BERITA PAJAK HARI INI

Soal Nasib Revisi UU Bea Meterai, Ini Kata DPR

Redaksi DDTCNews
Selasa, 29 Oktober 2019 | 08.46 WIB
Soal Nasib Revisi UU Bea Meterai, Ini Kata DPR

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Setelah batal disahkan pada akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019, revisi Undang-Undang (UU) Bea Meterai ditargetkan selesai pada November 2019. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Selasa (29/10/2019).

Anggota DPR periode 2019-2024 dari Fraksi Gerindra Soepriyanto mengatakan sejauh ini, DPR dan pemerintah tinggal merampungkan pembahasan sekitar 20% dari total pasal utama. Salah satu ketentuan yang masih harus dibahas yaitu terkait sanksi ketidakpatuhan hingga ketentuan peralihan.

“Ini tinggal dibahas dengan Komisi XI DPR. Sekitar 80% pasal yang utama kami sudah rampungkan,” kata pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi XI DPR periode sebelumnya ini.

Seperti diketahui, RUU Bea Meterai yang diusulkan Kemenkeu berisikan 6 perubahan mendasar. Pertama, perubahan besaran tarif bea meterai. Kedua, penentuan batasan pengenaan dokumen yang wajib dikenai bea meterai.

Ketiga, perluasan definisi dokumen objek bea meterai. Keempat, terkait dengan pihak yang terutang bea meterai dan pihak yang ditunjuk sebagai pemungut bea meterai. Kelima, penyempurnaan administrasi pemungutan bea meterai.

Keenam, pemberian fasilitas bea meterai. Nantinya tidak hanya dokumen fisik yang dikenai bea meterai, tetapi juga dokumen digital. Menurut Soepriyanto, revisi UU Bea Meterai ditargetkan bisa diundangkan pada November 2019.

Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti masalah tantangan dan langkah alternative dalam mendesain keringanan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi (OP). Pada dasarnya, skema keringanan PPh OP terdiri atas 3 jenis, yaitu pembebasan atas jenis penghasilan tertentu (exemption), pengurangan atas penghasilan neto (deduction/allowance), serta metode kredit pajak yang bisa mengurangi jumlah pajak terutang.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Tunggu DPR

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan pemerintah dan DPR telah sepakat untuk melanjutkan pembahasan RUU pada periode sekarang. Komposisi anggota Komisi XI DPR baru akan ditentukan pada pekan ini.

“Kami menunggu DPR untuk menjadwalkan kembali pembahasannya,” tutur Hestu.

  • Alternatif Desain Keringanan PPh OP

Manager of DDTC Research and Training Khisi Armaya Dhora dalam tulisannya berjudul ‘Meninjau Skema Keringanan PPh OP di Indonesia’ mengatakan diskusi mengenai keringanan PPh OP di Indonesia sering lebih dititikberatkan pada nilai penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

Padahal, menurutnya, masih ada alternatif desain keringanan pajak lain. Pertama, mengubah PTKP (standard deduction) menjadi itemized deduction sebagaimana yang dilakukan oleh Singapura dan Malaysia. Kunci dalam itemized deduction tidak pada nilai, tetapi jenis pengeluarannya.

Kedua, mengubah skema allowance menjadi kredit (non-refundable tax credit), seperti yang dilakukan di Amerika Serikat dan Kanada. Melalui skema ini, pengurangan dilakukan di tingkat pajak yang terutang. Kedua opsi ini dirasa lebih menjamin progresivitas sistem pajak dan mencerminkan ability to pay. Keduanya juga dinilai lebih menarik bagi WP sehingga berpotensi mengerek kepatuhan.

  • Kendaraan Listrik

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana melalukan pembebasan bea balik nama kendaraan bermotor (BBN-KB) kendaran listrik, baik roda dua maupun roda empat. Pemprov DKI Jakarta ingin agar pengunaan kendaraan listrik lebih banyak sehingga kualitas udara menjadi lebih baik.

“Kami mendorong agar kendaraan bermotor berbasis listrik lebih banyak digunakan. Langkah pemprov kami akan membebaskan pajak balik nama untuk kendaraan bermotor berbasis listrik baik roda dua maupun empat,” ujar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.