Ilustrasi.
CANBERRA, DDTCNews – Otoritas pajak Australia (Australian Taxation Office/ATO) memenangkan kasus pajak melawan raksasa pertambangan BHP Billiton. Atas kemenangan tersebut, BHP Billiton dikenai tagihan pajak US$82 juta (sekitar Rp1,15 triliun).
Kasus pajak BHP Billiton yang digugat oleh ATO ini terkait dengan pusat pemasaran perusahaan di Singapura. Perusahaan tersebut kini mempertimbangkan untuk pengajuan banding atas keputusan Pengadilan Federal karena telah membuatnya harus membayar US$82 juta.
“Kami memiliki 28 hari untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Australia. Saat ini kami masih mengkaji putusan Pengadilan Federal sebelum mengajukan banding,” ungkap BHP dalam keterangan tertulis, Selasa (29/1/2019).
Tahun lalu, BHP sempat memenangkan kasusnya di Pengadilan Banding Administratif. Tapi kali ini, Pengadilan Federal mendengar banding ATO dan memihak ke otoritas pajak. Kemenangan ini membuat BHP harus menyetor US$82 juta dalam pajak primer untuk tahun 2006 hingga 2015.
Kasus pajak ini disebabkan karena BHP Billiton menggunakan skema dual-listed tax structures. BHP Inggris menjual batu bara ke grup pusat pemasaran di Singapura. Dengan skema dual-listed tax structures, BHP Australia memiliki 58% dari operasi Singapura, sedangkan BHP Inggris memiliki 42%.
BHP sepakat dengan aturan controlled foreign company (CFC) dan harus membayar pajak 58% dari penghasilan yang diterima oleh Australia dari kantor BHP di Singapura.
Namun, BHP menentang ATO terkait kewajiban membayar pajak atas penghasilan yang diperoleh Inggris dari penjualan barang-barang di Australia, termasuk batubara Hunter Valley yang dijual melalui Singapura.
Ini bukan pertama kalinya BHP diganjar ATO dengan tagihan pajak terkait pembayaran komoditas ke bisnis pemasaran perusahaan Singapura. BHP diganjar tagihan pajak yang mencakup 11 tahun dengan total $661 juta dalam pajak primer, ditambah bunga dan denda hingga totalnya lebih dari $1 miliar. (kaw)