SELAMA 38 tahun terakhir, tarif pajak penghasilan (PPh) badan atau korporasi mengalami penurunan yang signifikan dan konsisten secara global. Tarif rata-rata PPh korporasi pada 1980 masih 46,63%, tetapi pada 2018 tinggal 26,47%.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Tax Foundation, penurunan tarif pajak terjadi hampir di setiap negara, termasuk negara dengan ekonomi besar. Pada Desember 2017, Amerika Serikat memotong tarif PPh korporasinya dari 35% menjadi 21% melalui UU Tax Cuts and Jobs Act.
Menanggapi aksi tersebut, Australia kemudian mengumumkan niatnya menurunkan tarif PPh korporasi menjadi 25% dari semula 30%. Selanjutnya, Israel juga menurunkan tarif PPh korporasinya secara bertahap, dari 36% pada 2003 hingga 23% pada 2019.
Tren penurunan tarif pajak tersebut juga terjadi di negara berkembang. Sebut saja Indonesia yang berada pada level 25% sejak 2010, dari yang sebelumnya berada pada level 28% dan 30%. Indonesia tercatat dua kali menurunkan tarif pajaknya.
Thailand juga menurunkan tarif PPh korporasinya dua kali, yaitu dari 30% menjadi 23% dan 20% pada 2013. Selain itu, Qatar pada 2010 juga memangkas tarif PPh korporasi dari semula 35% menjadi 10%. Yang baru saja pekan lalu, India dari 30% turun menjadi 25%.
Kompetisi menurunkan tarif pajak, terutama PPh korporasi, dikenal dengan istilah race to the bottom. Tujuannya untuk meningkatkan daya tarik investasi suatu negara dengan menawarkan tarif pajak yang lebih rendah. Namun, tax competition itu ternyata tidak selalu identik dengan penurunan tarif.
Israel berhasil menarik investasi masuk lebih dari US$ 22 miliar dengan tarif pajak 23%. Di sisi lain, arus masuk foreign direct investment Rusia justru menurun 50% dari tahun sebelumnya pada 2018, meskipun telah memangkas tarif pajak korporasi hingga 20% (UNCTAD, 2019).
Faktor lain yang juga berpengaruh meningkatkan daya saing adalah pendefinisian basis pajak, adanya preferential tax regimes, insentif pajak, celah hukum, dan juga ketentuan mengenai kerahasiaan bank dalam suatu negara (Dietsch, 2015).
Dua Pertimbangan
MENINGKATNYA tensi persaingan antarnegara dalam menarik penerimaan dan investasi itu telah menyulut terjadinya perang pajak (tax war) secara global. Fenomena ini menjadi sorotan di berbagai negara selama beberapa dekade terakhir, baik di negara maju maupun berkembang.
Lantas, apakah perlombaan penurunan tarif pajak itu merupakan solusi yang menguntungkan bagi semua pihak? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada paling tidak dua aspek yang dapat dijadikan sebagai acuan pertimbangan.
Pertama, kontribusi PPh korporasi dalam struktur penerimaan. Pada 2016, penurunan tarif pajak korporasi secara global masih belum dapat menggantikan posisi pendapatan pajak dari korporasi sebagai komponen penerimaan utama.
Berdasarkan laporan OECD Corporate Tax Statistics edisi pertama, kontribusi pajak korporasi pada 2016 rata-rata mencapai 13,3% dari total pendapatan pajak di 88 yurisdiksi. Persentase tersebut meningkat dibandingkan dengan posisi pada 2000 yang hanya mencapai 12%.
Pada 2016, rata-rata penerimaan pajak dari korporasi negara-negara OECD mencapai 9% dari total penerimaan pajak. Pada periode yang sama, masih dalam laporan tersebut, setoran pajak korporasi di Indonesia tercatat sebesar 19,8% dari total penerimaan pajak (Wicaksono, 2019).
Dari data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan PPh Pasal 25/29 badan pada 2018 mencapai 37,1% dari realisasi penerimaan PPh nonmigas atau senilai Rp686,8 triliun. Adapun porsi penerimaan PPh nonmigas mencapai 52,2% dari total realisasi penerimaan pajak Indonesia.
Menilik kajian International Monetary Fund (IMF), negara berkembang lebih mengandalkan PPh korporasi ketimbang negara maju. IMF berpendapat situasi seperti saat ini sangat merugikan bagi negara berpenghasilan rendah, karena penerimaan pajak dibutuhkan untuk membantu pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dalam rangka memenuhi Sustainable Development Goals 2030.
Lebih lagi, ironisnya negara berkembang memiliki kecenderungan untuk melakukan penurunan tarif pajak yang tidak diimbangi dengan perluasan basis pajak. Tentunya ini berbeda dengan negara maju yang cenderung mengimbangi penurunan tarif pajak dengan perluasan basis pajak (Keen et al., 2015).
Berpijak pada data di atas, pajak korporasi memegang peranan yang sangat penting bagi keberlangsungan ekonomi negara berkembang. Tidak seperti di negara maju seperti AS yang lebih mengandalkan PPh orang pribadi dalam struktur penerimaannya.
Dengan demikian, alih-alih mengikuti tren kompetisi pajak, pemerintah negara berkembang dapat lebih fokus membenahi struktur ekonomi guna mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dan menyesuaikan kebijakan untuk mengurangi kesenjangan.
Kedua, implikasi jangka panjang. Apabila suatu negara memaksakan penurunan tarif PPh korporasi yang belum tentu positif bagi ekonominya secara keseluruhan, ekonomi negara itu sendiri justru akan terdisrupsi. Dalam jangka pendek, penerimaan pajak akan tergerus, yang implikasi jangka panjangnya adalah rasio utang akan beranjak dari level aman atau 30% dari PDB (Lubis, 2019).
Negara dengan ekonomi besar seperti AS telah merasakan dampaknya. AS harus menambal APBN-nya sejumlah US$5,8 triliun akibat pemangkasan tarif pajak. Penurunan tarif memperlebar defisit fiskal sehingga pemerintah harus mencari sumber pembiayaan lain seperti utang (Novastria, 2019).
Faktanya, menurut laporan Congressional Budget Office, apabila AS tetap mempertahankan skema pajak dan pengeluaran seperti saat ini, pada 2049 rasio utang terhadap PDB akan menjadi dua kali ukuran ekonomi secara keseluruhan, alias jauh lebih besar dari sebelumnya dalam sejarah AS.
Selayaknya kompetisi dalam olahraga yang menghasilkan pemenang dan pecundang, kompetisi dalam pajak pun demikian halnya. Perbedaannya, dalam kompetisi pajak tidak dikenal istilah absolute winner ataupun absolute loser.
Perlu diketahui kompetisi pajak memengaruhi setiap negara secara berbeda. Ketahanan suatu negara dalam menghadapi gelombang tax war bergantung pada sistem pajak, desain kebijakan ekonomi, dan kestabilan pasar keuangan yang dimiliki negara tersebut.
Selain itu, fakta tidak ada satu negara pun yang memiliki sistem pajak yang persis sama satu lain menjadikan setiap negara memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing, seperti keunggulan sistem pajak AS yang tidak terlalu bergantung pada pajak korporasi.
Karena itu, AS tidak akan terlalu dirugikan dengan adanya perang tarif pajak. Sebaliknya, Indonesia justru dirugikan dengan adanya perang tarif pajak karena masih sangat bergantung pada penerimaan pajak dari korporasi.
Memang, kompetisi pajak belum tentu selalu merugikan semua pihak, apalagi selalu menguntungkan. Pada akhirnya, dalam peperangan, menang atau kalah sama-sama mendapatkan kerugian. Seperti kata pepatah, menang jadi arang, kalah jadi abu.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.