DEWASA ini inovasi bisnis di bidang keuangan atau disebut teknologi finansial (financial technology/fintech) sudah sangat berkembang. Secara global, investasi dalam bisnis teknologi finansial ini meningkat setiap tahunnya dan tidak sedikit startup teknologi finansial mendapat pendanaan dari investor asing maupun dalam negeri.
Di Indonesia, perusahaan teknologi finansial yang beroperasi sudah berjumlah ratusan dan terbagi ke dalam 4 kategori, yaitu market provisioning (CekAja dan Cermati), deposit, lending, and capital (UangTeman dan Investree), investment and risk (Bareksa dan Stockbit), dan payment, clearing, and settlement (Midtrans dan Doku).
Hasil riset Asosiasi Fintech Indonesia menyatakan bahwa perusahaan fintech di Indonesia sekarang ini masih didominasi oleh perusahaan jenis pembayaran sebesar 39%, 10% jenis aggregator, 27% jenis pembiayaan, 7% jenis perencanaan keuangan untuk personal maupun perusahaan, 7% jenis crowdfunding, dan 11% jenis lainnya.
Industri finansial berbasis teknologi ini memiliki kelebihan dalam hal inklusivitas perbankan dengan kemampuan untuk menjangkau masyarakat. Hal ini merupakan hal yang bersifat positif bagi perekonomian. Misalnya, kemampuan salah satu kategori teknologi finansial yaitu pinjam meminjam atau biasa disebut peer to peer lending (P2P Lending) akan membantu masyarakat khususnya usaha mikro, kecil dan Menengah (UMKM).
Perlakuan pajak yang diberlakukan untuk industri fintech secara umum sama dengan bisnis usaha, yakni dikenakan tarif PPh Badan sebesar 25%, jika peredaran brutonya lebih dari Rp4,8 miliar. Dukungan terhadap startup/ pemula yang sedang merintis bisnisnya dalam industri fintech ini belum terdapat perlakuan perpajakan khusus.
Namun, bisnis fintech ini masih dapat menikmati Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 tahun 2013 dan PMK Nomor 197/PMK,03/2013. Dalam PP-46 tersebut dijelaskan bahwa pengenaan pajak bagi yang memperoleh penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak dikenakan tarif PPh sebesar 1% yang bersifat final.
Sedangkan dalam PMK-197 dijelaskan bahwa pengusaha kecil yaitu pengusaha yang memperoleh peredaran brutonya dalam rangka kegiatan usahanya tidak lebih dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun buku tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) sehingga tidak dipungut PPN atas penyerahan jasanya.
Karena belum adanya ketentuan yang spesifik tentang fintech ini, maka dapat dikenakan berbagai macam jenis pajak, berupa pengenaan pemungutan/ pemotongan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia. Pertama, jasa pembayaran akan dikenakan PPh Pasal 23 atas jasa sebesar 2% dan PPN atas jasa sebesar 10%.
Kedua, aplikasi dan software keuangan akan dikenakan PPN atas jasa sebesar 10%. Ketiga, leveraging transaction data dan penyedian data lainya untuk penilaian (appraisal) kredit akan dikenakan PPN atas jasa sebesar 10%. Keempat, jasa manajemen investasi akan dikenakan PPh Pasal 23 atas jasa sebesar 2% dan PPN atas jasa sebesar 10%.
Dan kelima, terkait deposits, lending, insurance dan capital raising memiliki perlakuan perpajakan yang berbeda-beda. Deposit akan dikenakan PPh Pasal 23 atas bunga sebesar 15%, pinjaman (lending) akan dikenakan PPh Pasal 23 atas bunga sebesar 15% serta capital raising akan dikenakan PPh Pasal 23 atas bunga atau dividen sebesar 15% dan PPh atas capital gain.
Meski dikenai bermacam-macam pajak, pemerintah juga memberi insentif pajak untuk startup industri fintech yaitu pembebasan pajak atas dividen dan tarif pajak sebesar 0,1% dari penjualan kotor investasi modal dari modal ventura counterparties yang diatur dalam KMK Nomor 250/KMK.04/1995 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penyertaan Modal Perusahaan Ventura.
Akan tetapi, secara keseluruhan pemerintah masih belum memberikan insentif yang cukup untuk memberikan teknologi finansial ini. Jika teknologi finansial ini mampu membantu inklusivitas bagi masyarakat yang belum tersentuh perbankan dan mendorong pemodalan UMKM, maka perlu segera diberikan ketentuan khsusus.
Dalam hal ini, Ditjen Pajak Kementerian Keuangan harus segera menerbitkan aturan-aturan yang mendukung hal tersebut.*