Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (tangkapan layar Youtube)
JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan korupsi memiliki beberapa kesamaan dengan virus Corona. Keduanya dinilai sama-sama mudah menular dan merusak.
Sri Mulyani mengatakan isu korupsi masih menjadi tantangan berat bagi pemerintah saat ini. Apalagi, pada masa pandemi Covid-19, semua pejabat negara sedang menghadapi ujian integritas untuk menjaga kepercayaan publik dengan tidak korupsi.
"Satu virus korupsi, satu virus yang mengkompromikan integritas. Sama seperti pandemi, dia bisa menular dan bisa membahayakan institusi," katanya dalam peringatan Hari Antikorupsi di Kemenkeu, Kamis (10/12/2020).
Sri Mulyani mengatakan pandemi Covid-19 mengharuskan pemerintah merumuskan ulang kebijakan keuangan negara dengan cepat demi menangani masalah kesehatan, membantu masyarakat terdampak, dan mendukung dunia usaha.
Namun, kebijakan yang diambil tergesa-gesa itu juga bisa mendatangkan ancaman baru, yakni korupsi. Hal ini bisa terjadi ketika orang-orang menggunakan kelemahan atau ketidaksempurnaan sistem untuk kepentingan pribadi.
Menurutnya, moral hazard semacam itu memang bisa terjadi di mana saja. Oleh karena itu, ketika mendesain program pemulihan ekonomi nasional, pemerintah bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, Polri, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta seluruh sistem pengendali internal di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Sri Mulyani menilai pejabat negara saat ini tengah menghadapi ujian integritas dalam memanfaatkan uang untuk penanganan Covid-19. Menurutnya, semua lapisan pemerintah memiliki tanggung jawab yang sama untuk mencegah terjadinya korupsi, bukan hanya para pimpinan.
Bagi pejabat Kemenkeu, Sri Mulyani menilai tanggung jawab mencegah korupsi tidak hanya ada pada lingkungan kerjanya, Â tapi juga kebijakan dan regulasi agar bisa memperbaiki pemanfaatan uang negara hingga ke level daerah. Hal itu menyangkut ketentuan penyaluran dana transfer ke daerah dan dana desa yang memiliki porsi sepertiga APBN setiap tahun.
"Buat mereka [masyarakat], pemerintah itu satu, dan kami melihat dinas di daerah mendapatkan feedback yang masih tidak baik atas pelayanannya kepada masyarakat. Ini tertangkap dalam survei Transparency International," ujarnya.
Merujuk data Transparency International, Sri Mulyani menyebut indeks persepsi korupsi Indonesia pada 2019 ada di posisi 85, sudah lebih baik dibandingkan dengan periode 2010 yang ada di peringkat 110. Namun, posisi itu masih jauh tertinggal dari Singapura di posisi 4, Brunei di peringkat 35, dan Malaysia di posisi 51.
Sementara itu, Global Corruption Barometer Asia mengadakan survei sepanjang 2019 hingga Maret 2020 yang menunjukkan 30% pengguna layanan publik masih harus bayar sogokan. Walaupun angkanya masih lebih baik dari India yang sebesar 39% atau Kamboja 37%, Sri Mulyani meminta jajarannya tidak cepat senang dengan survei tersebut.
"Itu adalah suatu indikator yang perlu dilihat lagi, bagaimana strategi kita untuk memperbaiki birokrasi," imbuh Sri Mulyani. (kaw)