Specialist of Transfer Pricing Dwina Karina Sumeler berfoto di Qutub Minar, New Delhi India. Sebelum mengikuti konferensi pajak internasional di Mumbai, 11 delegasi DDTC berkesempatan mengunjungi beberapa wilayah di India.
PROPOSAL Global Anti-Base Erosion (GloBE) di bawah pilar kedua terkait pemajakan ekonomi digital yang diusulkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memunculkan pertanyaan terkait kedaulatan negara. Hal ini lantaran ada pengenalan pajak minimum global dalam proposal tersebut.
Diskusi mengenai hal tersebut menjadi salah satu materi yang dikupas dalam konferensi pajak internasional yang diselenggarakan di Mumbai, India pada 5—7 Desember 2019. Penulis, Specialist of Transfer Pricing Dwina Karina Sumeler, menjadi salah satu dari 11 delegasi DDTC yang mengikuti konferensi tersebut.
Diskusi panel yang dipimpin oleh Belema Obuoforibu, Direktur Divisi Knowledge Centre International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD) dalam konferensi pada Kamis (5/12/2019), agaknya membawa beberapa perspektif baru untuk pengkajian dan penerapan pilar kedua tersebut.
Pengenaan tarif pajak minimum yang berlaku secara global direncanakan akan menjadi salah satu hak pemajakan baru terkait dengan Aksi ke-5 BEPS OECD/G20 dan menjawab isu-isu BEPS lain yang belum terselesaikan.
Ada sejumlah aspek yang dibahas dalam panel diskusi tersebut, mulai dari teori hingga teknis penerapan pilar kedua ke depannya. Namun, yang menarik adalah bagaimana pandangan negara berkembang terkait diaturnya tarif pajak minimum ini. Diskusi ini memberikan perspektif baru terkait hubungan pilar kedua dengan isu kedaulatan negara.
Rasmi Ranjan Das, Joint Secretary dari Central Board of Direct Taxes (CBDT) India mengatakan pada dasarnya pilar kedua yang disodorkan OECD tidak memaksa yurisdiksi manapun untuk mengikutinya. Setiap yurisdiksi, sambungnya, tetap boleh mengatur tarif pajaknya sendiri. Pengenaan tarif minimum, menurutnya, berkorelasi positif dengan kedaulatan setiap yurisdiksi.
“Tarif minimum ini memberikan kekuatan bagi negara untuk menjalankan kedaulatannya. Dalam konteks negosiasi dengan perusahaan-perusahaan multinasional, negara tidak harus terpaksa membuatkan kebijakan khusus demi investasi dari perusahaan multinasional,” kelasnya.
Dengan adanya tarif minimum global, setiap yurisdiksi memang tidak bisa lagi membuat berbagai insentif pajak yang cukup besar untuk menarik investasi di negara-negara berkembang. Meskipun secara sekilas bertentangan dengan konsep kedaulatan negara yang mencakup hak untuk mengatur diri sendiri, profesor hukum pajak dari Afrika Selatan Annet Oguttu justru melihat sisi lain dari insentif.
Dia justru berpendapat insentif pajak yang diberikan pada akhirnya mengurangi penerimaan pajak dan menciptakan rezim kompetisi pajak yang tidak sehat. Lantas, dia mempertanyakan apa sebenarnya keuntungan dari pemberian insentif pajak bagi suatu yurisdiksi.
“Dengan diaturnya tarif pajak justru kompetisi pajak yang membahayakan negara-negara berkembang dapat dihindarkan. Ini bisa terjadi selama ada koordinasi dan kerja sama antar negara,” jelasnya.
Oguttu mengatakan perlu ada suatu organisasi supranasional untuk mengawasi implementasi insentif-insentif pajak sehingga negara-negara berkembang dapat menjaga kedaulatan pajaknya dan mengatasi masalah race to the bottom.
Dalam diskusi tersebut, Oguttu juga sempat menyatakan bahwa Inclusive Framework OECD bertujuan untuk memberikan solusi bagi negara-negara berkembang. Dengan demikian, OECD harus juga mempertimbangkan fakta minimnya pemahaman pajak internasional di beberapa negara berkembang, khususnya yang lebih tertinggal seperti di daerah Afrika.
Adapun untuk langkah selanjutnya, OECD akan mengadakan public consultation meeting untuk membahas penggunaan akun finansial, isu blending, carve-outs dan threshold. Sementara itu pembahasan lebih lanjut akan diadakan pada Januari 2020.*