Made Yogi Dwiyana Utama,
MASYARAKAT yang adil, makmur, dan sejahtera merupakan cita-cita bangsa Indonesia. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah dituntut untuk menciptakan iklim ekonomi yang kondusif dan pembangunan yang berkelanjutan.
Di sisi lain, pemerintah dituntut untuk menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi nasional serta mempercepat pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. Hal itulah yang melatarbelakangi terbitnya Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
UU HPP juga merupakan jawaban atas rendahnya tingkat penerimaan pajak yang diukur dengan tax ratio. Kementerian Keuangan mencatat tax ratio Indonesia saat ini berada pada angka 8,4%. Angka ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan tax ratio beberapa negara Asean.
Peningkatan tax ratio diharapkan dapat terwujud melalui perluasan basis pajak yang diatur dalam UU HPP, terutama dalam pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN). Peningkatan tax ratio akan memperbesar kapasitas fiskal nasional yang pada akhirnya dapat mengakselerasi pembangunan.
UU HPP tidak hanya hadir sebagai usaha untuk meningkatkan penerimaan negara melalui penambahan basis pajak, tetapi juga untuk memberikan keadilan dalam pemungutan pajak. Menurut Musgrave, pemungutan pajak dikatakan adil apabila setiap orang membayar pajak sesuai kemampuannya.
Jadi, orang dengan kemampuan finansial yang sama akan membayar pajak dengan besaran relatif sama. Orang dengan kemampuan finansial yang lebih rendah tentunya akan membayar pajak dengan jumlah juga relatif lebih rendah.
Aspek keadilan dalam pemungutan pajak diatur dalam beberapa substansi UU HPP, terutama klaster pajak penghasilan (PPh) yang berlaku mulai 2022. Pemerintah memberikan batasan pengenaan pajak bagi wajib pajak orang pribadi dengan peredaran bruto (omzet) sampai dengan Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak.
Wajib pajak tersebut selama ini sering disebut sebagai wajib pajak orang pribadi UMKM. Sesuai dengan ketentuan pada Klaster PPh dalam UU HPP, atas bagian omzet sampai dengan Rp500 juta yang diperoleh wajib pajak orang pribadi UMKM dikecualikan dari pengenaan PPh.
Sebagaimana kita ketahui, selama ini wajib pajak UMKM dikenakan PPh final dengan tarif 0,5% dari omzet sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018. Ketentuan batasan omzet yang dikenakan PPh akan menurunkan beban pajak bagi wajib pajak orang pribadi UMKM tersebut.
Penurunan beban pajak tersebut akan dirasakan baik untuk wajib pajak orang pribadi UMKM yang memiliki omzet kurang dari Rp500 juta maupun yang memiliki omzet lebih dari Rp500 juta dalam satu tahun pajak.
Untuk wajib pajak yang memiliki omzet kurang dari Rp500 juta, ketentuan batasan pengenaan PPh tersebut akan menihilkan beban pajak yang ditanggung. Misalnya, wajib orang pribadi UMKM memiliki omzet Rp40 juta sebulan atau Rp480 juta dalam setahun.
Sebelum berlakunya UU HPP, beban pajak yang akan ditanggung wajib pajak tersebut adalah senilai Rp200.000 dalam sebulan atau Rp2,4 juta dalam setahun. Dengan berlakunya UU HPP, beban pajak yang ditanggung akan menjadi Rp0 atau nihil karena peredaran bruto dalam satu tahun tidak melebihi batasan Rp500 juta.
Untuk wajib pajak yang memiliki omzet lebih dari Rp500 juta, ketentuan batasan pengenaan PPh tersebut akan mengurangi beban pajak yang ditanggung. Misalnya wajib orang pribadi UMKM memiliki omzet Rp100 juta sebulan atau Rp1,2 miliar dalam setahun.
Sebelum berlakunya UU HPP, beban pajak senilai Rp500.000 dalam sebulan atau Rp6 juta dalam setahun. Dengan berlakunya UU HPP, beban pajak menjadi Rp0 atau nihil atas bagian omzet kumulatif sampai dengan Rp500 juta dan senilai Rp3,5 juta atas omzet Rp700 juta yang diperoleh dalam setahun. Dengan demikian, wajib pajak orang pribadi UMKM mendapat efisiensi beban pajak sebesar Rp2,5 juta.
Sebelum berlakunya UU HPP, batasan pengenaan pajak hanya diberikan kepada wajib pajak orang pribadi yang dikenakan PPh dengan tarif progresif Pasal 17 UU PPh (tarif umum). Batasan itu berupa penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Namun, dengan berlakunya UU HPP, batasan pengenaan pajak juga diberikan kepada wajib pajak orang pribadi yang dikenakan tarif PPh final PP No. 23 Tahun 2018. Hal ini mencerminkan keadilan terhadap seluruh wajib pajak orang pribadi, baik yang dikenakan tarif umum maupun tarif final, dalam bentuk batasan atau pengecualian pengenaan pajak.
ASPEK keadilan juga tercermin pada penyesuaian dan penambahan lapisan tarif PPh wajib pajak orang pribadi. Sebelum berlakunya UU HPP, tarif umum PPh bagi wajib pajak orang pribadi dibagi menjadi 4 lapisan.
Keempatnya adalah 5% untuk penghasilan kena pajak Rp0 – Rp50 juta, 15% untuk penghasilan kena pajak lebih dari Rp50 juta – Rp250 juta, 25% untuk penghasilan kena pajak lebih dari Rp250 juta – Rp500 juta, dan 30% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp500 juta. Dengan berlakunya UU HPP, terjadi penambahan dan perubahan lapisan tarif.
Lapisan tarif pertama, yaitu sebesar 5%, dikenakan untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp60 juta dari yang sebelumnya Rp50.000.000,00. Dengan demikian, lapisan tarif 15% dikenakan atas penghasilan kena pajak lebih dari Rp60 juta – Rp250 juta.
Kemudian, lapisan tarif 30% dikenakan atas penghasilan kena pajak di atas Rp500 juta – Rp5 miliar. Melalui UU HPP, pemerintah menetapkan lapisan tarif baru, yaitu 35%, untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar.
Penyesuaian dan penambahan lapisan tarif PPh untuk orang pribadi pada UU HPP akan meningkatkan aspek keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. Hal ini tercermin pada efisiensi atau pengurangan beban pajak yang diterima oleh seluruh wajib pajak orang pribadi yang dikenakan tarif umum.
Hal tersebut dikarenakan adanya perluasan lapisan tarif 5% untuk penghasilan kena pajak hingga Rp60 juta. Di sisi lain, terdapat penambahan beban pajak untuk orang pribadi berpenghasilan tinggi karena penerapan lapisan tarif baru sebesar 35%.
UU HPP juga memberikan pengaturan terhadap penghasilan yang diterima wajib pajak dalam bentuk natura/ kenikmatan (fringe benefit). Sebelum berlakunya UU HPP, penghasilan dalam bentuk natura/ kenikmatan tidak dikategorikan sebagai objek PPh.
Hal ini mengakibatkan penerima penghasilan dalam bentu natura/ kenikmatan mendapat perlakuan PPh yang berbeda dengan mereka yang memperoleh penghasilannya dalam bentuk uang. Dengan perubahan UU PPh melalui UU HPP, penghasilan dalam bentuk natura/ kenikmatan kini dikategorikan sebagai objek PPh, sama seperti penghasilan yang diterima dalam bentuk uang.
Pengaturan tersebut memberikan keadilan bagi seluruh penerima penghasilan. Setiap wajib pajak akan dikenakan pajak secara proporsional terhadap penghasilan yang mereka terima, terlepas dari bentuk penghasilan tersebut.
Jadi, tidak ada lagi pembedaan perlakuan perpajakan karena bentuk penghasilan yang mereka terima. Namun, ada pengecualian untuk beberapa hal yang diatur lebih lanjut seperti makanan dan minuman yang disediakan oleh pemberi kerja, pakaian atau seragam khusus yang disediakan karena sifat pekerjaannya yang mengharuskan, dan sebagainya.
Berlakunya ketentuan PPh dalam UU HPP menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk menjadi negara yang maju dan sejahtera. UU HPP menjadi harapan untuk mewujudkan perekonomian nasional yang lebih tangguh dan kompetitif.
UU HPP juga diharapkan mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta pemerataan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Pada akhirnya, pajak merupakan usaha dari seluruh komponen bangsa untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.