Ilustrasi. (foto: Pertamina)
JAKARTA, DDTCNews – Polemik mahalnya harga tiket pesawat masih terus bergulir. Pemerintah mulai melakukan kajian terkait pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) avtur yang dinilai turut memberi andil. Topik ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Kamis (14/2/2019).
Tidak tanggung-tanggung, Menteri BUMN Rini Soemarno mengaku telah berkomunikasi langsung dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dia meminta pungutan PPN pada bahan bakar minyak jenis avtur bisa dihapus.
“Harapannya dihapus,” katanya, sambil mengatakan pengenaan PPN menjadi salah satu penyebab tingginya harga avtur. Hal inilah yang pada akhirnya membuat harga tiket angkutan udara mahal.
Sebelumnya, Sri Mulyani Indrawati menyatakan kesediaannya untuk mengevaluasi pungutan PPN sebesar 10% atas avtur. Opsi relaksasi beban pajak pun bisa diambil jika PPN terbukti menjadi penyebab naiknya harga jual avtur dan menurunkan daya saing Indonesia.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti masalah kontribusi konstruksi dan real estate ke penerimaan pajak yang minim. Sepanjang tahun lalu, sektor tersebut memberikan kontribusi 13% pada produk domestik bruto (PDB), tapi hanya 6,9% pada penerimaan pajak.
Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak (DJP) Yon Arsal menjelaskan untuk melihat hubungan kontribusi untuk PDB dan penerimaan pajak memang tidak bisa langsung disandingkan. Setiap sektor, sambungnya, memiliki sistem, kebijakan, dan konstruksi wajib pajak terdaftar yang berbeda-beda.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Mengambil contoh Singapura, Rini Soemarno harga murni avtur Indonesia dengan negara tersebut tidak jauh berbeda. Hanya saja, ada perbedaan dari sisi kebijakan pengenaan PPN. Di Singapura, katanya, ada pengecualian pengenaan PPN bagi bahan bakar pesawat terbang di Singapura.
"Kami melihat [harga avtur] tidak terlalu beda jauh kok sama Singapura, tapi perbedaannya pajak. Di sini kena PPN, di mereka tidak kena,” terangnya, sambal mengungkapkan belum ada keputusan final dari internal pemerintah.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama meminta agar semua pihak melihat jernih fenomena mahalnya harga tiket pesawat. Menurutnya, PPN bukan menjadi biang kerok tingginya harga avtur yang akhirnya mengerek harga tiket angkutan udara. Apalagi, tidak ada kebijakan pajak baru yang dikenakan untuk sektor penerbangan akhir-akhir ini.
“Selama ini avtur sudah terutang PPN 10%, jadi kalau dibilang pajak sebagai penyebab tingginya harga avtur saat ini, itu rasanya tidak tepat,” katanya.
Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan PPN avtur masih akan dikaji mendalam oleh Kementerian Keuangan. “PPN kan prinsipnya kalau untuk ekspor itu dia boleh enggak bayar atau boleh direstitusi. Makanya, yang dalam negeri merasa dikenakan, itu yang mau dikaji bagaimana sebaiknya.”
Yon Arsal mengatakan minimnya kontribusi sektor konstruksi ke penerimaan pajak – meskipun tinggi ke PDB – dikarenakan kebijakan pengenaan tarif final. Tarif final pada sektor ini selama ini sekitar 2%. Terkait alasan pengenaan tarif final itu, menurutnya, menjadi kewenangan Badan Kebijakan Fiskal.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama memaparkan pengenaan skema final ke sektor tertentu memiliki dua sisi. Pada satu sisi, ada kemudahan administrasi. Di sisi lain, ada risiko distorsi pada potensi penerimaan pajak.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan ukuran PDB dengan penerimaan pajak memang tidak selalu berbanding lurus. Hal ini dikarenakan setiap sektor memiliki karakteristik pajak yang berbeda, baik dari sisi kebijakan (policy gap) maupun dari sisi administrasi (administrative gap).
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) meminta adanya relaksasi investasi asing di sektor jasa, terutama di perguruan tinggi dan rumah sakit. Hal ini dinilai ampuh untuk menarik investasi dan menambah devisa negara karena selama ini masyarakat memilih jasa tersebut di negara lain.
Aturan teknis tentang kebijakan penghapusan kewajiban dokumen laporan surveyor untuk komoditas crude palm oil (CPO) dan gas dalam pipa ditarget terbit pada pekan ini. Saat ini, pemerintah tengah melakukan harmonisasi regulasi. (kaw)