REALISASI penerimaan pajak dan persentasenya terhadap PDB (tax ratio) sering digunakan untuk mengukur upaya pajak. Namun, indikator ini hanya akan sesuai untuk kajian terhadap negara-negara yang memiliki kemiripan struktur ekonomi dan memiliki tingkat pendapatan yang sama (Le et al. 2008).
Kinerja penerimaan pajak setiap negara akan lebih baik jika diukur dengan menggunakan suatu rasio tax effort. Ini merupakan rasio antara penerimaan pajak yang diperoleh terhadap estimasi penerimaan pajak yang seharusnya dapat diperoleh atau potensi penerimaan pajak (Stotsky dan Wolde-Mariam, 1997).
Suatu negara dianggap memiliki tax effort yang tinggi jika nilai rasionya lebih besar dari 1. Hal ini mengindikasikan negara tersebut dapat memanfaatkan atau menggali seluruh basis pajaknya untuk meningkatkan penerimaan. Di sisi lain, nilai rasio yang kurang dari 1 mengindikasikan masih terdapat potensi untuk digali sebagai penerimaan pajak.
Walau dianggap ideal dalam menilai kinerja penerimaan pajak, mengukur indikator tax effort bukan tanpa tantangan. Persoalan utamanya terletak pada cara mengestimasi potensi penerimaan pajak.
Estimasi tersebut umumnya dilakukan dengan menguji pola pengaruh berbagai faktor terhadap penerimaan pajak di berbagai negara. Berbagai faktor itu seperti pendapatan perkapita, komposisi ekonomi, struktur demografi, hingga kematangan demokrasi. Nilai koefisien pengaruh tersebut kemudian akan dipergunakan untuk mengestimasi potensi penerimaan pajak di setiap negara.
Lalu, bagaimana kinerja tax effort di Indonesia?
Tabel berikut merangkum beberapa penelitian yang memuat nilai tax effort pemerintah Indonesia. Hasil indeks rasio tax effort tersebut umumnya merupakan rata-rata dalam jangka waktu tertentu.
Penelitian yang memuat tahun-tahun tertentu untuk tax effort Indonesia antara lain Cotarelli (2011), Fenochietto dan Pesino (2013), serta Mawajje dan Sebudde (2019). Indeks rasio tersebut masing – masing untuk tahun 2004, 2011, dan 2015 dan berada di rentang 0.31 – 0.59.
Di sisi lain, penelitian yang memuat tax effort berupa rata-rata di jangka waktu tertentu antara lain Piancastelli (2001), Kristiaji (2013), Cyan et al. (2013), serta Le et al. (2012) dan memiliki rentang 0,48 – 1,08.
Tingginya rata-rata indeks rasio tax effort pada penelitian yang dilakukan Piancastelli (2001) dan Le et al. (2012) menyiratkan dalam kurun 1985 – 2009, kinerja penerimaan perpajakan terbilang cukup bagus, khususnya pada masa sebelum terjadinya krisis moneter di pertengahan 1997. Rata-rata indeks rasio tersebut sangat jauh jaraknya apabila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kristiaji (2013), yakni sebesar 0,48.
Adanya perbedaan data, periode, variabel yang digunakan, definisi potensi dan tax ratio, serta metode perhitungan yang beragam membuat nilai indeks rasio tax effort untuk Indonesia dari penelitian-penelitian tersebut tidak dapat dibandingkan antara satu dengan yang lainnya.
Sebagai contoh, Pessino dan Fenochietto (2010) dalam penelitiannya menggunakan variabel indeks gini, pengeluaran pendidikan, serta indeks harga konsumen untuk mengestimasi potensi penerimaan negara. Di sisi lain, Le et al. (2012) menggunakan pertumbuhan populasi dan birokrasi, yang mana variabel-variabel tersebut tidak terdapat di penelitian sebelumnya.
Menariknya, terdapat satu hal yang dapat disimpulkan dari indeks rasio tax effort yang beragam tersebut. Indeks rasio yang mayoritas tidak mencapai indeks rasio 1 atau mengindikasikan Indonesia selama ini belum berhasil untuk memanfaatkan atau menggali seluruh basis pajaknya secara optimal. Dengan performa tersebut, pada kondisi saat ini, langkah pemerintah semakin berat. *