BERITA PAJAK HARI INI

RUU Baru Soal Pajak Disodorkan, Nasib Revisi UU KUP Cs Tak Tentu?

Redaksi DDTCNews
Kamis, 05 September 2019 | 09.17 WIB
RUU Baru Soal Pajak Disodorkan, Nasib Revisi UU KUP Cs Tak Tentu?

Ilustrasi gedung Kemenkeu.

JAKARTA, DDTCNews – Rencana masuknya rancangan undang-undang (RUU) terkait dengan ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian berisiko membuat nasib revisi paket UU pajak semakin tidak menentu. Hal tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional, Kamis (5/9/2019).

Apalagi, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan RUU baru yang menggunakan skema omnibus law ini akan menjadi perhatian penuh pemerintah. Selain mengatur 8 poin utama, RUU itu juga mencakup detail substansi dalam 3 regulasi perpajakan.

“Mengatur semuanya bukan berarti aturan itu harus ribuan halaman. Semuanya akan diatur dalam omnibus law dan dibahas dalam satu paket,” ujarnya.

Ketiga UU tersebut adalah UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), dan UU Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN). Sejauh ini, baru revisi UU PPh yang sudah masuk ke DPR dan belum ada pembahasan lebih lanjut.

Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti rencana pemerintah menetapkan perusahaan digital, seperti Google, Amazaon, Netflix, dan lainnya untuk bisa memungut, menyetor, dan melaporlan PPN. Pemerintah juga akan merevisi ketentuan bentuk usaha tetap (BUT). Keduanya masuk dalam RUU terkait ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian

  • Pengaturan Komprehensif

Suahasil Nazara membantah anggapan konsep RUU terkait ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian menjadi jalan tengah antara kepentingan perpajakan dan investasi atau dalam hal ini adalah dunia usaha.

Omnibus law ini adalah upaya melihat pengaturan itu secara komprehensif,” katanya.

  • Koridor Agenda Reformasi Pajak

Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji memahami rencana pemerintah sebagai bentuk respons cepat untuk mendorong perekonomian domestik melalui instrumen pajak. Namun, ada baiknya pemerintah perlu memperjelas kedudukan maupun hubungan RUU tersebut jika dibandingkan dengan UU pajak lainnya.

“Harapannya, jangan sampai justru menimbulkan ketidakpastian. Adanya UU tersebut seharusnya tetap berada dalam koridor agenda reformasi pajak nasional yang berkomitmen untuk merevisi UU PPh, PPN, dan KUP. Revisi ketiganya jangan sampai dikesampingkan,” jelas Bawono.

  • Aksi Unilateral

Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan konsep significant economic presence sebenarnya merupakan konsep yang menjamin tersedianya hak pemajakan suatu negara untuk memungut PPh bagi entitas digital yang memeroleh penghasilan dari Indonesia tanpa ada kehadiran fisik.

“Jika ini ditempuh maka sejatinya Indonesia mengambil aksi unilateral yang sebagai quick response atas konsensus global dalam memajaki raksasa digital,” katanya.

Sementara untuk PPN, mekanisme menjadikan perusahaan di luar negeri sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) baik untuk diterapkan misalkan dengan threshold tertentu atau berdasarkan volume transaksi dan pendapatan di Indonesia.

“Skema serupa juga sudah mulai diterapkan di beberapa negara, khususnya di Uni Eropa,” imbuhnya.

  • Kenaikan Cukai Rokok

Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Nirwala Dwi Heryanto mengatakan ada beberapa aspek yang menjadi pertimbangan otoritas untuk menaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Pertama, kenaikan produksi rokok yang mencapai 3%.

Kedua, kenaikan produksi rokok memberi dampak buruk dari sisi kesehatan. Apalagi angka prevalensinya naik 1% dari dari 32,8% ke 33,8%. Ketiga, harga transaksi pasar berada di posisi 10,2% diatas harga jual eceran (HJE).

“[Kenaikan tarif CHT] masih dihitung bersama dengan BKF. Nanti juga masih sinkronisasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,” katanya. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.