ANALISIS PAJAK

Menyoal Pajak E-Wallet

Redaksi DDTCNews
Rabu, 02 Oktober 2019 | 16.10 WIB
ddtc-loaderMenyoal Pajak E-Wallet
DDTC Consulting

KEMUDAHAN dalam menggunakan layanan pembayaran digital (digital payment) membuat masyarakat memilih bertransaksi secara nontunai. Salah satu layanan digital payment yang sering digunakan adalah dompet digital (e-wallet) seperti Go-Pay, OVO, LinkAja, Paypal, Dana, dan Sakuku.

Menurut The Economic Times (2019), e-wallet adalah jenis akun prabayar yang dilindungi dengan kata sandi yang pengguna dapat menyimpan uang untuk setiap transaksi online, seperti pembayaran untuk makanan, belanja barang online, dan tiket penerbangan.

Layanan ini memiliki dua komponen utama, yakni perangkat lunak dan informasi. Perangkat lunak menyimpan informasi pribadi dan menyediakan keamanan dan enkripsi data, sedangkan informasi adalah data terperinci tentang pengguna yang mencakup nama, alamat pengiriman, metode pembayaran, transaksi pembayaran, info kartu kredit atau debit, dan sebagainya.

Bank Indonesia mencatat terdapat 38 e-wallet yang telah mendapatkan lisensi resmi. Untuk Indonesia sendiri, transaksi e-wallet mencapai US$1,5 miliar atau setara dengan Rp21 triliun dan kemungkinan akan terus meningkat menjadi Rp355 triliun pada 2023.

Berdasarkan data tersebut, potensi penghasilan atas penggunaan aplikasi e-wallet sangat besar. Penggunaan aplikasi e-wallet yang sudah dapat digunakan untuk transaksi di seluruh dunia memudahkan penggunanya untuk bertransaksi di mana saja.

Hal ini menyebabkan adanya peluang perpajakan berganda atas penghasilan yang diterima perusahaan pemilik e-wallet. Lalu, bagaimana OECD Model dan UN Model mengatur mengenai hak pemajakan atas software e-wallet tersebut?

Berdasarkan OECD Model
SETIAP e-wallet mempunyai hak cipta (copyrights) atas fitur layanan jasa yang ditawarkan kepada pengguna. Apabila e-wallet digunakan di luar negeri, penyedia e-wallet akan mendapatkan penghasilan dari penggunaan aplikasi e-wallet tersebut.

Perusahaan penyedia e-wallet dapat menjual software tersebut ke luar negeri dengan memberikan copyrights untuk hanya sekedar menggunakan software tersebut, atau perusahaan tersebut dapat memberikan copyrights untuk dapat memodifikasi fitur dari e-wallet.

OECD Model mengatur penghasilan atas software payment dalam kaitannya dengan penggunaan e-wallet didasarkan pada copyrights atas penggunaan e-wallet. Apabila pengguna e-wallet tidak mempunyai copyrights untuk memodifikasi e-wallet, penghasilan yang diterima perusahaan penyedia e-wallet diklasifikasikan sebagai penghasilan laba usaha yang diatur Pasal 7 OECD Model.

Apabila pengguna e-wallet memiliki copyrights untuk memodifikasi, distribusi atau memperbaharui e-wallet, misalnya dengan menambah fitur jasa layanan, penghasilan yang diterima penyedia e-wallet dari penggunanya adalah royalti yang pemajakannya diatur Pasal 12 OECD Model.

Lebih lanjut, OECD Commentaries menjelaskan transaksi software yang dapat diklasifikasikan sebagai royalti adalah penggunaan atau hak untuk menggunakan ‘suatu hak yang dilindungi oleh hak cipta’ (copyright rights) (Ngantung, 2017).

Berdasarkan UN Model
BERBEDA dengan OECD Model, Pasal 12 UN Model mengatur software payment yang digunakan baik oleh perorangan, bisnis, maupun hanya untuk kenikmatan pelanggan, akan tetap dikategorikan sebagai royalti (Castro, 2019).

Perbedaan interpretasi atas pemajakan e-wallet terletak pada maksud dan tujuan Pasal 12 OECD dan UN Model. Maksud dan tujuan Pasal 12 OECD Model adalah meniadakan hak pemajakan di negara sumber penghasilan, sedangkan maksud dan tujuan Pasal 12 UN Model adalah memberikan hak pemajakan ke negara sumber penghasilan (Commentary Pasal 12 paragraf 12 UN Model, 2017).

Mengacu pada ketentuan tersebut, pemajakan atas penggunaan e-wallet oleh pengguna di berbagai negara ditentukan dengan cakupan dari pengertian copyrights. Hal ini dikarenakan setiap negara mempunyai ketentuan hukum yang berbeda atas copyrights.

Seperti Singapura yang memberlakukan semua pembayaran perangkat lunak sebagai royalti sehingga dalam kasus ini Singapura sebagai negara sumber penghasilan dapat mengenakan pajak atas royalti penggunaan e-wallet.

Di Indonesia, pengenaan pajak atas e-wallet dilihat dari bagaimana penggunaan atas copyrights tersebut. Apabila software digunakan untuk tujuan eksploitasi komersial, penghasilan dari penggunaan e-wallet tersebut dapat diklasifikasikan sebagai royalti (Ngantung, 2017).

Sebaliknya, apabila copyrights atas e-wallet itu hanya sebatas penggunaan internal, penghasilan dari penggunaan e-wallet dianggap laba usaha. Ini sebagaimana pendapat Nirav Shah yang menjelaskan penggunaan software secara internal sebagai suatu pembayaran atas pembelian salinan dari suatu produk yang dilindungi hak cipta (copy of a copyrighted product). Karena itu, pembayaran atas penggunaan software secara internal tidak dapat diklasifikasikan sebagai royalti (Shah dalam Ngantung, 2017).

Mengacu pada penjelasan di atas, dilihat dari karakterisasinya pemajakan atas penggunaan e-wallet adalah pemajakan atas laba usaha. Sementara itu, pemajakan atas pemberian copyrights e-wallet tersebut digolongkan sebagai royalti. Perbedaan perlakuan pajak ini tentunya ditinjau dari apakah kepemilikan atas copyrights e-wallet dialihkan atau sebatas penggunaannya saja.

Perlu diperhatikan juga variasi penggunaan e-wallet yang muncul akibat perkembangan teknologi dapat menyebabkan konflik Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Karena itu, perlu kajian lebih lanjut terkait dengan penggunaan e-wallet secara lebih komperehensif dan mendalam.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.