ANALISIS PAJAK

Mencermati Tantangan Mekanisme Withholding Tax PPh Pasal 21

Vallencia
Kamis, 02 Juni 2022 | 10.24 WIB
ddtc-loaderMencermati Tantangan Mekanisme Withholding Tax PPh Pasal 21
DDTC Fiscal Research and Advisory.

MEKANISME withholding tax telah diterapkan di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Mekanisme ini dapat ditemukan salah satunya melalui pemotongan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21. Namun demikian, implementasinya pada PPh Pasal 21 menjumpai sejumlah tantangan.

Apa saja yang menjadi tantangan dalam penerapan mekanisme withholding tax pada PPh Pasal 21 di Indonesia? Kemudian, apa saja opsi kebijakan yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut?

Sebelum membahas lebih lanjut, penting untuk memahami konsep mekanisme withholding tax. Secara konsep, withholding tax dapat diartikan sebagai metode pemungutan PPh dengan menunjuk pihak ketiga atau pihak yang memberikan penghasilan untuk memotong atau memungut PPh (Mansury, 1992).

Pada hakikatnya, skema withholding tax dipakai dengan tujuan untuk mengamankan penerimaan negara secara efisien. Mekanisme ini juga mencegah terjadinya penghindaran pajak (Soos, 1990). Dengan pertimbangan itu, pemerintah memberlakukan mekanisme withholding tax dalam pemotongan PPh Pasal 21.

Secara khusus, objek pemotongan PPh Pasal 21 mencakup segala bentuk penghasilan yang berhubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.

Adanya berbagai bentuk penghasilan yang tercakup dalam objek PPh Pasal 21, basis pengenaan pajak dan penghitungan pajaknya juga cukup bervariasi. Hal ini ditunjukkan melalui ketentuan teknis penghitungan PPh Pasal 21 yang telah diatur dalam PER-16/PJ/2016.

Tantangan

PENERAPAN mekanisme withholding tax pada PPh Pasal 21 nyatanya tidak selalu berjalan mulus. Terdapat berbagai tantangan dalam penerapan mekanisme ini. Sejauh ini, setidaknya terdapat tiga tantangan yang dihadapi dalam penerapan mekanisme withholding tax pada PPh Pasal 21.

Pertama, metode penghitungan PPh Pasal 21 yang bervariasi. Berdasarkan pada ketentuan yang berlaku, terdapat berbagai metode penghitungan atas objek pemotongan PPh Pasal 21. Misalnya, perbedaan penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai dan nonpegawai.

Tidak hanya itu, penghitungan antara penghasilan yang berkesinambungan dan tidak juga berbeda. Alhasil, berbagai variasi tersebut menimbulkan kerumitan bagi pihak pemotong.

Kedua, kompleksitas komponen penghitungan PPh Pasal 21. Perlu dipahami, Indoensia menganut sistem year-end adjustment pay as you earn (PAYE) (Heeden, 1998). Dengan demikian, pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan pada setiap masa pajak dengan memerhatikan besaran PPh yang disetahunkan.

Selanjutnya, penghitungan tersebut akan disesuaikan kembali pada akhir tahun. Tujuannya adalah supaya pemotongan PPh Pasal 21 yang dipotong telah sesuai dengan penghasilan kena pajak pada tahun fiskal yang bersangkutan.

Namun, dalam proses penghitungannya, pihak pemotong wajib memperhatikan berbagai komponen, seperti adanya penghasilan bersifat teratur dan tidak teratur, biaya pengurang atau personal exemption, status perkawinan dan tanggungan, dan perlakuan pajak bagi ekspatriat.

Kondisi tersebut masih ditambah lagi dengan adanya beban penghitungan jika terjadi peristiwa tertentu. Peristiwa yang dimaksud ialah pada saat pegawai yang mulai bekerja bukan pada awal tahun pajak, pegawai mengundurkan diri pada pertengahan tahun, pegawai bekerja di perusahaan induk dan cabang sekaligus, serta peristiwa lainnya.

Pada akhirnya, kondisi tersebut berpotensi mendatangkan risiko terjadinya kesalahan hitung PPh Pasal 21 oleh pihak pemotong. Sebagai implikasi lanjutan, kesalahan hitung dapat menyebabkan revenue forgone atau hilangnya penerimaan yang seharusnya diterima oleh pemerintah.

Ketiga, makin berkembangnya lapangan pekerjaan. Pada era digital, perkembangan jenis lapangan pekerjaan ikut mengalami perubahan. Sementara itu, objek pemotongan PPh Pasal 21 lebih menitikberatkan pada pekerja dari sektor formal atau pekerjaan yang bersifat standar.

Pasalnya, sebuah working paper yang dirilis oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan adanya fenomena peningkatan bentuk pekerjaan nonstandar (Anna Milanez dan Barbara Bratta, 2019).

Pekerjaan nonstandar meliputi wirausaha, pekerja mandiri, kontrak sementara, dan pekerja paruh waktu. Pekerjaan ini termasuk dalam kategori hard-to-tax sector. Oleh sebab itu, rentan terjadi penghindaran pajak pada pekerjaan nonstandar.

Desain Kebijakan

DEMI menghadapi berbagai tantangan yang dijumpai dalam penerapan mekanisme withholding tax atas PPh Pasal 21, terdapat beberapa opsi desain kebijakan yang dapat dipertimbangkan.

Pertama, reklasifikasi skema penghitungan pemotongan PPh Pasal 21. Reklasifikasi skema penghitungan dilakukan dengan cara mengelompokkan karakteristik tertentu yang memiliki kesamaan. Dengan demikian, skema penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 mengalami simplifikasi.

Di beberapa negara, reklasifikasi skema penghitungan diterapkan dengan menggunakan tax table. Adapun tax table memberikan informasi mengenai jumlah pajak terutang secaras nominal atas rentang penghasilan tertentu secara periodik. Skema ini meminimalkan risiko terjadinya kesalahan dalam penghitungan PPh yang terutang.

Kedua, pemotongan PPh Pasal 21 yang dikombinasikan dengan program prepopulated tax return. Program prepopulated tax return merupakan sistem pelaporan pajak yang melibatkan otoritas pajak sebagai pihak yang memasukkan informasi relevan mengenai wajib pajak. Informasi ini bersumber dari pihak ketiga serta sumber valid lainnya (OECD, 2006).

Informasi yang bersumber dari pihak ketiga tersebut akan secara otomatis muncul pada formulir laporan Surat Pemberitahuan (SPT). Berikutnya, wajib pajak akan melakukan konfirmasi atas kesesuaian data dan informasi yang tersedia di SPT tersebut.

Prepopulated tax return telah digunakan dalam pelaporan SPT Tahunan di Indonesia. Penerapan program ini dinilai telah meningkatkan kesederhanaan prosedur pelaporan pajak. Namun, prepopulated tax return masih belum dapat diterapkan pada SPT 1770 yang hanya dapat menggunakan aplikasi e-form.

Ketiga, penyediaan withholding tax calculator yang komprehensif. Fitur withholding tax calculator berfungsi untuk menghitung PPh yang terutang secara otomatis. Fitur ini akan menyediakan seluruh komponen dalam menghitung PPh, sehingga pihak pemotong cukup mengisi data komponen, seperti yang dilakukan wajib pajak badan di Australia (ATO, 2021).

Metode ini terbukti dapat meminimalisasi risiko terjadinya kesalahan hitung akibat kompleksitas komponen penghitungan PPh Pasal 21. Withholding tax calculator sendiri telah tersedia di berbagai negara, termasuk Filipina dan Australia.

Di Indonesia pada saat ini, fitur tersebut belum disediakan secara resmi oleh pemerintah. Beberapa sektor swasta telah menyediakan fitur tersebut secara gratis dan dapat diakses dengan mudah melalui internet. Namun, yang tersedia masih terbatas untuk menghitung PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap.

Sehubungan dengan hal tersebut, penyediaan fitur withholding tax calculator yang komprehensif secara luas dapat dipertimbangkan. Fitur tersebut diharapkan mampu menyediakan berbagai metode penghitungan PPh Pasal 21 bagi setiap jenis kontrak karyawan, bahkan mengikuti perkembangan dinamika bentuk hubungan pekerjaan pada masa mendatang.

Tantangan mekanisme withholding tax PPh Pasal 21 diulas secara komprehensif dalam buku Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Buku setebal 629 halaman ini disusun oleh para periset DDTC Fiscal Research and Advisory (FRA).

Buku tersebut disunting langsung oleh Managing Partner DDTC Darussalam, Senior Partner DDTC Danny Septriadi, serta Partner of Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji. Tertarik membaca buku ini? Silakan membacanya di Perpajakan ID atau kunjungi langsung DDTC Library!

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.