemenkeu menyebutkan bahwa Kartin1 memang bermaksud mengintegrasikan berbagai nomor identitas yang dimiliki WP. Tujuannya agar DJP bisa lebih mudah menghimpun data dan informasi aktivitas ekonomi WP, sehingga kewajiban perpajakannya lebih mudah dipantau.
Inisiatif peluncuran kartu tersebut tentu harus dihargai. Mungkin ada yang mengkritik bahwa yang paling diuntungkan dengan adanya Kartin1 adalah Bank Mandiri. Ada pula yang mengingatkan bahwa penyebarluasan Kartin1 ke WP harus melalui kajian yang mendalam dan hati-hati. Ada berbagai aspek yang harus diperhatikan.
Kritik-kritik itu tentu perlu direspons secara terbuka. Harus diakui, dalam era digital ini, persaingan e-money sudah sangat ketat. Sebagai uang elektronik, Kartin1 harus tunduk pada kekuasaan moneter, dan juga pada aturan lain apabila ia hendak mengintegrasikan atau menggantikan kartu identitas yang lain.
Namun, tanpa mengabaikan berbagai kritik tersebut, dalam konteks ini Kartin1 tetap harus dilihat sebagai salah satu strategi DJP untuk mengumpulkan data dan informasi yang terkait perpajakan, dalam hal ini dari pihak ketiga yaitu Bank Mandiri. Ini strategi yang wajar belaka, tetapi penting karena kebutuhan data tadi.
Banyak riset menunjukkan bahwa ketersediaan data dan informasi perpajakan berkorelasi positif dengan kepatuhan pajak. Karena itu tidak mengherankan, lebih dari sekadar menerapkan strategi tersebut, banyak negara melembagakannya melalui program integrasi nomor identitas penduduk.
Di Amerika Serikat ada Social Security Number, di Inggris ada National Identity Card, di Jerman ada Personalausweis, di Malaysia ada MyKad, di Thailand Smart ID Card, dan seterusnya. Semua kartu itu mengintegrasikan sejumlah nomor identitas, sehingga bisa disebut Single Identity Number (SIN).
Jika Kartin1 serius mau dijadikan SIN dan mengintegrasikan lebih dari 40-an sistem data berikut nomor identitas unik di Indonesia—sebagai bagian dari reformasi pajak untuk penguatan basis data amanat Pasal 35A UU No. 28 Tahun 2007—opsinya tak lain adalah merumuskan perencanaannya secara lebih sistematis dan terstruktur.
SIN jelas bukan perkara remeh. Ia jenis pekerjaan besar yang tidak bisa selesai dalam sekali dua pertemuan. SIN jauh lebih kompleks dari sekadar menempelkan nomor NPWP, NIK, SIM dan BPJS dalam kartu e-money. Ada berbagai isu yang menuntut penyelesaian, mulai dari legal formal sampai ego sektoral. Menempelkan nomor identitas adalah satu hal, mengintegrasikan hal lain.
Karena itu, perencanaan saja tidak cukup. Ia butuh kemauan politik, dan harus didorong datang dari otoritas tertinggi mengingat keluasan rentang kendali SIN. Itu pun belum menjamin. Terlalu banyak contoh menunjukkan, ganti pimpinan ganti kebijakan. Karena itu, ia perlu dijaga dengan keras hati.
Sejarah sudah menunjukkan bagaimana segenap kerja keras pembentukan SIN di DJP yang dimulai sejak reformasi pajak 2001—diawali dengan terbitnya SE Dirjen Pajak No. SE-06/PJ.9/2001—terbuang percuma karena program itu dilenyapkan begitu saja tanpa alasan yang jelas, hingga akhirnya dari jurusan lain muncul proyek e-KTP.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.