MASALAH asimetri informasi pada ranah perpajakan pada akhirnya dapat menyebabkan perbedaan persepsi antara wajib pajak dan fiskus. Perbedaan mengenai jumlah pajak yang harus dibayar wajib pajak seringkali berujung pada sengketa pajak di pengadilan.
Terdapat beberapa alasan mengapa wajib pajak dan pemerintah kerap berdebat dan memiliki persepsi yang berbeda. Hal-hal pemicu tersebut antara lain sebagai berikut:
Pertama, perbedaan tujuan antara wajib pajak dan pemerintah. Wajib pajak tentunya ingin mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dan membayar pajak seminimal mungkin. Sedangkan pemerintah justru ingin memungut pajak sebanyak-banyaknya untuk memenuhi penerimaan negara.
Kedua, sistem self assessment. Sistem self assessment yang dianut oleh negara memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung/memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang. Sistem ini memerlukan pengawasan yang kuat dari pihak otoritas pajak untuk memastikan jumlah pajak yang dibayar telah sesuai dengan aturan.
Ketiga, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Good Governance yang belum terwujud secara tidak langsung mempengaruhi kepatuhan rakyat untuk membayar pajak. Sistem pemerintahan yang masih dipenuhi oleh praktik KKN akan menyurutkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Dan hasilnya, rakyat merasa dirugikan dalam membayar pajak karna pada akhirnya pajak tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik dan justru masuk ke kantong pribadi para pejabat yang tidak bermartabat.
Keempat, faktor eksternal berupa tidak ditegakkannya hukum terhadap pihak-pihak yang tidak patuh membayar pajak. Lingkungan ini justru akan mendorong seseorang untuk tidak patuh, karena perlakuan yang sama diberikan kepada mereka yang tidak patuh maupun patuh. Mereka tidak memperoleh nilai tambah dan manfaaat dari kepatuhan yang telah mereka upayakan.
Kelima, kesadaran pajak. Kesadaran pajak pun masih menjadi PR besar bagi Ditjen Pajak. Berbagai upaya dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran pajak di lingkungan masyarakat. Program-program inovatif saat ini mulai bermunculan, seperti Pajak Bertutur, Kemenkeu Mengajar, edukasi pajak mulai dari Sekolah Dasar, hingga berbagai macam sosialisasi dilakukan hanya semata-mata untuk memunculkan kesadaran pajak.
Keenam, support system. Konsultan pajak juga turut ambil bagian dalam mewujudkan kepatuhan pajak di lingkungan masyarakat. Dukungan yang positif dari mitra pemerintah yaitu konsultan pajak tentunya akan meminimalkan gap antara pemerintah dan pembayar pajak.
Penyelewengan-penyelewangan atas pajak dapat dihindarkan dan pemerintah akan terbantu dalam meningkatkan tax ratio-nya. Rasanya saat ini pemerintah belum sanggup untuk melakukan pekerjaan ini sendirian, bantuan dari mitra seperti konsultan pajak akan sangat bermanfaat bagi pemerintah dalam mengumpulkan pundi-pundi uang untuk membangun negeri.
Ketujuh, rendahnya pengetahuan terkait perpajakan. Tak sedikit rakyat yang masih awam tentang pajak. Kurangnya pengetahuan dan ketrampilan terkait perpajakan juga memicu tingkat rasio pajak yang masih rendah di Indonesia. Terlebih lagi jika hal ini didukung dengan sistem yang begitu rumit (complicated). Akan sulit rasanya bagi masyarakat awam yang ingin patuh namun terbentur dengan sistem yang sulit dipahami dan penuh dengan ambiguitas.
Kedelapan, kecanggihan teknologi. Pada era digital saat ini, rakyat mulai terbiasa dengan hal-hal yang serba praktis dan cepat. Namun, tak semua rakyat bisa mengikuti perkembangan teknologi ini. Wilayah geografis Indonesia yang begitu luas dan pembangunan yang masih belum merata memunculkan tantangan baru bagi Ditjen Pajak.
Wajib pajak di daerah tak sedikit yang masih belum mengerti bagaimana membuat e-faktur dan mengisi e-filing. Mereka tetap harus pergi ke kantor pajak untuk mendapatkan bimbingan dan arahan. Bukan hanya itu saja, tidak tersedianya jaringan internet yang memadai juga makin menghambat penerapan teknologi baru ini di seluruh antero nusantara.
Kesembilan, penegakan hukum yang masih lemah. Minimnya informasi yang tersedia dan sudah matang menimbulkan penegakan hukum yang lemah. Kurangnya informasi yang kredibel, akurat dan dapat diandalkan membuat fiskus kesulitan untuk melakukan penegakan hukum secara masif pada berbagai lapisan kalangan dan transaksi. Belum terhubungnya sistem secara komprehensif mengakibatkan data informasi yang begitu besar menjadi sulit untuk ditelusuri secara cepat dan tepat.
Kesepuluh, celah dalam perpajakan Indonesia. Masih banyak grey area yang dapat ditemukan di aturan perpajakan Indonesia. Grey area ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan untuk melakukan penghindaran pajak. Perlu pembenahan pada aturan perpajakan Indonesia agar celah-celah itu bisa semakin tertutup.
Lalu solusi apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi asimetri informasi, rendahnya kepatuhan pajak, dan berbagai problema ini?
Ditjen Pajak tengah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah ini. Upaya-upaya yang saat ini dilakukan yaitu penguatan basis data perpajakan melalui tax amnesty, kerja sama dengan kementerian/lembaga lainnya, dan pengesahan Perpu No. 1 Tahun 2017 mengenai Aturan Keterbukaan Informasi Rekening Bank untuk Pajak menjadi Undang-Undang.
Selain itu, pemerintah juga harus memerangi KKN dalam tubuh pemerintah untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat, meningkatkan kesadaran pajak di kalangan masyarakat dengan melakukan berbagai upaya inovatif, serta membangun kanal hubungan interaktif dengan masyarakat melalui berbagai macam media sosial.
Dari segi pelayanan, pemerintah juga perlu mengembangkan Single Identity Number yaitu Kartin1, digitalisasi perpajakan dengan e-Filing, e-Billing dan e-Faktur. Upaya ini tentu perlu dievaluasi dan dilakukan penyempurnaan. Pengkajian atas dampak dari usaha yang dilakukan Ditjen Pajak harus dilakukan secara berkesinambungan guna membangun sistem perpajakan Indonesia yang lebih kuat, modern dan komprehensif.*