Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama (kiri) saat menjadi pembicara dalam Sosialisasi PMK-66 Tahun 2023 dan Update Reformasi Perpajakan. Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Madya DJP Dian Anggraeni menjadi moderator dalam acara tersebut, Selasa (18/7/2023). (tangkapan layar Youtube)
JAKARTA, DDTCNews - Perusahaan harus menggunakan rezim baru perlakuan pajak atas natura dan/atau kenikmatan terhadap PPh Pasal 21 karyawan yang selama ini ditanggung.
Dalam Sosialisasi PMK-66 Tahun 2023 dan Update Reformasi Perpajakan, salah satu peserta bertanya mengenai boleh atau tidaknya melakukan koreksi fiskal atas nilai PPh Pasal 21 karyawan. Dengan demikian, nilai yang ditanggung perusahaan bukan merupakan objek pajak bagi karyawan.
Merespons pertanyaan itu, Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan perusahaan harus tetap menggunakan rezim baru sesuai dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), PP 55/2022, dan PMK 66/2023.
“Undang-undang memperbolehkan untuk dibiayakan. Kalau enggak mau ya sudah [dikoreksi fiskal], tapi perusahaan tetap wajib … harus memotong PPh karyawannya. Kalau itu enggak boleh ditawar,” ujar Hestu, Selasa (18/7/2023).
Hestu kembali mengingatkan kembali mengenai rezim baru perlakuan pajak atas natura dan/kenikmatan yang berubah signifikan dibandingkan sebelumnya. “Regulasi sudah berubah. [Dengan] UU HPP dibalik. [Dari] nondeductible-nontaxable menjadi deductible-taxable.”
Seperti diberitakan sebelumnya, Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Madya DJP Dian Anggraeni – yang juga menjadi moderator dalam sosialisasi tersebut—mengatakan dengan adanya rezim baru, fasilitas PPh Pasal 21 ditanggung pemberi kerja menjadi objek pajak bagi karyawannya.
Fasilitas PPh ditanggung pemberi kerja menjadi salah satu bentuk kenikmatan yang merupakan objek pajak. Di sisi lain, pemberi kerja dapat membiayakan fasilitas PPh ditanggung pemberi kerja tersebut. Perlakuan tersebut menjadi sama dengan skema fasilitas PPh ditunjang pemberi kerja.
“Dengan adanya PP 55/2022 dan PMK 66/2023 memang tidak ada lagi dikotomi antara PPh yang ditanggung perusahaan dan ditunjang perusahaan. Mekanismenya jadi sama-sama seperti ditunjang perusahaan,” ujar Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Madya DJP Dian Anggraeni.
Dengan skema ditunjang perusahaan (gross-up), PPh Pasal 21 tersebut merupakan objek pajak penghasilan (taxable income). Bagi perusahaan, tunjangan PPh Pasal 21 tersebut merupakan biaya yang dapat dikurangkan (deductible) dari penghasilan kena pajak.
Pemberi kerja berkewajiban untuk memotong PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan mulai masa pajak Juli 2023.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (4) PMK 66/2023, atas natura dan/atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh pada masa pajak Januari 2023 sampai dengan masa pajak Juni 2023 dikecualikan dari pemotongan oleh pemberi kerja atau pemberi penggantian/imbalan.
Namun, Pasal 24 PMK 66/2023 memuat ketentuan atas natura dan/atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh pada 1 Januari 2023 –30 Juni 2023 yang belum dilakukan pemotongan PPh oleh pemberi kerja atau pemberi penggantian/imbalan.
”Atas PPh yang terutang [terkait natura dan/atau kenikmatan pada 1 Januari 2023 –30 Juni 2023] wajib dihitung dan dibayar sendiri serta dilaporkan oleh penerima dalam Surat Pemberitahuan PPh,” bunyi penggalan Pasal 24 PMK 66/2023. (kaw)