DALAM konteks globalisasi ekonomi, banyak perusahaan melakukan ekspansi ke luar wilayah yurisdiksi untuk menjangkau konsumen di berbagai belahan dunia.
Terkait dengan situasi tersebut, sistem pajak internasional telah lama menjadi salah satu aspek yang disorot. Hal ini terutama menyangkut pemajakan atas penghasilan perusahaan-perusahaan yang berasal dari yurisdiksi lain.
Belakangan, banyak yurisdiksi beralih dari sistem pemajakan berbasis worldwide menjadi territorial. Perusahaan menjadi hanya dikenai pajak oleh yurisdiksi tempat mereka mendapatkan penghasilan. Sejak 1990 hingga saat ini, hanya tersisa empat negara Organisation of Economic Co-operation and Development (OECD) yang menerapkan sistem pemajakan worldwide. Â
Di penghujung tahun, Tax Foundation merilis laporan International Tax Competitiveness Index 2020 yang berisi mengenai kinerja sistem pajak di berbagai negara. Singkatnya, rilis ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana sistem pajak suatu negara mematuhi dua aspek penting.
Adapun dua aspek penting yang dimaksud adalah daya saing dan netralitas. Data dan metodologi yang dipakai dalam mengestimasi nilai indeks selalu diperbaharui, baik dari sisi kualitas maupun keakuratannya.
Dalam rilis tersebut, Tax Foundation juga mengukur seberapa baik sistem pajak internasional di suatu negara/yurisdiksi melalui sistem penilaian (scoring) yang akan menentukan peringkat dari negara-negara tersebut.
Skor atau peringkat keseluruhan akan ditentukan oleh empat aspek pemajakan seperti pengecualian atas dividen/capital gain, tarif pemotongan pajak (withholding tax), Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda/P3B (tax treaty), serta regulasi menyangkut pajak internasional di masing-masing negara.
Dari 36 negara tersebut, sebanyak 12 negara atau 33,3% mendapatkan skor tertinggi dalam aspek pengecualian pemajakan atas dividen ataupun capital gain yang bersumber dari yurisdiksi lain. Negara-negara tersebut antara lain Australia, Austria, Belanda, Belgia, Hungaria, Inggris, Islandia, Luksemburg, Selandia Baru, Swedia, Swiss, dan Turki.
Hingga saat ini, sebanyak 25 negara-negara OECD mengecualikan pemajakan atas dividen yang bersumber dari anak perusahaan di luar yurisdiksi. Di sisi lain, 6 negara OECD lainnya mengenakan pengecualian pemajakan dividen hingga 95% - 97% dan sisanya tidak mengecualikan sama sekali.
Untuk aspek tarif pemotongan pajak dan pengecualian pajak atas capital gain, hanya Hungaria dan Latvia yang mendapatkan skor tertinggi. Tarif pemotongan pajak berlaku atas pembayaran dividen, bunga, dan royalti kepada investor asing ataupun perusahaan. Sementara itu, capital gain diperoleh suatu perusahaan dari hasil divestasi.
Di Latvia, pemajakan berbasis PPh badan hanya dikenakan atas penghasilan yang dibagikan kepada para shareholders. Dengan demikian, perusahaan dapat menginvestasikan kembali laba perusahaan tanpa dikenai pajak.
Di sisi lain, Inggris dan Irlandia merupakan negara dengan skor tertinggi dalam aspek P3B dan regulasi pajak internasional. Saat ini, Inggris memiliki jaringan terluas P3B dengan 130 negara, sangat jauh dibandingkan Cile yang hanya memiliki jaringan sebanyak 33 negara dan rata-rata OECD sebesar 77 negara.
Hungaria dan Inggris merupakan negara yang masing-masing mendapatkan skor tertinggi di dua aspek berbeda. Namun, peringkat keseluruhan sistem pajak di Inggris yang lebih baik terutama disebabkan oleh buruknya P3B di Hungaria.
Menariknya, dua peringkat keseluruhan terendah dalam tabel ditempati oleh dua negara berkembang di kawasan Amerika, yakni Cile dan Meksiko. Hal ini menandakan perlunya pembenahan sistem pajak internasional di kedua negara tersebut.
Informasi yang disajikan oleh Tax Foundation ini sangat berguna dalam mengukur penerapan sistem pajak internasional di suatu negara. Dengan adanya keempat aspek ini, otoritas pajak dapat melakukan evaluasi dan pembenahan yang tepat sasaran yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing serta memperbaiki iklim investasi di negaranya masing-masing. *