SETELAH krisis ekonomi berlalu, biasanya terdapat beberapa perilaku dan pola keputusan ekonomi yang berbeda dibandingkan sebelum adanya krisis. Secara tidak langsung, hal tersebut juga dapat diartikan terdapat adanya pergesearan natur dari basis pajak.
Inilah salah satu faktor yang menyebabkan pemulihan penerimaan pajak cenderung sulit dilakukan. Dalam berbagai kasus, pemulihan kinerja pajak lebih lamban ketimbang berlangsungnya perbaikan ekonomi.
Pascakrisis finansial 2008, Accenture melakukan studi bagaimana otoritas pajak mengambil langkah antisipasi dari jauh-jauh hari. Dalam laporannya yang berjudul “After the Crisis: How Revenue Agencies Are Achieving High Performance”, studi dilakukan untuk memberikan sejumlah rekomendasi yang bisa dilakukan otoritas pajak untuk menjaga kinerja penerimaan pajak.
Dalam uraiannya disebutkan bahwa pada masa kini, integrasi ekonomi dan perdagangan internasional akan memainkan peranan penting dalam membentuk ekonomi domestik dalam menuju kondisi normal yang baru.
Digitalisasi ekonomi diperkirakan akan menjadi “pelabuhan” baru bagi para pelaku ekonomi untuk terhubung dengan mitra ekonomi baik yang berlokasi dalam negeri maupun luar negeri. Untuk itu, penting bagi otoritas pajak untuk mendeteksi pergeseran sektor-sektor ekonomi beserta natur transaksi dan penghasilan yang tidak lain merupakan basis pajak.
Pergeseran ini nantinya akan memberikan masukan penting bagi sistem pajak mendatang agar basis pajak tidak tergerus. Terdapat lima rekomendasi yang diusulkan agar hal tersebut tidak terjadi.
Pertama, mengembangkan data analytics tool. Kelengkapan ini dibutuhkan untuk mengantisipasi masifnya arus data yang akan terjadi di masa mendatang. Dari pengumpulan dan pengolahan data hingga perumusan aksi yang tepat dibutuhkan agar kepatuhan pajak dan kredibilitas implementasi peraturan pajak dapat terjaga.
Selain itu, diuraikan juga bahwa dengan adanya fitur tersebut, biaya pemungutan (administration cost) akan dapat diminimalkan. Di sisi lain, biaya kepatuhan (compliance cost) juga dapat dikurangi karena hal tersebut akan membantu otoritas pajak lebih tepat sasaran dalam mendeteksi ketidakpatuhan dan melakukan pemeriksaan.
Kedua, membangun model risiko kepatuhan wajib pajak yang bersifat real time. Dengan model ini, setiap perilaku atau keputusan bisnis yang diambil oleh wajib pajak dapat direspons oleh otoritas pajak secara cepat dan akurat.
Ketiga, mengembangkan segmentasi wajib pajak secara terukur bergantung kategori perilaku wajib pajak. Langkah ini dibutuhkan mengingat data wajib pajak secara keseluruhan akan menyulitkan otoritas pajak menyederhanakan limpahan data dan informasi yang ada. Hal ini juga akan memungkinkan otoritas pajak mendeteksi perkiraan penerimaan dan risiko shortfall yang terjadi per segmentasi wajib pajak.
Keempat. memprioritaskan pelayanan wajib pajak. Setiap data dan informasi serta keputusan yang dihasilkan dari data analytics hendaknya tidak hanya digunakan sebatas menghasilkan tindakan enforcement bagi wajib pajak.
Layanan, kemudahan, dan perhatian untuk berkolaborasi dengan wajib pajak lebih penting agar terbangun kepatuhan sukarela dalam jangka panjang serta perbaikan hubungan antara otoritas dengan wajib pajak.
Kelima, membangun kolaborasi dan kerja sama dengan wajib pajak. Pada akhirnya, otoritas pajak akan membutuhkan wajib pajak sebagai mitra bersama untuk meminimalkan ketidakpatuhan.
Setiap informasi yang berguna dari wajib pajak tidak akan hanya berguna mencegah ketidakpatuhan, tapi juga memberikan pandangan konstruktif terkait perbaikan aturan yang belum tentu terpikir oleh otoritas pajak. Cara ini dapat digunakan dengan membangun jaringan (networking) dengan wajib pajak yang terpercaya dan bersedia untuk berkolaborasi.
Dengan kelima langkah ini, diharapkan era baru perpajakan dapat menghasilkan kondisi normal yang baru, yaitu ketika otoritas pajak dan wajib pajak dapat mengatasi permasalahan sistem pajak bersama-sama.*