KONSEP penghindaran pajak yang masih ‘kabur’ tentu memberi tantangan dalam perumusan ketentuan antipenghindaran pajak, terutama saat legal drafting.
Padahal, ketentuan antipenghindaran pajak setidaknya harus mencerminkan dua komponen mendasar, yakni kapan suatu transaksi atau skema dianggap sebagai penghindaran pajak serta bagaimana cara otoritas pajak mencegah situasi tersebut.
Penting bagi kita untuk menurunkan konsep penghindaran pajak pada tataran operasional. Tujuannya agar ketentuan antipenghindaran pajak dapat secara tepat diterapkan pada kondisi-kondisi yang mencerminkan suatu skema penghindaran pajak.
Guna mencapai tujuan tersebut, berikut penelusuran elemen penghindaran pajak dari sudut pandang ekonomi dan hukum pajak internasional.
Karakteristik Penghindaran Pajak
DARI sudut pandang ekonomi, penghindaran pajak terdiri atas tiga elemen dasar. Pertama, adanya suatu manfaat yang berupa penghematan dan/atau penangguhan pajak. Kedua, beban pajak yang berbeda karena wajib pajak dihadapkan dengan berbagai tarif pajak. Hal ini mendorong adanya aliran penghasilan ke tempat dengan tarif yang lebih rendah.
Ketiga, adanya perbedaan perlakuan pajak atas sumber penghasilan yang satu dengan lainnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Stiglitz (1986), hal tersebut mendorong adanya suatu bentuk investasi atau skema yang lebih menguntungkan dibanding yang lainnya.
Sementara itu, dari sudut pandang hukum pajak internasional, penghindaran pajak setidaknya harus memiliki kriteria berikut. Pertama, seluruh atau sebagian dari skema, arrangement, atau transaksi dijalankan demi tujuan penghindaran pajak (pengujian motif).
Kedua, skema bersifat artifisial, tidak wajar, atau hampir tidak pernah dipergunakan dalam situasi ekonomi yang umum terjadi (pengujian sifat artifisial). Ketiga, sebagian, mayoritas, ataupun seluruh skema menghasilkan manfaat pajak yang nyata (pengujian manfaat) (Bracewell-Milnes, 1979).
Kriteria pertama dan kedua tersebut merupakan elemen substance over form (substansi ekonomi lebih dipertimbangkan dibandingkan dari bentuk legal). Dari sudut pandang ekonomi dan hukum tersebut dapat disimpulkan dalam tataran praktis (operasionalisasi), penghindaran pajak harus memenuhi beberapa kriteria.
Kriteria yang dimaksud ialah manfaat pajak yang nyata, dorongan perbedaan tarif dan/atau adanya perbedaan perlakuan pajak, motif penghematan pajak, sifat tidak wajar atau lazim, dan/atau ketidakselarasan antara bentuk hukum dengan substansi ekonominya.
Pertanyaannya, bagaimana merumuskan ketentuan antipenghindaran pajak yang secara efektif menyasar pelaku penghindaran pajak? Bagaimana pula caranya agar tetap menjaga netralitas dan kondusivitas bagi ekonomi?
Pertimbangan
UNTUK mencapainya, terdapat enam elemen desain krusial yang harus diatur dalam ketentuan antipenghindaran pajak.
Pertama, wajib pajak yang disasar. Penentuan subjek dari ketentuan antipenghindaran pajak merupakan elemen mendasar yang harus ditentukan. Dalam konteks ini, pihak yang disasar haruslah mampu mengidentifikasi pihak yang memiliki kecenderungan, peluang, motif, dan kemampuan untuk melakukan penghindaran pajak (Rosenblatt, 2015).
Sebagai contoh, apakah suatu ketentuan antipenghindaran pajak hanya menyasar wajib pajak badan dengan kriteria melakukan transaksi dengan afiliasi di negara tax haven (sasaran yang targeted) atau menyasar seluruh jenis wajib pajak, baik badan, orang pribadi, atau BUT (sasaran luas)? Satu hal yang pasti, penentuan subjek ini diperlukan untuk memisahkan wajib pajak
Kedua, ruang lingkup transaksi/skema dan penghasilan. Elemen ini merupakan penjabaran konsep penghindaran pajak, khususnya mengenai motif penghematan pajak yang berpotensi timbul atas suatu transaksi atau skema.
Motif yang dimaksud akan dikaitkan dengan jenis penghasilan yang bisa dihemat. Misalnya, skema memindahkan harta tak berwujud ke preferential tax regime dengan maksud adanya pemusatan pembayaran royalti ke yurisdiksi tersebut.
Ketiga, pengujian. Elemen ini merupakan elemen terumit dari elemen lainnya karena menguji ada atau tidaknya indikasi penghindaran pajak, seperti pengujian substansi, ada tidaknya business purpose, kewajaran, rasionalitas perilaku, dan sebagainya.
Contoh atas perdebatan pengujian dapat ditelusuri dari desain ketentuan transfer pricing. Sebagaimana diketahui, pengujian dalam transfer pricing merujuk pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle/ALP). Dalam konteks format produk hukum, ALP dapat dikategorikan sebagai suatu standar (Kristiaji, 2013). Artinya, apa yang dianggap wajar sangat tergantung dari analisis kesebandingan (comparability analysis) dan mengikuti fakta bisnis yang ada.
Keempat, implikasi ketidakpatuhan. Untuk menjamin efektivitas dari suatu ketentuan antipenghindaran pajak, dibutuhkan elemen yang menunjukkan implikasi hukum bagi wajib pajak yang tidak patuh. Implikasi hukum ini dapat berupa sanksi, denda administrasi, dan/atau dibatalkannya suatu transaksi.
Kelima, adanya pengecualian, threshold, dan/atau escape clause. Mengingat ketentuan antipenghindaran pajak dapat menimbulkan dampak yang tidak proporsional bagi beban pajak dan biaya kepatuhan, diperlukan elemen pengecualian, threshold, dan/atau escape clause.
Elemen tersebut bisa berfungsi sebagai negative list bagi wajib pajak atau sektor tertentu yang sekiranya bersifat strategis atau tidak memiliki kecenderungan melakukan penghindaran pajak tertentu. Selain itu, elemen pengecualian, threshold, dan/atau escape clause ini juga berfungsi sebagai alat untuk melindungi wajib pajak atau sektor tertentu dari biaya kepatuhan yang dapat timbul atau nilainya dianggap tidak materiel.
Terakhir, aspek administrasi. Elemen ini mencakup aspek administrasi, seperti kebutuhan dokumentasi, pelaporan, kaitannya dengan ketentuan formal, maupun potensi sengketa yang timbul dari ketentuan antipenghindaran pajak tersebut. Misalnya, kewajiban menyampaikan certificate of domicile dalam ketentuan anti treaty abuse, skema advance pricing agreement (APA) dalam transfer pricing, dan sebagainya.
Sebagai penutup, perlu diperhatikan derajat kesempurnaan ketentuan antipenghindaran pajak berpotensi trade off dengan kompleksitas dan biaya dalam implementasinya (Darussalam et al, 2022). Oleh karena itu, pengaturan elemen ketentuan antipenghindaran pajak seharusnya tidak bersifat mutually exclusive.
Perumus kebijakan dapat saja mengkombinasikan setiap elemen tersebut dalam rangka menjamin keseimbangan antara upaya menjaga basis pajak dengan menjamin iklim usaha yang kondusif.
Topik ketentuan antipenghindaran pajak merupakan salah satu bahasan dalam buku Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Buku setebal 629 halaman ini disusun oleh para periset DDTC Fiscal Research and Advisory (FRA).
Buku ini disunting langsung oleh Managing Partner DDTC Darussalam, Senior Partner DDTC Danny Septriadi, serta Partner of Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji. Tertarik membaca buku ini? Silakan membacanya di Perpajakan ID atau kunjungi langsung DDTC Library!