KEBIJAKAN pengampunan pajak (tax amnesty) kini memasuki babak awal yang menentukan. Periode awal tax amnesty, yaitu Juli-September 2016, sudah dimulai. Sejumlah peraturan dan instrumen yang dibutuhkan telah disiapkan. Wajib pajak/ pemilik modal juga sudah ancang-ancang.
Periode awal ini menentukan karena pada periode inilah, para wajib pajak/ pemilik modal yang masih belum sepenuhnya yakin, atau masih menimbang perlu atau tidaknya mengikuti tax amnesty, akan melihat bagaimana implementasi awal program tersebut.
Jika pada periode awal ini pelaksanaan tax amnesty tak menemukan kendala berarti, ada harapan besar sampai periode terakhir pelaksanaan tax amnesty, Januari-Maret 2017, potensi dana repatriasi yang ditaksir lebih dari Rp1.000 triliun akan terserap ke dalam negeri secara maksimal.
Dana sebesar itu tentu akan memberikan manfaat besar dan tidak terbatas pada penerimaan pajak jangka pendek. Lebih jauh dari itu, dana repatriasi tersebut akan memberikan dorongan lebih besar bagi pembangunan sektor riil sekaligus kinerja pasar modal dan keuangan.
Dana repatriasi akan menghasilkan daya dorong ke sektor riil melalui peningkatan penerimaan negara jangka panjang. Adanya basis pajak baru dari tax amnesty dengan sendirinya memberikan tambahan kekuatan guna mencapai target-target pembangunan, misalnya ketersediaan infrastruktur.
Di sektor keuangan, masuknya dana repatriasi akan memberikan gairah baru bagi pelaku perbankan dan pasar modal untuk berkompetisi secara sehat guna menjaring dana tersebut dengan menyediakan berbagai instrumen investasi.
Tentu saja, gambaran manfaat yang ideal itu hanya bisa diraih jika wajib pajak/ pemilik modal beramai-ramai merespons tax amnesty. Perlu segera ditambahkan, motivasi mereka mengikuti tax amnesty tentu bukan semata mendapatkan penghapusan sanksi administrasi dan pidana perpajakan.
Lebih dari itu, mereka akan mempertimbangkan keuntungan atau manfaat lain dengan mengikuti program tax amnesty, baik berupa return investasi dari modal yang direpatriasi maupun insentif lain seperti terciptanya pola relasi yang lebih sehat dengan otoritas pajak.
Karena itu, kesiapan sekaligus kepercayaan diri pemerintah dalam meyakinkan para wajib pajak/ pemilik modal, serta efektivitas sektor keuangan, terutama pasar modal, dalam menampung dan mengelola dana repatriasi yang masuk, akan sangat menentukan keberhasilan program tax amnesty.
Faktor Penentu
APABILA ditelaah lebih dalam, paling tidak ada empat faktor penting di periode awal pelaksanaan tax amnesty ini yang menentukan terserapnya dana repatriasi secara maksimal, dan dengan demikian memberikan daya dorong terhadap ekonomi secara keseluruhan.
Pertama, kebijakan pemerintah dalam memfasilitasi penyediaan instrumen investasi bagi dana repatriasi. Dalam program tax amnesty ini, salah satu instrumen investasi yang sudah disediakan pemerintah adalah Surat Berharga Negara (SBN).
Tentu, hal itu menjadi salah satu penarik minat dana repatriasi, sebagai pilihan yang memberikan keuntungan secara pasti dan berisiko rendah. Namun, di luar itu, pemerintah sebenarnya juga dapat berperan menciptakan alternatif instrumen investasi lain yang menambah daya tarik minat tersebut.
Salah satu pilihan yang ada antara lain mendorong BUMN yang berprospek bagus menawarkan sahamnya ke publik melalui pasar modal (Initial Public Offering/ IPO). Dengan penetapan harga yang menarik, saham IPO tentu akan menjadi salah satu target mudah bagi dana repatriasi.
Alternatif lainnya adalah menciptakan instrumen investasi yang secara spesifik menawarkan manfaat tertentu. Hal ini misalnya dilakukan oleh Pemerintah Italia pada 2009 dalam program tax amnesty yang disebut tax shield pada 2001 dan scudo fiscale pada 2009.
Dalam kebijakan tax shield, penghindar pajak dapat membayar tebusan cukup dengan membeli surat berharga pemerintah. Adapun, dalam scudo fiscale, pemerintah menawarkan sebagian dana repatriasi tersebut untuk digunakan dalam asuransi jiwa.
Fitur-fitur inovatif semacam ini tentu tidak hanya mendorong minat repatriasi modal, tetapi sekaligus merupakan usaha menyinergikan pasar modal di satu sisi dengan tambahan penerimaan negara di sisi lain untuk menggerakan sektor riil. Tentu saja, semua itu harus dilakukan secara cermat dan hati-hati.
Apa yang dialami Amerika Serikat saat menerapkan tax holiday untuk menarik repatriasi modal pada 2004 menjadi contoh bagus akan ketidakhati-hatian itu. Walaupun Pemerintah AS berhasil menarik dana US$360 miliar, dana tersebut praktis tidak masuk menjadi investasi tetap sektor produktif.
Para pemilik modal justru menggunakan dananya untuk membeli ulang saham perusahaan untuk meningkatkan dividennya. Hal ini tentu memberikan pelajaran, yaitu agar bagaimana setiap dana yang masuk digunakan seefektif mungkin ke dalam instrumen investasi yang mendorong perekonomian.
Kedua, kesiapan pasar modal dan keuangan. Berbagai macam instrumen keuangan dipersiapkan untuk menampung dana repatriasi. Di satu sisi, hal ini akan menguntungkan calon investor karena bertambahnya opsi dan alternatif investasi.
Namun, perlu dicatat, ‘kilau’ dana repatriasi tentu juga akan mengundang munculnya investasi berisiko tinggi. Untuk itu, peran pemerintah dan regulator pasar keuangan sangat penting untuk menjamin agar dana yang masuk dialokasikan ke instrumen investasi yang tidak bermasalah.
Peran Krusial Gateway
DALAM hal ini, kinerja gateway yang berperan sebagai penyambung atau perantara antara dana repatriasi dan instrumen investasi menjadi sangat krusial. Gateway yang dimaksud meliputi bank, manajer investasi, dan perantara pedagang efek atau sekuritas.
Dalam menyambungkan dana ke instrumen investasi, setiap gateway memiliki prosedur tersendiri. Karena itu, integritas dan kapabilitas gateway dalam menginvestasikan dana tersebut akan menjadi faktor krusial yang turut menentukan berhasil tidaknya pelaksanaan tax amnesty.
Apabila gateway yang dipercaya menginvestasikan dana tersebut menanamkannya ke instrumen yang berisiko tinggi dan gagal memberikan keuntungan, maka dana yang semula akan direpatriasi ke dalam negeri akan batal karena insentif yang diharapkan berisiko gagal.
Hal ini menunjukkan pentingnya kehati-hatian dalam menentukan gateway yang terpercaya dan mampu melaksanakan kewajibannya. Gateway yang ditunjuk diharapkan dapat menjaga iklim investasi dan tidak terlibat permainan ‘liar’ pelaku pasar modal.
Ketiga, konsistensi implementasi peraturan pelaksanaan tax amnesty. Mekanisme keikutsertaan dalam tax amnesty telah disusun dalam peraturan pelaksanaan. Implementasi peraturan tersebut di tahap awal akan menentukan persepsi pemilik dana yang akan merepatriasikan modalnya.
Integritas aparat pajak dalam melayani wajib pajak/ pemilik dana akan sangat menentukan. Tata cara atau mekanisme yang dirumuskan harus dilandasi semangat untuk memudahkan, bukan mempersulit. Hal ini sekaligus menentukan apakah implementasi tax amnesty sejalan dengan tujuan kebijakan ini.
Keempat, harmonisasi tax amnesty dalam kerangka kebijakan makro. Pemerintah perlu secara pro-aktif menyediakan koridor perekonomian yang mampu menstimulasi arus dana yang masuk agar dapat memberikan daya dorong ekonomi secara maksimal.
Hal ini mencakup kontrol agar apresiasi mata uang rupiah bergerak dalam batas wajar, sehingga tidak membahayakan ekspor. Selain itu, dengan meningkatnya likuiditas, pemerintah perlu mengantisipasi terjadinya inflasi berlebihan yang merugikan masyarakat.
Pemerintah juga perlu menjamin agar tambahan likuiditas yang datang dari dana repatriasi dapat terserap secara maksimal untuk investasi, terutama di sektor-sektor produktif, dan bukan konsumsi. Dengan demikian, stabilitas harga-harga barang dan jasa dapat tetap terjaga.
Sampai di sini, konsistensi tindakan pemerintah dalam memperkuat keempat aspek di atas akan sangat menentukan hasil program tax amnesty, apakah menjadi kontra-produktif atau memberikan daya dorong yang baru terhadap pembangunan ekonomi nasional.
Dan yang tak boleh dilupakan, tax amnesty ini harus tetap menjadi bagian dari reformasi pajak. Revisi paket UU Pajak dan pembenahan administrasi pajak akan berkontribusi membangun relasi yang lebih sehat antara wajib pajak dan aparat pajak, dengan koridor yang mendorong peningkatan kepatuhan.
(Artikel ini dimuat di Majalah Gatra No 39 Tahun XXII)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.