ERA globalisasi seperti saat ini telah menyebabkan semakin terbukanya transaksi bisnis global, beragamnya tantangan pasar yang dihadapi, serta ketatnya persaingan bisnis. Demi memenangkan persaingan, meningkatkan efesiensi, hingga memperluas pasar. Banyak perusahaan yang mulanya berbasis hanya pada satu negara kemudian beroperasi menjadi perusahaan berbasis multinasional.
Transaksi antara masing-masing entitas dalam suatu grup perusahaan multinasional tersebut tidak lepas dari kebijakan penetapan harga sebagai konsekuensi logis atas bisnis yang semakin mengglobal dan terintegrasi. Namun, cara pembentukan harga dan penetapan alur transaksi dalam transaksi afiliasi tersebut kerap digunakan sebagai cara untuk melakukan praktik penghindaran pajak atau lebih khususnya praktik manipulasi transfer pricing (Darussalam, 2017).
Keterbatasan informasi, celah dan perbedaan di dalam peraturan perpajakan pada masing-masing negara di mana entitas bertempat menjadi hal utama yang dimanfaatkan untuk melakukan praktik manipulasi transfer pricing. Karena adanya keterlibatan beberapa negara dalam suatu rantai transaksi afiliasi, praktik manipulasi transfer pricing yang agresif tersebut menimbulkan rasa ketidakadilan pada masing-masing negara.
Sebagai langkah melawan praktik tersebut, negara-negara yang tergabung dalam G20 bersama dengan OECD pada pertemuan di Moscow tanggal 19-20 Juli 2013, mendiskusikan 15 rencana aksi yaitu Rencana Aksi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS Action Plan) dan mempublikasikan laporan finalnya pada Oktober 2015. Kelima belas rencana aksi tersebut didasarkan pada tiga prinsip utama yaitu koheren, substansi, dan transparansi, yang salah satu tujuannya adalah dapat mengurangi praktik manipulasi transfer pricing dan penghindaran pajak.
Sebagai bentuk penerapan prinsip transparansi, salah satu aksi tersebut, khususnya aksi BEPS ke-13 (selanjutnya: BEPS 13) merekomendasikan mengenai perubahan dalam ketentuan pendokumentasian transaksi afiliasi (transfer pricing documentation/TP Doc) dan juga penggunaan tiga pendekatan pendokumentasian, yaitu master file, local file, dan country by country reporting. Rekomendasi tersebut diharapkan dapat mengurangi keterbatasan informasi yang selama ini dialami oleh otoritas pajak suatu negara.
Lalu, bagaimana keterlibatan BEPS 13 pada ketentuan pendokumentasian transaksi afiliasi di Indonesia? Sebagai anggota G20, Indonesia tentu saja mengadopsi rekomendasi tersebut. Pada 30 Desember 2016 Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 213/PMK.03/2016 Tahun 2016 mengenai jenis dokumen dan/atau informasi tambahan yang wajib disimpan oleh wajib pajak yang melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa, dan tata cara pengelolaannya (selanjutnya: PMK 213).
Peraturan tersebut selain menjawab Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, juga sekaligus mengadopsi rekomendasi aksi BEPS 13.
PMK 213 tersebut tentu saja masih menimbulkan beberapa pertanyaan bagi wajib pajak, khususnya mengenai latar belakang dan sifat materiil atas peraturan tersebut. Namun pada faktanya, ketentuan yang terdapat pada PMK 213 tersebut merupakan penerapan dari hampir seluruh rekomendasi BEPS 13. Berikut adalah ringkasan perbandingan antara rekomendasi yang terdapat dalam BEPS 13 dengan ketentuan yang telah diatur dalam PMK 213:
Tabel 1 Ringkasan Perbandingan BEPS 13 dengan PMK 213
Hal yang Diatur | Rekomendasi BEPS 13 | Ketentuan di dalam PMK 213 |
Jenis Dokumen yang Digunakan | Menggunakan pendekatan 3 tingkat, yaitu Master File; Local File; dan Country by Country Reporting. | Menggunakan 3 jenis dokumen, yaitu Dokumen Induk (Master File); Dokumen Lokal (Local File); dan Laporan per Negara (Country by Country Reporting) (Pasal 2 Ayat (1) PMK 213) |
Jenis data dan informasi yang digunakan | Menganut prinsip “Contemporaneous Documentation”, atau dengan kata lain menggunakan data pembanding yang tersedia pada saat terjadinya transaksi dengan tujuan wajib pajak akan menetapkan harga transfer menggunakan data pembanding, sesuai dengan arm’s length principle . BEPS 13 juga merekomendasikan bahwa otoritas pajak juga harus mempertimbangkan beban kepatuhan wajib pajak. | Menggunakan data dan informasi yang tersedia pada saat dilakukan transaksi afiliasi untuk Dokumen Induk dan Dokumen Lokal; dan Menggunakan data dan informasi yang tersedia sampai dengan akhir tahun pajak untuk Laporan Per Negara. Wajib pajak dianggap tidak menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha jika tidak memenuhi ketentuan di atas. (Pasal 3 PMK 213) |
Batas Waktu Pelaporan | Paling lambat dilaporkan saat batas waktu pelaporan surat pemberitahuan (SPT) pada tahun pajak yang bersangkutan Khusus untuk laporan per negara, paling lambat dilaporkan satu tahun setelah batas waktu pelaporan SPT pada tahun yang bersangkutan. | Wajib melampirkan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan berupa ikhtisar atas Dokumen Induk dan Dokumen Lokal dan harus tersedia paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak. Laporan per Negara wajib dilampirkan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan pada tahun pajak berikutnya dan harus tersedia paling lama 12 (dua belas) bulan setelah akhir tahun pajak. (Pasal 4 dan Pasal 7 PMK 213) |
Penggunaan Bahasa | Tidak dijelaskan secara pasti, namun menggunakan terminologi “commonly used language” atau bahasa yang biasa digunakan agar tidak mengurangi kegunaan atas dokumen tersebut. Jika dibutuhkan penerjemahan lebih lanjut atas suatu dokumen, otoritas pajak harus secara spesifik meminta bagian yang ingin diterjemah dan menyediakan waktu yang cukup untuk wajib pajak. | Harus dibuat oleh wajib pajak dalam Bahasa Indonesia, kecuali mendapat izin untuk menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah. Jika menggunakan bahasa asing, wajib disertai dengan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. (Pasal 11 PMK 213) |
Ketidakpatuhan dan Sanksi | BEPS 13 menjelaskan mengenai peristiwa yang dianggap sebagai “ketidakpatuhan” oleh wajib pajak, yaitu:
| PMK 213 tidak mengatur ketentuan mengenai sanksi. Namun, ketentuan mengenai sanksi merujuk pada Undang – Undang nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah diubah Terakhir dengan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 (selanjutnya: UU KUP). Wajib pajak akan dikenakan sanksi apabila tidak memenuhi kewajiban sebagai berikut:
|
Kerahasiaan Informasi | Otoritas pajak harus dapat memastikan informasi yang terdapat didalam seluruh dokumen (Master File, Local File, Country by Country Reporting) dijaga kerahasiaannya. | PMK 213 tidak mengatur mengenai kerahasiaan informasi, tetapi tunduk pada ketentuan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 34 UU KUP |
Walaupun tidak sepenuhnya mengadopsi rekomendasi BEPS 13, secara keseluruhan PMK 213 dirasa telah merepresentatifkan “nyawa” atau substansi dari BEPS 13 itu sendiri. Ini sekaligus menunjukkan adanya komitmen pemerintah Indonesia sebagai anggota G20 dalam menerapkan aksi-aksi yang telah disepakati bersama secara global.
Kendati demikian, dengan diadopsinya rekomendasi aksi BEPS 13 dalam peraturan domestik di Indonesia, tentu memunculkan tantangan baru untuk kedua belah pihak yang terlibat, baik bagi wajib pajak maupun otoritas pajak sendiri.
Bagi wajib pajak, tentu saja tantangan terdapat pada sejauh mana kemampuan wajib pajak dalam mematuhi ketentuan dokumentasi baru atas transfer pricing ini. Adapun, bagi otoritas pajak, menjaga kerahasiaan informasi dan meyakinkan wajib pajak agar mematuhi ketentuan tersebut juga menjadi tantangan tersendiri.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.