KONSULTASI UU HPP

Bagaimana Ketentuan Rasio Utang dan Modal yang Diatur dalam UU HPP?

Redaksi DDTCNews
Selasa, 15 Maret 2022 | 15.50 WIB
ddtc-loaderBagaimana Ketentuan Rasio Utang dan Modal yang Diatur dalam UU HPP?
DDTC Fiscal Research & Advisory.

Pertanyaan:
Salam kenal, saya Michael dari Manado. Dalam Pasal 2 PMK 169/2015 diatur bahwa untuk keperluan penghitungan pajak penghasilan, rasio antara utang dan modal ditetapkan paling tinggi sebesar 4:1. Saya ingin menanyakan dengan berlakunya Undang Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), apakah ketentuan tersebut masih berlaku?

Jawaban:
Bapak Michael, terima kasih atas pertanyaan yang sudah disampaikan. Sebelum berlakunya UU HPP, rasio utang terhadap modal ditetapkan maksimal 4:1. Ketentuan ini ditetapkan sebagaimana bunyi Pasal 2 PMK 169/2015 sebagai berikut:

“Besarnya perbandingan antara utang dan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) ditetapkan paling tinggi sebesar empat dibanding satu (4: 1)

Ketentuan ini mengacu pada Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) s.t.d.t.d UU Cipta Kerja yang berbunyi:

Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-Undang ini

Namun, dengan berlakunya UU HPP, Pasal 18 ayat (1) UU PPh diubah menjadi:

Menteri keuangan berwenang mengatur batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-Undang ini.”

Perlu dicatat, dalam Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU PPh s.t.d.t.d UU HPP, penentuan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan tersebut dapat menggunakan metode yang lazim diterapkan di dunia internasional:

“…. misalnya melalui metode penentuan tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio), melalui persentase tertentu dari biaya pinjaman dibandingkan dengan pendapatan usaha sebelum dikurangi biaya pinjaman, pajak, depresiasi dan amortisasi (earnings before interest, taxes, depreciation, and amortization) atau melalui metode lainnya.”

Dari perubahan di atas, dapat dipahami terdapat perubahan pendekatan dalam membatasi besaran jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan  untuk keperluan penghitungan pajak. Jika dalam UU PPh sebelumnya upaya untuk membatasi biaya pinjaman yang dapat dibebankan adalah dikunci dengan metode perbandingan antara besaran utang terhadap modal, melalui UU HPP pemerintah membuka opsi lainnya.

Salah satunya melalui metode persentase tertentu dari biaya pinjaman dibandingkan dengan EBITDA. Metode ini relatif banyak diimplementasikan di negara lain dan menjadi salah satu rekomendasi dari proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).

Lantas, bagaimana ketentuan pembatasan biaya bunga tersebut diatur?

Dalam Pasal 32C UU PPh s.t.d.t.d UU HPP, ketentuan lebih lanjut terkait pembatasan biaya pinjaman tersebut akan diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah. Dengan demikian, terlepas dari metode yang akan digunakan, ada kemungkinan ketentuan teknis mengenai rasio utang terhadap modal yang saat ini diatur melalui peraturan menteri keuangan akan direvisi. Oleh karena itu, kita tunggu saja ketentuan baru tersebut.

Demikian jawaban yang dapat disampaikan. Semoga dapat bermanfaat.

Sebagai informasi, artikel Konsultasi UU HPP akan hadir setiap Selasa guna menjawab pertanyaan terkait UU HPP beserta peraturan turunannya yang diajukan ke email [email protected]. Bagi Anda yang ingin mengajukan pertanyaan, silakan langsung mengirimkannya ke alamat email tersebut.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.