Gubernur BI Perry Warjiyo.
JAKARTA, DDTCNews - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 22-23 Agustus 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) dari 3,5% menjadi 3,75%.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan suku bunga Deposit Facility kini sebesar 3,0% dan suku bunga Lending Facility menjadi 4,5%. Keputusan menaikkan suku bunga acuan diambil BI setelah menahan BI7DRR sebesar 3,5% selama 18 bulan.
"Keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah preemptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi," katanya, Selasa (23/8/2022).
Perry mengatakan kenaikan suku bunga acuan diperlukan untuk mememitigasi risiko inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi dan inflasi volatile food. Selain itu, BI juga ingin memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin kuat.
Dia menyebut BI akan terus memperkuat respons bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan memperkuat pemulihan. Beberapa langkah yang dilakukan yakni di antaranya memperkuat operasi moneter melalui kenaikan struktur suku bunga di pasar uang sesuai dengan kenaikan suku bunga BI7DRR untuk memitigasi risiko kenaikan inflasi inti dan ekspektasi inflasi.
Kemudian, BI akan memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah sebagai bagian untuk pengendalian inflasi dengan intervensi di pasar valas baik melalui transaksi spot, Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), serta pembelian/penjualan SBN di pasar sekunder.
Selain itu, BI juga melakukan pembelian/penjualan SBN di pasar sekunder untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dengan meningkatkan daya tarik imbal hasil investasi portofolio SBN jangka pendek dan mendorong struktur yield SBN jangka panjang lebih landai.
Hal lain yang juga bakal dilakukan yakni memperkuat sinergi antara pusat dan daerah untuk menjaga stabilitas harga dan meningkatkan ketahanan pangan melalui rapat koordinasi Tim Pengendalian Inflasi (TPIP dan TPID), serta akselerasi pelaksanaan gerakan nasional pengendalian inflasi pangan (GNPIP).
Perry menjelaskan perekonomian global berisiko tumbuh lebih rendah dari prakiraan sebelumnya, disertai dengan peningkatan risiko stagflasi dan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan. Pelemahan pertumbuhan ekonomi itu misalnya terjadi di Amerika Serikat (AS) dan China.
Berbagai indikator dini pada Juli 2022 mengindikasikan berlangsungnya perlambatan konsumsi dan kinerja manufaktur di AS, Eropa, dan China.
"Sementara itu, tekanan inflasi global masih tinggi seiring dengan ketegangan geopolitik dan kebijakan proteksionisme yang masih berlangsung, serta perbaikan gangguan rantai pasokan yang masih terbatas," ujarnya.
Sementara dari sisi domestik, Perry menyebut perbaikan ekonomi masih terus berlanjut. Realisasi produk domestik bruto (PDB) kuartal II/2022 yang sebesar 5,44% jauh lebih tinggi dari prakiraan dan capaian kuartal sebelumnya sebesar 5,01%.
Tingginya pertumbuhan ekonomi didorong oleh peningkatan permintaan domestik, terutama konsumsi rumah tangga, serta tetap tingginya kinerja ekspor. Selain itu, perbaikan ekonomi nasional juga tercermin pada peningkatan pertumbuhan mayoritas lapangan usaha, terutama industri pengolahan, transportasi dan pergudangan, serta perdagangan besar dan eceran.
Dengan perkembangan tersebut, BI memprakirakan pertumbuhan ekonomi pada 2022 akan berada pada kisaran 4,5%-5,3%.
Perry menambahkan BI juga melanjutkan pembelian SBN di pasar perdana untuk pendanaan APBN 2022 dalam rangka program pemulihan ekonomi nasional senilai Rp58,32 triliun hingga 22 Agustus 2022.
BI mengumumkan penurunan BI7DRR sebesar 25 bps menjadi 3,5% pada 18 Februari 2021 dan terus mempertahankannya selama 18 bulan. Saat itu, keputusan tersebut diambil sejalan dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah dan stabilitas nilai tukar rupiah yang terjaga, serta sebagai langkah lanjutan untuk mendorong momentum pemulihan ekonomi nasional. (sap)